Opini

Refleksi Hari Lahir NU ke-80: Tafsir Khittah NU

Kamis, 2 Februari 2006 | 06:02 WIB

Oleh: A. Mustofa Bisri

Sebenarnya saya sudah berpikir untuk berhenti saja berbicara mengenai Khitah NU. Sepertinya tidak ada atau nyaris tidak ada gunanya. Rupanya orang, termasuk orang NU, lebih suka menafsirkan khitah sesuai dengan aspirasi dan kepentingan sendiri ketimbang membaca dan mengkajinya.

<>

Lalu menganggap dirinya sudah mengerti. Celakanya, banyak di antara mereka yang kemudian dengan sengaja mengajak orang lain untuk melihat khittah sebagaimana mereka melihat dan menafsirinya.  Berkali-kali saya mengatakan, terutama kepada kawan-kawan NU, bacalah khitah. Baca saja Khitah NU itu menggunakan bahasa Indonesia yang tidak sulit. Ketika khitah hendak disyarahi pada Munas Lampung tahun 1992, saya termasuk yang tidak setuju (tapi kalah suara). Karena saya menganggap khitah sudah sangat jelas. Tapi tarik-menarik kepentingan memang terbukti telah mampu mengaburkan khitah yang jelas itu.

Mereka yang ingin mendalami dengan melacak sejarah kelahirannya, juga sebenarnya tidak perlu menggunakan tafsir jalan lain. Sebab, banyak pelaku sejarah yang masih hidup. Di antaranya anggota Majelis 21 dan Tim 7 yang mempersiapkannya sejak tahun 1970-an dan menyusun draft khitah. Meskipun ada beberapa yang sudah wafat, tapi banyak yang masih hidup dan bisa ditanyai.

Di samping itu, dokumen tentang sejarah khitah berupa catatan-catatan, brosur, jurnal, dan kaset-kaset rekaman masih tersimpan dan bisa dilacak.

Kunci dari tak kunjung dipahaminya, selain kepentingan -yang di Indonesia memang masih merupakan ëtuhaní- menurut saya adalah kurang dipahaminya politik secara luas. Paling tidak ada 3 jenis politik dalam pemahaman NU. Pertama, politik kebangsaan. Kedua, politik kerakyatan. Dan ketiga, politik kekuasaan.

NU sejak berdiri memang berpolitik, terutama dalam pengertian yang pertama, karena NU sangat berkepentingan dengan keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia (KNRI). Perhatian NU dalam menjaga keutuhan KNRI yang merupakan tujuan politik jenis ini dapat dilihat dari sikap dan kiprahnya sejak rais akbarnya mencanangkan fatwa jihad melawan penjajahan, Oktober 1945; menetapkan waliyyul amri adh-dharuri bisy-syaukah tahun 1952 (ketetapan ini dan yang lain melalui kajian fiqh yang serius. Bukan sekadar melegitimasi Orla.  Ketetapan itu erat kaitannya dengan kemaslahatan umat.

Ketetapan berdasarkan fiqh itu penting sekali, terutama karena ada anggapan dari sementara warga yang memberontak bahwa presiden tidak sah. Bila anggapan itu dibenarkan, akan berimplikasi pada ketidakabsahan menteri agama dan pada gilirannya ketidakabsahan penghulu-penghulu yang mengawinkan orang, dan akan berjibunlah anak-anak zina di negeri ini).

Kemudian ketetapan penerimaan asas tunggal 1984 (juga melalui kajian fiqh serius dan bukan sekadar melegitimasi Orba); taushiyah tentang reformasi tahun 1998; dan masih banyak lagi yang menunjukkan perhatian NU terhadap keutuhan KNRI. Belum lagi yang dilakukan oleh para kiai secara jamaah sebelum men-jam'iyyah. Perhatian NU dalam menjaga keutuhan NKRI itu memang sering tidak dipahami atau bahkan dipahami secara salah sebagai sikap oportunisme. Tapi hal itu-sebagaimana perjuangan mereka untuk negeri ini yang tidak dicatat dalam buku sejarah selama ini- tidak menjadi soal bagi kiai NU sejati. Karena bagi mereka penilaian Allah sematalah yang dihitung.

Politik jenis kedua, politik kerakyatan, adalah implementasi dari amar makruf nahi munkar yang ditujukan kepada penguasa untuk membela rakyat. Dan hal itulah yang kemudian diambil alih oleh generasi muda melalui LSM-LSM, ketika mereka melihat NU secara struktural kurang peduli terhadap yang ini.

Tentu saja yang paling menarik perhatian orang NU adalah politik jenis ketiga, politik kekuasaan atau yang lazim disebut politik praktis. Hal itu mungkin karena kesuksesan NU pada tahun 1950-an, yang dalam waktu persiapan relatif sangat pendek, Partai NU yang baru keluar dari Masyumi dapat menduduki peringkat ketiga setelah PNI dan Masyumi yang sangat siap waktu itu. Sejak itu kemaruk politik (praktis) merebak di sekujur urat nadi NU. Sehingga garapan-garapan mulia lainnya seperti pendidikan, ekonomi, sosial, dan dakwah, terbengkalai.

Sejak perumusan konsep sebelum disahkan tahun 1984 (masih menggunakan istilah kembali ke Khittah 1926), memang memasukkan faktor politik praktis ke dalam p