Judul : Islamku, Islam Anda, Islam Kita
Penulis : Abdurrahman Wahid
Penerbit : Wahid Institute, Jakarta
Cetakan I : 2006
Buku ini menghimpun 82 karya Abdurrahman Wahid yang ditulis dalam rentang waktu antara 2002 dan 2004 (termasuk beberapa karya yang tidak terdeteksi historisitasnya). Namun, hal pertama yang terkesan dari kumpulan tulisan ini adalah produktivitas Gus Dur di tengah kesibukan dan kondisi fisik yang menua.
<>Jika jumlah karya itu dibagi dalam rentang 3 tahun, berarti Gus Dur menulis + 27 judul setiap tahunnya, atau lebih dari dua karya dalam jangka satu bulan. Dan jumlah itu belum termasuk karya di luar seleksi editor, atau karya yang belum dipubikasikan media.
Ditinjau dari pembaban yang dibuat oleh editor, tema yang digeluti Gus Dur dalam rentang waktu itu sangat luas, meliputi ideologi-kultural, negara dan kepemimpinan, keadilan dan HAM, ekonomi kerakyatan, pendidikan, terorisme dan hubungan internasional. Namun, yang menyatukan itu semua adalah konteks nasional-internasional yang dihadapi Gus Dur.
Atas dasar itu, saya berpandangan, kajian buku ini tidak bisa mengabaikan tempat dan tanggal lahir karya-karya di dalamnya, yang secara acak diaduk oleh editor demi keutuhan tema buku. Dengan demikian, proyek membaca ini adalah sebuah upaya bongkar pasang, untuk memahami dan merasakan problematik yang bisa jadi tidak tunggal. Itu dari satu sisi.
Di sisi lain, saya melihat konteks itu yang mendorong Gus Dur tetap produktif berkarya. Dapat dipastikan pada setiap tulisannya, titik berangkat Gus Dur selalu fakta yang “baru-baru ini” atau “belum lama ini” atau secara tegas dicantumkan tempat dan tanggal peristiwa yang diulas, atau berkenaan dengan pengalamannya dalam seminar atau konferensi internasional.
Pendek kata, Gus Dur nyaris tidak pernah berangkat dari sebuah teori kosong yang dicari wujud konkritnya dalam kenyataan.
Muncul pertanyaan, “apa hubungan kreativitas dengan kontekstualitas, dalam arti keberpihakan si penulis pada konteksnya?”
Kenyataan adalah pengalaman langsung yang dirasakan seseorang dengan segenap akal, rasa dan karsanya. Dalam lingkup kenyataan itu, penulis tidak hanya mengerti inti permasalahan tapi juga mengetahui alur dialektika persoalan tersebut. Sebab, sebuah persoalan bisa jadi merupakan persoalan baru yang ia hadapi sebagai orang masa lalu (lebih dahulu dari persoalan itu), bisa juga persoalan lama yang mengalami mutasi atau evolusi dalam bentuk baru.
Dengan kata lain, pengalaman bertradisi, yang dapat diartikan sebagai pengentalan dari keberpihakan pada konteks selama berabad-abad, seolah menemukan tantangan setiap kali dihadapkan dengan problem baru yang perlu ditanggapi. Paling tidak, kita bisa membaca motivasi Gus Dur dalam menulis, sekalipun tidak berarti bahwa Gus Dur selalu “menghakimi” kenyataan dengan keyakinan doktrinal.
Malah, seperti kita baca dalam kumpulan tulisan ini, betapa Gus Dur menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Terlebih Islam, yang menjadi rebutan antar golongan. Baik pemetaan berdasarkan kecenderungan objeknya, seperti Islam itu ideologis atau kultural? Populer atau elitis? Atau berdasarkan kecenderungan pembacaannya, menjadi Islamku, Islam Anda (dan) Islam Kita.
Gus Dur Bukan Pemikir Liberal
Secara garis besar, pemikiran Gus Dur bercorak multikultural, salah satu paham yang memberikan perhatian terhadap kelompok minoritas, terutama dalam rangka melindungi identitas mereka. Oleh karena itu, sejak awal Gus Dur dikenal sebagai pembela kelompok-kelompok minoritas yang termarjinalkan oleh kelompok mayoritas. Dalam pandangan Gus Dur, betapa pun kuatnya kelompok mayoritas tidak boleh melakukan penyingkiran terhadap kelompok-kelompok minoritas karena mereka memiliki hak untuk tumbuh, berkembang, dan berdampingan dengan kelompok mayoritas.
Pluralisme ala Gus Dur banyak digunakan dalam konteks keagamaan. Sekali lagi harus diingat, bahwa pilihan ini dalam pandangan Gus Dur sebagai bentuk yang tepat untuk konteks Indonesia, karena banyak orang salah memahami tentang pluralisme. Ada sebagian orang yang memahami pluralisme sebagai paham yang mengajarkan semua agama adalah sama, dan atas dasar itu kebenaran setiap agama bersifat relatif. Pluralisme juga dimengerti sebagai suatu paham yang mengajarkan bahwa setiap agama tidak boleh mengklaim agamanya saja yang benar, sedangkan agama yang lain salah.
Selain itu, pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga. Pemahaman seperti inilah yang sering menjadi rujukan penolakan terhadap perjuangan-perjuangan keagamaan yang berada di bawah payung pluralisme, termasuk Gus Dur dengan paham pluralismenya juga disimplifikasi sebagaimana pemahaman tersebut. Padahal kalau diperhatikan secara seksama pluralisme Gus Dur memiliki perbedaan yang signifikan dengan pemahaman tersebut.
Sebenarnya, pluralisme dalam pandangan Gus Dur berusaha mengajak kita lebih realistis, bahwa kenyataannya agama-agama memang berbeda. Sikap ini tampak dalam salah satu tulisan Gus Dur yang menyatakan bahwa pluralisme seharusnya dipahami sebagai proses pencarian kebenaran dan sikap saling menghargai. Meskipun sebagai orang Islam, kita meyakini kebenaran Islam, bukan berarti kebenaran dalam keyakinan ini menjadi hakim bagi yang lain. Kita tidak menjadikan ajaran yang kita yakini sebagai aturan bagi aliran lain yang ada di Indonesia, karena masyarakat Indonesia memang majemuk.
Dari sini, Gus Dur tampak lebih mengedepankan sikap toleran dalam keagamaan. Atas pertimbangan ini, pluralisme Gus Dur tidak sama seperti yang dipahamai oleh kebanyakan orang yang berujung pada penyeragaman dan pembenaran setiap agama, tapi pluralisme yang menekankan sikap saling menghargai sebagai masyarakat Indonesia yang majemuk.
Di sini, pluralisme mulai menunjukkan relevansi yang signifikan terhadap keberagaman masyarakat Indonesia. Pluralisme hadir dalam rangka membangun toleransi di tengah perbedaan dan keragaman tersebut. Dalam hal ini, pluralisme memberi pesan secara nyata bahwa yang direkomendasikan adalah model toleransi aktif, artinya toleransi yang tidak hanya mengakui perbedaan dan keragaman, tapi lebih dari itu, menjadikan perbedaan sebagai potensi kerjasama dan menjadi satu paham pemersatu masyarakat Indonesia dengan berbagai keragamannya.
Pluralisme model inilah yang terdapat dalam pemikiran Gus Dur, sebuah paham yang dijadikan alat pemersatu dalam menciptakan sikap saling menghargai pada keragaman masyarakat Indonesia. Pemersatu bukan dalam arti menyatukan pemahaman, tapi lebih ditekankan pada sikap saling menghargai perbedaan yang ada.
Implikasinya, pluralisme Gus Dur menolak gerakan-gerakan penyeragaman, seperti formalisasi keagamaan, ideologisasi, dan syariatisasi. Formalisasi keagamaan dapat dimengerti sebagai gerakan yang berupaya menjadikan ajaran agama sebagai undang-undang dalam suatu negara. Begitu pun dengan ideologisasi, suatu gerakan yang ingin menjadikan suatu ideologi sebagai ideologi tunggal dalam keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagai ideologi negara. Sedangkan syariatisasi dapat dipahami sebagai upaya menjadikan pemahaman keagamaan (Islam, sesuai dengan ajaran masa lalu) sebagai hukum yang berlaku.
Semua itu bermuara pada penyeragaman yang tidak menghargai perbedaan. Bagi Gus Dur, hal ini dinilai tidak tepat dijadikan pijakan dalam menjalani kehidupan sebagai warga negara Indonesia yang beragam, baik dalam agama maupun yang aspek lainnya.
Namun, yang perlu ditekankan pemikiran Gus Dur serupa ini bukanlah wajah liberalisme atau liberalisasi Islam, bukan juga sekularisasi Islam. Hal ini penting mengingat, dalam banyak buku, pemikiran Gus Dur disejajarkan dengan pemikiran Nurchalis Madjid, Kuntowijoyo, bahkan Ulil Abshar Abdalla dalam satu kategori yang sama.
Buku ini, cukup menjelaskan betapa Gus Dur memiliki keunikan dalam pluralisme dan pemikiran lainnya. Keunikan itu adalah tradisinya yang mengakar dalam NU. (Anas Shafwan Khalid, Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah, aktif di Komunitas Saung)
Terpopuler
1
Meninggal Karena Kecelakaan Lalu Lintas, Apakah Syahid?
2
Hukum Quranic Song: Menggabungkan Musik dengan Ayat Al-Quran
3
Menag Nasaruddin Umar akan Wajibkan Pramuka di Madrasah dan Pesantren
4
Surat Al-‘Ashr: Jalan Menuju Kesuksesan Dunia dan Akhirat
5
Haul Ke-15 Gus Dur di Yogyakarta Jadi Momen Refleksi Kebijaksanaan dan Warisan Pemikiran untuk Bangsa
6
Mariam Ait Ahmed: Ulama Perempuan Pionir Dialog Antarbudaya
Terkini
Lihat Semua