Opini

Asketisisme dalam Sastra Profetik

Jumat, 16 November 2012 | 21:35 WIB

Dalam ruang kehidupan yang mementaskan berbagai warna dan eksperimentasi, sastra hadir dengan misi profetik. Asketisisme merupakan dimensi penting yang membawa pengaruh dalam dunia kesastraan. 
<>
Di berbagai karya sastra, asketisisme sangat memengaruhi proses pengamatan, perenungan, hingga penciptaan. Sebagian karya sastra, entah itu mewujud dalam wajah cerpen, novel maupun puisi, dipengaruhi oleh ruh asketisme dalam nafas hidupnya. Asketisisme menjadi semacam lokomotif yang mampu menarik gerbong-gerbong inspirasi sastrawan, entah itu dalam panggung internasional, maupun yang berproses dalam ruang lokal. 

Sastrawan semisal Naguib Mahfoudz, Gabriel Garcia Marquez, Knut Hamsun, Paulo Coelho dan beberapa sastrawan penting lain, menabalkan karya sastra yang penuh dengan nuansa asketis. 

Di panggung sastra negeri ini, nama sastrawan Abdul Hadi WM, Musthofa Bisri (Gus Mus), Kuntowijoyo, Emha Ainun Nadjib, Jamal D. Rahman dan beberapa sastrawan lain, melahirkan karya sastra yang bersayap asketis di setiap sisinya. Meruahnya sastra asketis inilah yang menjadi penanda, betapa ruang asketisisme menjadi inspirasi penting untuk menyajikan karya sastra yang mampu menggebrak kebekuan peradaban.

Asketisisme menggerakkan inspirasi, mempertajam perasaan, meledakkan kata. Lebih dari itu, asketisme adalah manifestasi dari rencana-rencana mengukuhkan kekuatan moral dalam diri. Luapan perasaan, pembebasan tragedi dan keinginna untuk menjernihkan nurani, merupakan puncak kebebasaan meraup perasaan asketis. 

Namun, asketisisme tak dapat digapai dengan kesombongan dan kesewenangan. Asketisisme melampaui perasaan dan emosi. Asketisisme tak dapat dikekang, hanya dengan simbol pencandraan. Asketisisme menjadi ruh, sekaligus wujud refleksi paling nyata atas pencarian jati diri.

Refleksi tragedi
Nilai-nilai asketisis yang dipercaya dan diimani, menjadi energi untuk membentuk daya kreatif atas karya dan kehidupan. Asketisisme tak hanya mengisi elan vital dan fondasi pencarian akan makna kebenaran, namun menjadi ruh kehidupan yang sebenarnya. Inilah yang menjadikan daya asketis begitu sakral, dahsyat dan susah dimaknai secara rasional. 

Asketisisme meminggirkan keterpesonaan duniawi, menenggelamkan hasrat dan mendekap tragedi. Kehidupan asketis berteman akrab dengan tragedi, kegetiran dan kesedihan. 

Nilai-nilai asketis berada di puncak kesadaran dan di seberang kenihilan, kenisbian tanpa ujung. Nilai asketis bersinar dan berpendar di puncak inspirasi, mempengaruhi ekspresi dan menebarkan kebebasan imajinasi.

Tragedi sepenuhnya akrab dengan perasaan asketis. Justru, di tengah himpitan kegetiran, miskinnya kenikmatan dan nihilnya gebyar perayaan, asketisisme menemukan puncak maknanya. Tragedi dimaknai sebagai ujian atas denyar kekuatan asketis, dengan sejurus kegetiran, ujian hidup yang berat akan menjadi pengalaman penting untuk meraih hakikat kebenaran. 

Namun, tragedi tak selau berakhir dengan kegetiran. Justru, tragedi yang dihayati, akan menghasilkan puncak kenikmatan. Inilah makna dibalik kegelisahan dan kegetiran menempuh kehidupan tragis.

Melampaui asketisisme
Kegetiran dan tragedi juga termaktub dalam karya Gabriel Garcia Marquez. Di tengah kata yang berjejak lewat karya ”Selamat Jalan Tuan Presiden” (Bon Voyage Mr President and Other Stories, 1995), Marquez sepertinya ingin menyindir kegelisahan seorang presiden ketika tak lagi memegang kuasa. Bahkan, sang Presiden harus menjalani kehidupan sunyi dan sekaligus penuh romansa kesepian di sebuah negeri asing.

Sang Presiden dibuang dari negaranya karena peristiwa politik, dan kematian hampir menjemputnya. Bagi seorang presiden, diusir dari tanah asal adalah peristiwa menyakitkan, momentum sepenuhnya tragedi berjejak dan berkibar.

Penyakit kronis yang diderita memaksa Tuan Presiden untuk menjalani perawatan di Jenewa. Bahkan, Tuan Presiden juga membeli apartemen di Martinique, dengan peralatan dan bahan mahal dari Fourt The Frank. Di tengah kesunyian menjalani terapi kesehatan, Tuan Presiden kemudian berteman dengan pasangan Homero Rey dan Lazara Daviz, sambil menjalami terapi penyembuhan penyakit kronis yang diderita.

Marquez sepertinya ingin mengisahkan tragedi pemerintahan, di mana perebutan kekuasaan akan menghasilkan penderita dan orang-orang kalah. Di setiap medan konflik, pemenang akan menyingkirkan musuh politiknya. Inilah yang menjadikan keadilan terasa asing di tanah konflik. Hukum dan nilai humanis, kehilangan sayap untuk terbang melintas dan menebar kedamaian di tanah konflik. Penggalan cerita Marquez meneguhkan tragedi di tengah keabadian, konflik dalam catatan sejarah.

Dalam kisah Marquez, Tuan Presiden merasa menjadi subyek kalah dan dirajam penyakit. Akibatnya, stereotype muncul ketika tragedi mengubur kepercayaan diri. 

”Kemenangan besar dalam hidupku adalah bila semua orang melupakanku” ungkap Tuan Presiden sebagaimana ditulis Marquez. Dalam bentangan imajinasi Marquez, asketisme dijalankan untuk menghilangkan ceruk kesombongan terdalam. Tuan Presiden yang digambarkan Marquez, justru menjalani laku asketis, ketika gebyar kemenangan dan jabatan telah lenyap, berganti kesepian dan kondisi serba asing. Pada titik kesenyapan inilah, tragedi menjadi ritual berharga, sikap asketis menjemput makna.

Namun, kecerdikan Marquez terbaca pada lingkup ini, asketisme dan laku tragis yang digambarkan tak menebarkan kesedihan mendalam. Justru, kondisi tragis digambarkan dengan kesenangan, penuh humor. Laku asketis, dalam imaji Marquez, justru berubah menyenangkan. Tragedi yang berhimpit dengan perasaan humor ini, senada dengan kepercayaan Milan Kundera. Kundera mengimani pentingnya humor, di segala medan penghayatan. Bahkan, Kundera mengungkapkan pernyataan terkenal, ”manusia berfikir, Tuhan pun tertawa”.

Keimanan terhadap pentingnya humor inilah yang menjadikan novel-novel Kundera menarik dan inspiratif.Kundera, dalam Art of Novel, menegaskan bahwa, tugas seorang novelis adalah mengganggu para pembacanya agar melihat dunia sebagai sebuah pertanyaan melalui novel. Menurutnya, ada tiga iblis yang memaksa kita untuk kehilangan kontak dengan pertanyaan kritis dan kekuatan revolusioner novel. 

Pertama, ”Agelaste”, mereka yang tak bisa tertawa. Kaum ini menolak kebenaran sebagai sebuah pencarian dan mengharamkan pertanyaan. Kedua, menerima ide tanpa berpikir. Sejenis virus yang meracuni ruang kreatifitas manusia untuk menjejak kebenaran. Ketiga, menyalin kebodohan menerima ide tanpa berpikir ke dalam bahasa keindahan dan perasaan”.

Milan Kundera insyaf bahwa karya sastra akan menimbulkan efek psikologis dan emosional pembaca dalam waktu yang lama. Efek kebudayaan yang dihasilkan karya sastra akan berkelindan dengan waktu serta keabadian. Untuk itu, Kundera yakin bahwa karya sastra bermutu harus dilahirkan dengan proses, perenungan dan penghayatan mendalam.

Karya sastra bermutu, tak dihasilkan dari imajinasi picisan dan pemikiran dangkal. Asketisisme menjadi ruh dan energi untuk menyemai daya imajinasi sebagai modal penciptaan karya sastra. (Munawir Aziz, esais, alumni Center for Religious and Cross-Cultural Studies [CRCS], Sekolah Pascasarjana UGM, Jogjakarta)