Aru Lego Triono
Kontributor
Jakarta, NU Online
Budayawan Radhar Panca Dahana memiliki kedekatan yang sangat khusus dengan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dalam hal seni dan budaya, Radhar menilai Gus Dur telah memberikan perhatian mendalam sejak 1980. Gus Dur menjabat sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta pada periode 1982-1985. Gus Dur dan Radhar Panca Dahana dapat dikatakan merupakan dua budayawan andal yang pernah dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Di masa-masa itu, Radhar dengan tegas mengatakan bahwa dunia seni dan kebudayaan mendapat seorang jenderal baru. Sebab dengan senjata kata-kata, Gus Dur sangat rajin memperjuangkan posisi seni dan kebudayaan dalam berbagai sektor hidup yang lain seperti sosial, politik, ekonomi, dan agama.
Pada saat itu, rezim pemerintahan mencengkeram kuat di hampir seluruh kegiatan ekspresional. Bahkan, kerja-kerja kesenian yang menjadi bagian dari kerja intelektual kerap bersembunyi dalam retorika teoritis.
“(Gus Dur) membuat seni yang tidur tetap terjaga. Sebagaimana Gus Dur yang tetap tanggap biar pun lelap. Dalam kesenian, Gus Dur adalah pintu yang tak berdaun. Di mana dan kapan pun, kita bisa datang berduyun,” kata Radhar, dalam catatan NU Online, pada 2 Januari 2010.
“Seperti saat tanpa kata, ia segera setuju memimpin Dewan Kehormatan Federasi Teater Indonesia. Lalu datang, terlibat, bekerja di dalamnya,” tutur Radhar.
Kini, Radhar Panca Dahana juga telah wafat. Di usia 56, ia menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, pada Kamis (22/4) malam, pukul 20.00 WIB. Ia lahir di Jakarta, 26 Maret 1965.
Radhar memulai karier sebagai penulis sastra sejak usia 10 tahun melalui cerpen berjudul Tamu Tak Diundang yang dimuat di Harian Kompas. Ia juga memiliki karier di bidang jurnalistik sebagai redaktur di Majalah Kawanku pada 1977. Kemudian menjadi reporter lepas di banyak media massa.
Radhar menyelesaikan Program S1 di Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Indonesia pada 1993 dan menuntaskan program magister Sosiologi di Ecole des Hautes Etudes en Science Sociales, Paris, Prancis, pada 2001. Ia mendirikan Perhimpunan Pengarang Indonesia dan hingga akhir hayatnya, Radhar adalah Presiden Federasi Teater Indonesia.
Beberapa karya sastra telah diciptakan. Pada 2002 ia menulis esai humaniora berjudul Menjadi Manusia Indonesia dan Inikah Kita: Mozaik Manusia Indonesia pada 2006. Kemudian menulis kumpulan sajak Lalu Aku (2003), buku Jejak Posmodernisme: Pergulatan Kaum Intelektual Indonesia (2004).
Kumpulan cerpen berjudul Cerita-cerita dari Negeri Asap juga ditulisnya pada 2005. Kemudian, Radhar juga menulis kumpulan drama Metamorfosa Kosong, esai sastra Dalam Sebotol Cokelat Cair, kumpulan puisi Manusia Istana, serta Lalu Waktu (2007).
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Fathoni Ahmad
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua