Opini

Nuansa Lokal Cerpen-cerpen Guntur Alam

Ahad, 23 September 2012 | 09:19 WIB

Oleh Suhairi Rachmad
Karya sastra adalah hasil sebuah perenungan yang mendalam dari seorang pengarang dengan media bahasa. Pengarang menuangkan pikiran, perasaan, pengalaman, ide-ide, dan semangat keyakinan dan kepercayaannya yang diekspresikan ke dalam sebuah karya sastra.

<>

Karya sastra mampu memberikan kesadaran dan pengalaman batin bagi pembacanya. Menurut Sumardjo dan Saini (1991:10), pengalaman manusia merupakan akumulasi yang utuh karena meliputi kegiatan pikiran, nalar, kegiatan perasaan, dan khayal. Kenyataan adalah sesuatu yang dapat merangsang atau menyentuh kesadaran manusia, baik yang ada dalam dirinya, maupun yang ada di luar dirinya.


Hal ini juga dialami Guntur Alam--yang selanjutnya disebut Guntur. Penulis muda berbakat ini sering mengangkat tema-tema lokal tempat kelahirannya; Muara Enim, Kalimantan Selatan. Lelaki kelahiran 26 November 1986 ini menulis berdasarkan fakta yang terjadi di tanah kelahirannya. Fakta tersebut diramu dan dirancang bukan sekedar menyampaikan fakta nyata belaka. Tetapi, Guntur menulisnya menjadi sebuah bacaan yang mengasyikkan. Hal ini sesuai dengan konsep yang dicetuskan Horace bahwa seni itu (baca: karya sastra) bersifat dulce et utile, karya sastra itu indah dan berguna (Wellek & Warren, 1995:25). Indah berarti karya sastra dapat memberikan hiburan, berguna berarti karya sastra dapat memberikan manfaat pada pembacanya.

Kedua fungsi seni yang diungkapkan Horace tersebut dapat ditemukan dalam sejumlah cerpen karya Guntur. Lelaki berkaca mata ini berusaha memikat hati pembaca dengan kata-kata sederhana dan indah sehingga membuat pembaca merasa terhibur. Cerpen-cerpen Guntur yang memiliki nuansa lokal seperti cerpen Mar Beranak di Limas Isa (Kompas, 20 Maret 2011), cerpen Perihal Sebatang Kayu di Belakang Limas Kami yang Ada dalam Hikayat Emak (Kompas, 31 Juli 2011) dan cerpen Tem Ketetem (Koran Tempo, 2 Januari 2011).

Cerpen Mar Beranak di Limas Isa menceritakan Bi Maryam, istrinya Mang Isa, hendak melahirkan. Pasangan suami-isteri ini sebenarnya sudah memiliki beberapa anak, namun, karena semuanya perempuan, Mang Isa masih ingin memiliki anak laki-laki. Keluarga yang tidak memiliki keturunan laki-laki akan merasa aib dan tidak memiliki tumpuan pada masa tua. Anak-anak perempuan akan ikut kemauan suaminya kelak. Jika hal itu yang terjadi, maka Bi Mar dan Mang Isa akan menjadi bahan pembicaraan para tetangga. Akan hidup sebatangkara di masa tua.

Namun, ada beberapa istilah yang membuat pembaca harus berfikir ekstra terkait istilah-istilah lokal yang disuguhkan Guntur. Dalam cerpen ini misalnya, Guntur menggunakan beberapa istilah atau bahasa daerah seperti jurai, Mang, limas, pahat, balam, kajut, sereket, dan sebagainya.

Begitu juga cerpen Perihal Sebatang Kayu di Belakang Limas Kami yang Ada dalam Hikayat Emak sangat kental dengan warna lokal penulis. Cerpen ini menceritakan seorang anak perempuan yang mendapat larangan keras dari ibunya untuk bermain di dekat batang kayu yang berada di belakang limas mereka. Sang ibu menggambarkan ada seekor ular berbisa yang siap menerkam siapa saja yang bermain di belakang limas tersebut. Penggambaran cerita ini tak lepas dari kelihaian penulis terhadap kondisi lokal di daerahnya. Bahkan, pembaca seakan-akan diajak melihat langsung dengan mata kepala bagaimana ular itu beraksi jika ada seorang anak yang mendekat ke batang kayu itu.

Nuansa lokal dalam cerpen ini dapat kita fahami bagaimana cara seorang ibu ketika melarang anak-anaknya dengan menggunakan cerita-cerita yang mengerikan. Pada waktu itu, mungkin anak-anak lebih ampuh menuruti petuah orang tuanya hanya dengan cerita tersebut. Tetapi cara seperti itu belum tentu sesuai digunakan pada masa sekarang. Sebab, anak-anak sekarang sering disuguhi tontonan-tontonan mengerikan melalui sinetron-sinetron di televisi. Sehingga, cerita tentang seekor ular di sebuah batang di belakang limas bukan lagi menjadi cerita yang menakutkan.

Dalam cerpen Perihal Sebatang Kayu di Belakang Limas Kami yang Ada dalam Hikayat Emak  Guntur sepertinya juga ingin menyuguhkan rasa trauma tokoh ibu terhadap ular berbisa. Mungkin, suaminya memang betul-betul dipatok ular berbisa dan menyebabkan kematiannya. Nampaknya, sang ibu tak ingin peristiwa itu terjadi kali kedua, apalagi menimpa anak perempuannya. Salah satu cara yang digunakan sang ibu adalah menceritakan sosok ular berbisa yang mengerikan itu. Tak ada cara lain yang ia lakukan, kecuali menceritakan hal itu walaupun ceritanya selalu sama.

Cerpen berikutnya yang kental dengan nuansa lokal adalah cerpen Tem Ketetem. Judul cerpen ini cukup unik dan tidak ditemukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cerpen ini menceritakan keyakinan masyarakat Muara Enim tentang sebuah kisah yang tidak boleh didengar oleh siapapun. Jika hal itu dilanggar, konsekwensinya adalah orang tersebut akan mendapat bala. Namun, jika masyarakat di sana melupakan kisah ini, maka tak ada bala yang akan menimpa masyarakat tersebut.

Cerpen Tem Ketetem diambil dari nama gadis kampung Muara Enim yang menjadi hikayat tersendiri. Ketetem adalah gadis semata wayang Muneng Gelung yang memiliki wajah cantik. Kecantikan Ketetem menjadi bahan pembicaraan dan menjadi rebutan lelaki yang ingin meminangnya.  Muneng Gelung menginginkan anaknya memilih satu di antara lelaki yang ingin meminangnya. Sebab, Muneng Gelung tak ingin anak gadisnya itu menjadi perawan tua yang tidak memiliki pendamping hidup. Mendengar desakan Muneng Gelung, Ketetem memberi keputusan bahwa dirinya masih belum menemukan calon pendamping yang sesuai dengan keinginan hatinya.

Ketika para lelaki menunggu keputusan dari Ketetem yang tak kunjung ada kabar, tiba-tiba terjadi sebuah peristiwa yang sangat mengerikan. Tubuh Ketetem dipatok ular. Tubuhnya membiru akibat aliran bisa yang memenuhi seluruh tubuhnya. Ketetem meninggal dunia di saat itu juga.

Orang tua Ketetem; Muneng Gelung, menyakini peristiwa itu merupakan niat jahat salah satu lelaki yang hendak meminang Ketetem namun tak pernah ada jawaban yang pasti dari Ketetem. Saat kematian Ketetem, Muneng Gelung berbisik didekat mayatnya: Kau harus lumat bujang-bujang durjana itu, Tem. Diyakini, arwah Ketetem akan melakukan balas dendam.

Entahlah, apakah pada masa moderen ini dan pada masyarakat yang lebih agamis ini keyakinan itu masih melekat pada masyarakat Muara Enim atau tidak. Yang jelas, Guntur telah mengabadikan hal itu pada sejumlah cerpennya. Bahkan, Guntur mampu menyajikan kesan realistis sehingga apa yang menjadi cerita fiksi seolah-olah ada dalam kehidupan sehari-hari. Sumenep, 18 Februari 2012


SUHAIRI RACHMAD lahir di Sumenep, Madura. Alumnus Fak. Sastra Universitas Jember dan mantan Ketua Umum Forum Lingkar Pena (FLP) Cabang Jember. Cerpennya pernah dimuat di beberapa media lokal dan nasional. Beberapa buku bersamanya yang terbit; “Puisi Rakyat Merdeka” (Puisi, Grasindo:2003), "142 Penyair Menuju Bulan" (Puisi, Kalalatu Press:2006), ”Antologi Puisi Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan" (Puisi, DKM Mojokerto:2010), "Antologi Cerpen Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan" (Cerpen, DKM Mojokerto: 2010), "Bismillah, Aku Tidak Takut Gagal" (Motivasi, Qultum Media:2011).