Oleh KH Yahya C. Staquf
Jakarta,
tahun 2011. Kiai As'ad Said Ali, Wakil Ketua Umum Tanfidziyah Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama waktu itu, membuat inisiatif yang belum pernah
dilakukan siapa pun di seluruh dunia fana ini.
Atas nama
Nahdlatul Ulama, beliau mendekati para pemimpin dan pemuka
kabilah-kabilah, suku-suku dan faksi-faksi yang saling bertempur di
Afghanistan. Beliau meyakinkan mereka untuk datang ke Jakarta,
dituanrumahi Nahdlatul Ulama, bicara tentang perdamaian.
Tak
kurang dari 30 kelompok mengirim pemuka-pemuka mereka, salah satunya
adalah Syekh Burhanuddin Rabbani, mantan Presiden Afghanistan yang
lengsernya karena dikudeta oleh Taliban.
Kiai As'ad merancang
pertemuan itu bukan semata forum diskusi, tapi sungguh-sungguh media
perundingan. Jelas bukan pembicaraan yang gampang. Maka beliau siapkan
orang-orang yang bisa berperan sebagai katalisator. Antara lain adalah
pendekar silat-lidah yang sekarang menjadi Duta Besar Berkuasa Penuh
Republik Indonesia untuk Kerajaan Saudi Arabia, Yang Mulia Agus Maftuh,
pakar resolusi konflik, Kiai Dian Nafi', Kiai As'ad sendiri dan Kiai
Ahmad Mustofa Bisri, Wakil Rais 'Aam waktu itu.
Tiga hari
perdebatan alot. Kadang-kala macet karena ada yang walk-out yang lantas
harus dibujuk ramai-ramai supaya mau balik ke meja perundingan. Tapi
susah-payah dan kerja keras itu, berkat ketulusan semua orang dan
pertolongan Tuhannya semua orang, berbuah hasil nyata.
Mereka
yang tadinya di Afghanistan sana saling tembak, akhirnya menyepakati
komitmen bersama berupa kalusul-klausul yang nyata-nyata bisa menjadi
titik-tolak perdamaian. Orang-orang yang saat pertama menginjakkan kaki
di Jakarta tak sudi saling sapa, akhirnya saling berpelukan dengan
senyum yang sudut-sudutnya dihiasi cucuran air mata. Syukur dan haru.
Bagi
tokoh-tokoh Afghanistan itu, memperjuangkan perdamaian bukanlah tamasya
petualangan yang menyenangkan. Mereka tahu, nyawa mereka taruhannya.
Selain rakyat banyak yang akan bahagia dengan perdamaian, ada
juragan-juragan perang yang akan rugi kalau perang berhenti, yang tak
pernah dan tak akan perduli harus menyembelih siapa memakan siapa
menghancurkan siapa demi menambal kerugian mereka. Para pejuang
perdamaian itu adalah pemberani-pemberani yang punya cinta sejati untuk
kaumnya.
Benar saja. Syekh Burhanuddin Rabbani yang menjadi tokoh
utama perjuangan perdamaian itu, harus membayar taruhan paling dulu.
Taliban mengirim orang untuk datang kepadanya dengan bom tersembunyi
didalam ikatan sorban. Orang itu memeluk Syekh Rabbani seolah sahabat
yang penuh cinta, hanya untuk meledakkannya.
Allah Subhanahu Wa
Ta'ala memetik seorang syahid. Seorang Syekh Rabbani yang telah begitu
murah hati menghutangkan keberaniannya kepada Afghanistan. Dan kepada
Nahdlatul Ulama. (Bersambung)
Penulis adalah Katib ‘Aam PBNU
Terpopuler
1
Meninggal Karena Kecelakaan Lalu Lintas, Apakah Syahid?
2
Hukum Quranic Song: Menggabungkan Musik dengan Ayat Al-Quran
3
Surat Al-‘Ashr: Jalan Menuju Kesuksesan Dunia dan Akhirat
4
Haul Ke-15 Gus Dur di Yogyakarta Jadi Momen Refleksi Kebijaksanaan dan Warisan Pemikiran untuk Bangsa
5
Mariam Ait Ahmed: Ulama Perempuan Pionir Dialog Antarbudaya
6
Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 229: Ketentuan Hukum Talak Raj’i dan Khulu’
Terkini
Lihat Semua