Opini

Sesat Pikir Full Day School

Senin, 14 Agustus 2017 | 12:03 WIB

Oleh: Darmaningtyas

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah. Pasal 2 Permendikbud tersebut mengatur hari sekolah dilaksanakan 8 (delapan) jam dalam 1 (satu) hari atau 40 (empat puluh jam) selama 5 (lima) hari dalam 1 (satu) minggu atau yang akhir-akhir ini disebut full day school.

Seperti ditegaskan dalam pasal 8, peraturan ini mulai dilaksanakan pada tahun pelajaran 2017/2018. Ini artinya, pada tahun ajaran baru, Juli 2017 nanti, sekolah-sekolah secara nasional sudah melaksanakan lima hari sekolah ini.

Namun, dalam Permendikbud tersebut tidak ditemukan tujuan menjadikan hari sekolah itu seragam dari enam menjadi lima hari secara nasional. Pasal 3 hanya mengatur penggunaan hari sekolah oleh guru untuk melaksanakan beban kerja guru, dan pasal 4 mengatur penggunaan hari sekolah oleh tenaga kependidikan untuk melaksanakan tugas dan fungsinya. Tapi tugas tersebut dapat berlaku enam hari sekolah.

Demikian pula pengaturan dalam pasal 5 dan 6  mengenai penggunaan hari sekolah oleh murid untuk melaksanakan kegiatan intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler, selama ini sudah demikian adanya, tidak perlu nunggu delapan jam di sekolah. Artinya, tanpa ada perubahan dari enam menjadi lima hari sekolah pun kegiatan murid di sekolah mencakup kegiatan intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler.

Kita tidak temukan pasal yang menjelaskan pentingnya perubahan hari sekolah dari enam menjadi lima hari dan dalam sehari anak-anak harus di sekolah delapan jam secara nasional. Ini sesat pikir pertama, membuat kebijakan tanpa tujuan yang jelas.

Gagasan sekolah sehari penuh (full day school/FDS) pernah dilontarkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy pada masa awal menjabat sebagai Menteri Pendidikan. Dalam banyak kesempatan di forum-forum resmi, Menteri Muhadjir sering menjelaskan bahwa pelaksanaan FDS akan dimulai dengan piloting system. Implementasi detailnya masih dikaji.

Melalui running text di stasiun televisi nasional (awal September 2016), misalnya, kita pernah membaca “Mendikbud Muhadjir Efendy: Full day school meningkatkan SDM”.  Ini mencerminkan niat Menteri Muhadjir untuk mewujudkannya.

Menteri Muhadjir menjelaskan bahwa yang dia kerjakakan itu adalah melaksanakan visi dan misi Presiden Joko Widodo tentang pendidikan, bahwa untuk pendidikan dasar (SD/MI-SMP/MTs) 80% berisi pendidikan budi pekerti atau karakter, sementara untuk ilmu pengetahuan cukup 20%. FDS merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan visi-misi Presiden Jokowi.

Dengan FDS rancang bangun pendidikan karakter dapat dilaksanakan. Dengan FDS, anak-anak secara perlahan akan terbangun karakternya dan tidak menjadi liar di luar sekolah ketika orangtua mereka belum pulang dari kerja. Menurut Muhadjir, kalau anak-anak tetap berada di sekolah, mereka dapat menyelesaikan tugas-tugas sekolah sampai dijemput orangtuanya seusai jam kerja.

Selain itu, anak-anak dapat pulang bersama orangtua sehigga ketika di rumah mereka tetap dalam pengawasan orangtua. Ini sesat pikir kedua yang menganggap bahwa semua orangtua murid kerja kantoran sampai sore hari, kebijakan yang bias Jakarta.

Konsep full day school dan lima hari sekolah bukan konsep baru. Sejak reformasi 1998, banyak sekolah telah menerapkannya. Langkah sejumlah sekolah itu termasuk dalam kategori manajemen berbasis sekolah (MBS). Mengingat sekolah yang lebih tahu kondisi sekolahnya, maka sekolah diberi kebebasan untuk mengambil kebijakan teknis untuk sekolahnya sendiri.

Agar kebijakan sekolah tersebut memiliki landasan hukum yang kuat, ada UU Sisdiknas No. 20/2003 pasal 51 ayat (1): “Pengelolaan satuan pendidikan anak usiadini, pendidikan dasar, dan pendidikanmenengah dilaksanakan berdasarkanstandar pelayanan minimal dengan prinsipmanajemen berbasis sekolah/madrasah”.

Urusan apakah sekolah akan enam hari atau lima hari itu urusan teknis sekolah, bukan urusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Oleh karena itu, meski selama hampir dua dekade di masyarakat kita itu ada sekolah yang enam hari dan ada sekolah yang lima hari, hal itu tidak menimbulkan pro dan kontra karena dasarnya adalah manajemen berbasis sekolah (MBS), sehingga tidak terjadi penyeragaman.

Sekolah-sekolah yang merasa cocok untuk menerapkan konsep FDS dipersilakan, tapi yang akan tetap melaksanakan enam hari sekolah juga dipersilakan. Demikian pula daerah, ada daerah yang melaksanakan lima hari sekolah, seperti DKI Jakarta, tapi mayoritas daerah tetap memilih melaksanakan enam hari kerja.

Bahkan Provinsi Jawa Tengah yang sejak Gubernur Ganjar Pranowo melakukan uji coba melaksanakan lima hari sekolah, beberapa kabupaten/kota sudah mengajukan permohonan untuk kembali ke enam hari sekolah, karena penerapan kebijakan lima hari sekolah dinilai tidak efektif, tidak sesuai dengan kultur mayoritas warga yang agraris, sehingga justru orang tua bingung memberikan kegiatan/mengarahkan anak-anaknya pada hari Sabtu yang tidak sekolah itu.

Jadi, jelas substansi yang menolak FDS dan kebijakan lima hari sekolah secara nasional itu bukan terletak pada konsep lima harinya, melainkan sifat kebijakannya yang sentralistik tanpa melihat karakter geografis, infrastruktur dan sarana transportasi, ekonomis, sosial, dan budaya.

Indonesia ini amat luas dan beragam. Bukan hanya Jakarta dan kota-kota lain di Jawa yang memiliki infrastruktur dan sarana transportasi yang memadai, tapi ada pulau-pulau kecil yang infrastruktur dan sarana transportasinya minim, guru di sekolah cuma 1-3 orang saja. Pada daerah-daerah dan sekolah-sekolah seperti itu FDS sangat tidak cocok diterapkan.

Alih-alih meningkatkan SDM, FDS justru membuat orangtua memilih tidak menyekolahkan anaknya. Permendikbud  Nomor 23 Tahun 2017 yang mengatur Lima Hari Sekolah adalah langkah mundur di era reformasi, dari manajemen berbasis sekolah (MBS) menjadi sentralistik. Bahaya rezim Orde Baru yang sentralistik terulang.

Saya pernah berusaha menyampaikan masukan untuk tidak memperlakukan FDS secara nasional. Pada November 2016 saya pergi ke Pulau Samosir dan menjumpai sejumlah murid SMP-SMA berjalan kaki jauh, melintasi pegunungan yang sunyi. Lalu pada Maret 2017 saya ke Kupang dan melihat anak-anak SMP menunggu angkutan umum sampai jam 17.30 (di Kupang sudah gelap).

Dua potret ini saya kirim ke Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendikbud dengan keterangan: “Mereka akan sampai di rumah jam berapa jika nanti full day school diterapkan secara nasional?”.

Sampai saat ini sebagian murid murid SMPN 2 Kupang ada yang masuk pagi dan ada yang masuk siang. Seorang guru (Ibu Essey) dari Soe (NTT) juga menyampaikan pesan agar Menteri Pendidikan kalau buat kebijakan tidak sentralistis, seperti kebijakan full day school dan lima hari sekolah.  Sayang, masukan-masukan dari lapangan itu diabaikan saja karena kebijakan dibuat dengan cara pandang Jakarta dan Jawa sentris.

Mengingat Indonesia ini amat luas dan beragam serta janji Presiden Jokowi dalam kampanye dulu untuk menjamin keragaman dan budaya lokal dalam kebijakan pendidikan, maka kembalikan persoalan teknis: enam atau lima hari sekolah itu ke otonomi sekolah sesuai dengan manajemen berbasis sekolah, bukan ditarik oleh Menteri Pendidikan.

Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah sebaiknya dicabut karena bertentangan dengan UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20/2003 Pasal 51 ayat (1) tentang Otonomi Sekolah/Madrasah. Bagaimana mungkin Menteri Pendidikan membuat Peraturan Menteri yang bertentangan dengan UU Sisdiknas yang mereka buat sendiri dan harus dijalankan?

Ini sesat pikir ketiga full day school dan lima hari sekolah. Saya berharap pemerintahan Jokowi tidak mundur dan sentralistik dalam penyelenggaraan pendidikan, seperti masa Orde Baru.


Penulis adalah pakar pendidikan nasional, tulisan ini sebelumnya pernah dimuat di Geotimes