Opini

Sekali Lagi Fatwa MUI

Rabu, 24 Agustus 2005 | 01:48 WIB

Oleh Mustofa Bisri
 
Jakarta, NU Online
FATWA MUI masih terus menjadi sorotan terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah yang menjadi kepedulian atau kepentingan orang kota, khususnya di Ibu Kota. Biasanya fatwa-fatwa MUI tidak begitu mendapat perhatian, apalagi sorotan seperti ini. Maklum orang kota dekat pusat informasi sehingga segala hal yang menjadi perhatian mereka, termasuk sikap, pernyataan, dan sebagainya cepat terpublikasikan oleh pers. Sementara mayoritas masyarakat di daerah sudah terlalu sibuk atas urusan kehidupannya. Apalagi untuk urusan fatwa-fatwa begitu mereka sudah punya mufti-mufti sendiri.

Orang-orang NU dan Muhammadiyah, misalnya, yang merupakan mayoritas umat Islam Indonesia, tentu akan lebih memperhatikan fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh organisasi mereka. Apabila ada pertanyaan-pertanyaan soal keagamaan, paling jauh mereka akan mengajukannya kepada tokoh-tokoh agama dari kalangan mereka sendiri.

<>

Beberapa fatwa yang dianggap kontroversial itu antara lain yang menyatakan pluralisme, sekularisme, dan liberalisme agama bertentangan dari ajaran agama Islam. Kemudian doa bersama adalah bid'ah dan orang Islam diharamkan mengamini doanya orang nonmuslim. Juga fatwa yang tidak hanya menegaskan aliran Ahmadiyah sesat, tapi juga menyatakan pemerintah berkewajiban melarang penyebaran paham itu di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya.

MUI memang pernah memfatwakan dalam Munas Ke-2 (1980) bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat. Boleh jadi karena peristiwa sesat (penyerbuan barbar yang dilakukan sekelompok masyarakat yang menganggap diri tidak sesat dan terlalu bersemangat membela Allah dan agama-Nya baru-baru ini), maka MUI mewajibkan kepada pemerintah untuk melarang aliran tersebut. Mungkin jalan pikirannya, MUI hanya berfatwa, dampak dari fatwanya bukan urusan MUI. Pemerintahlah yang harus mengantisipasi dan menanganinya, jangan masyarakat.

Kalau sekadar memfatwakan bahwa Ahmadiyah itu sesat (mestinya juga dijelaskan Ahmadiyah yang mana) dan menyesatkan untuk kalangan Islam sendiri, saya pikir tidak mengapa.

Tapi di negara Pancasila ini meminta pemerintah untuk melarang, membekukan, dan menutup semua tempat kegiatannya, rasanya kok berlebih-lebihan. Jika saya boleh membuat analog, misalnya kita memiliki warung, lalu ada warung lain yang mirip warung kita dan ternyata ada atau banyak langganan warung kita yang lari ke warung lain itu, apa yang mestinya kita lakukan?

Menurut saya, kita perlu introspeksi lalu meningkatkan manajemen, pelayanan, dan mutu makanan. Pendek kata menampilkan keistimewaan warung kita. Atau paling jauh, memberitahukan kepada langganan kita bahwa warung lain itu bukan cabang warung kita. Bukannya kita meminta polisi untuk menutup warung lain tersebut, apalagi membakarnya.

Memang, katimbang keberatan atas bunyi fatwa-fatwa MUI itu, banyak yang mengkhawatirkan dampaknya.

Soalnya, meski banyak yang tidak peduli atas fatwa-fatwa MUI, ternyata selalu saja ada yang memanfaatkannya untuk melegitimitasi sikap dan pandangannya. Ini terutama karena ada tren dalam masyarakat, yang entah terjangkit virus apa, suka menyelesaikan masalah dengan kekerasan.

Bukan saja oleh mereka yang sama sekali awam tentang akhlak agama, melainkan juga oleh mereka yang sedikit-banyak mengerti tentang ajaran dan teladan Rasulullah SAW, sebagaimana yang sering kita saksikan. Ditambah lagi dengan maraknya kecenderungan membawa dalil-dalil agama untuk membenarkan sikap atau untuk mendukung sesuatu kepentingan.

Terlepas dari itu, saya melihat khususnya dalam beberapa fatwa yang kontroversial ini, MUI kurang jelas atau kurang menjelaskan mengenai masalah-masalah yang dihukuminya.

Misalnya, soal doa bersama, seharusnya MUI menjelaskan dulu apa yang dimaksudkan dengan doa. Apakah yang dimaksud doa adalah semua permohonan kepada Tuhan? Apakah mubahalah, misalnya termasuk katagori doa atau tidak?

Sebab Rasulullah SAW pernah disuruh Allah mengajak tokoh-tokoh Nasrani Najran untuk mubahalah, bersama-sama memohon kepada Allah meskipun tidak terlaksana karena tokoh-tokoh Nasrani menolak (baca: Q.3: 61). Kalau menurut Tafsir Jalalain, mubahalah artinya tadlarru' fiddu'aa', memohon dengan sungguh-sungguh dalam berdoa.

Soal kawin campuran. Sepanjang yang diberitakan pers, Fatwa MUI berbunyi: 1. Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah; 2. Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab adalah haram dan tidak sah. H Amidhan, mantan pejabat yang menjadi salah satu ketua MUI, ketika menanggapi protes dari berbagai kalangan, dengan tegas menyatakan bahwa mereka yang protes itu berdasarkan akal, sedangkan ulama (MUI) berdasarkan Alquran dan Sunnah Rasul. Lalu bagaimana dengan Ayat 61 Surat Al Maidah yang memperbolehkan orang muslim kawin dengan Ahlu Kitab?

Menurut Ibn Katsir, banyak sahabat Nabi yang kawin dengan perempuan Ahlu Kitab berdasarkan ayat ini. Kalau dikatakan Ahlu Kitab sekarang be