Oleh Nuruddin
Lahirnya Nahdlatul Ulama (NU) pada16 Rajab 1344 H atau bertepatan dengan 31 Januari 1926 M, sehingga secara hitungan tahun hijriyah, usia NU sudah 95 tahun. Adapun jika dihitung menurut tahun masehi, usia NU sudah 92 tahun. Usia yang bisa dibilang matang dan mendekati satu abad dalam membingkai ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathoniyah demi kesejahteraan Indonesia.
NU lahir di tengah pertarungan idiologi penjajah yang dengan gencar dimotori oleh tokoh orientalis Snouck Hurgronje yang secara kajiannya menempatkan ulama sebagai musuh nyata bagi Belanda. Snouck Hurgronje yang memiliki nama lain Syeckh Abdul Ghoffar sengaja dikirim ke Aceh setelah mempelajari bahasa Melayu dari para ulama Nusantara yang tinggal di Jeddah dan Makkah.
Dalam melancarkan maksudnya, Snouck Hurgronje juga mengaku masuk Islam saat di Makkah; sampai pada aksi menikahi perempuan Aceh dengan secara islami.
Inti dari tugas Snock Hurgronje adalah membuat kajian di Nusantara terkait apa yang menyebabkan masyarakat Nusantara begitu semangat memperjuangkan kemerdekaan dan melakukan perlawanan kepada Belanda. Hasil kajian tersebut berbunyi "real enemy is not birocrasy, but real enemy is ulama; musuh nyata Belanda di Nusantara bukanlah birokrasi atau kerajaan, tapi musuh nyata bagi Belanda di Nusantara adalah para ulama."
Snouck Hurgronje menemukan banyak kitab karya ulama Nusantara yang isinya adalah ajakan membangkitkan kecintaan kepada tanah air dan antipenjajahan. Misalnya kitab karya Syekh Abdul Rouf yang berjudul Umdatul Muhtajin yang isinya adalah bagaimana mencintai tanah air dan antipenjajah. Syekh Abdul Rouf adalah seorang penyebar dan tokoh tarekat Naqsabandiyah di Aceh. Iaberasal dari daerah Syiah Kuala Aceh. Rekomendasi Snouck Hurgronje adalah habisi kitab-kitab karya ulama Nusantara dan jauhkan umat dari ulama.
Pada saat kondisi Hindia Belanda menyepakati hasil kajian dan penelitian Snouck Hurgonje serta menjalankan rekomendasi Snouck Hurgronje inilah lahir organisasi yang terdiri dari para ulama yang memiliki semangat kebangkitan yang kemudian diberi nama Nahdlatul Ulama. Alasan pemberian nama tersebut adalah karena saat itu, tidak semua ulama Nahdloh. Oleh karenanya, para ulama yang bersatu mendirikan organisasi ini, disebut Nahdlatul Ulama yang artinya kebangkitan dan bergeraknya para ulama.
Selain itu, lahirnya NU dilandasi kepentingan NU mensyiarkan ajaran Ahlussunnah waljamaah sudah tidak bisa lagi dititipkan kepada organisasi lain.
Pada Muqoddimah Qonun Asasi Hadrotus Syekh Hasyim Asy'ari tertulis "Marilah anda semua dari golongan para fakir miskin, para hartawan, rakyat jelata, dan orang-orang kuat, berbondong-bondong masuk jamiyah Nahdlatul Ulama ini. Masuklah dengan penuh kecintaan, kasih sayang, rukun, bersatu, dan dengan ikatan jiwa raga. Ini adalah jamiyah yang lurus, bersifat memperbaiki dan menyantuni, ia manis terasa di mulut orang-orang yang baik, dan getir di tenggorokan orang-orang yang tidak baik."
NU memiliki metode mensyiarkan dan meninggikan ajaran Islam yang berbeda dengan metode kelompok lain. Cara NU jangan dibandingkan dengan kelompok lain, karena membandingkan berarti menjustifikasi satu hal dengan baik dan yang lainnya tidak baik. Cara NU pasti berbeda dengan kelompok lain. Cara NU sebagaimana ditegaskan dalam syair shalawat An Nahdliyah " اظهار شعاءر على طريقة نهضة العلماء ".
Jalan Hidmah NU
Berkhidmah kepada NU diawali dengan jalan pertama, Qosdun Shohiihun (niat yang bagus). Dengan menata niat inilah akan menentukan sebuah pekerjaan akan mempunyai nilai atau tidak. Niat yang bagus maksudnya adalah niat yang ikhlas di dalam perjuangan dan menata diri melalui NU; bukan menata NU karena NU sudah tertata. Jangan sampai berkhidmah di NU diniati untuk mencari kedudukan atau sekedar menjadikan NU sebagai batu loncatan.
Kedua, Shidqun Shoriihun (kesungguhan yang nyata). Dengan kesungguhan, keberlangsungan sebuah kegiatan dan kepengurusan organisasi pasti akan berjalan dinamis.
Ketiga, Adabun Mardiyyatun (adab yang diridhoi). Kita semua tahu bahwa adab harus didahulukan ketimbang berilmu, karena orang yang tak beradab, sama kelakuannya seperti lalat, yang ngawur dan kurang ajar. Mengedepankan adab merupakan akhlak santri, karena santri langsung mendapatkan keteladanan dari sang kiai. Jika berorganisasi dilakoni dengan adab yang baik maka keharmonisan rumah besar organisasi akan tetap terjaga.
Keempat, Aqwaalun Zakiyyatun (perkataan yang bersih), maknanya perkataan yang keluar dari mulut kita adalah perkataan yang bermanfaat. Bukan sekedar ucapan dengan nada dan suara keras tapi tanpa makna kebermanfaatan. Selain bermanfaat, perkataan yang keluar adalah hal yang benar, bukan hoaks, sehingga tidak ada adu domba atau sakwasangka antarpersonal di dalam berorganisasi.
Kelima, Hifdzul Hurmah (menjaga kehormatan). Ibaratnya, jika ada orang yang menghina saya sebagai pribadi, silahkan, it's OK! Tapi jika ada yang menghina NU, maka langkahi dulu mayat saya. Kenapa demikian, ini masalah kehormatan organisasi.
Keenam, Khusnul Khidmah (khidmah yang terbaik). Maksud khidmah terbaik adalah menunjukkan pengabdian yang terbaik untuk NU. Perlu dipahami pula, bahwa khidmah terbaik ini, belum tentu dimiliki oleh struktur tertinggi di dalam organisasi. Tapi khidmah terbaik, bisa disandang oleh siapa pun yang niatnya ikhlas dan tulus untuk berjuang menegakkan ajaran Islam ala Ahlussunnah waljamaah melalui organisasi NU.
Ketujuh, Rof'ul Himmah (memiliki cita-cita yang tinggi). Setiap orang memiliki keinginan dalam menjalani hidup. Ada kalanya keinginan ini dalam bentuk cita-cita pribadi atau target organisasi. Bagi orang yang memiliki rof'ul himmah, keduanya berjalan seiring tanpa ada yang perlu dikorbankan.
Kedelapan, Nufudzul 'Adzimah (tidak mutungan). Orang yang gampang mutung atau patah arang, selamanya tidak akan pernah menjadi orang besar. Bagaimana dia mau menata orang lain, jika menata personal dirinya sendiri saja tidak selesai. Masalah yang ada bukanlah dihindari dengan lepas tanggung jawab. Tetapi masalah yang ada dihadapi dengan diselesaikan sampai akar-akarnya.
Semoga NU di usia 95 tahun, kita semua semakin kuat dan kokoh menjaga ajaran Aswaja dan NKRI menuju abad kejayaan Nahdlatul Ulama.
Penulis adalah Wakil Ketua Lakpesdam PCNU Tulungagung.