Pustaka

Jenderal Soedirman dan Kisah-kisah Romantis Bersama Istrinya

Selasa, 4 Juli 2017 | 09:00 WIB

"Apa yang bapak bawa?" tanya Alfiah waktu itu.

"Baju dan bedak, Bu. Soalnya kalau ada serangan udara, semua toko bakal tutup," ujar Sudirman seraya membuka bungkusan. Diserahkannya baju dan berkotak-kotak bedak itu. Alfiah tercengang dibuatnya. Kaget campur senang.

"Buat apa bedak sebanyak itu?"

"Biar bagaimanapun, Ibu harus tetap terlihat cantik," terang Sudirman. "Tapi satu dus saja bisa untuk sebulan lebih, Pak," ujar Alfiah, seraya menyeka sudut matanya. Terharu juga dengan apa yang telah dilakukan suaminya. Dalam keadaan serba sulit, ia masih memperhatikan keperluan sang istri. Selain bedak, Sudirman juga membelikan baju. Dipeluknya baju itu. Tercium wangi baju baru. Untuk beberapa saat, Alfiah hanya bisa terdiam. Kehabisan kata-kata. Ketika Sudirman mengusap pipinya, pertahanan itu jebol. Alfiah tak kuasa untuk tidak menitikan air mata. Sudirman memeluknya.

"Kau senang, Bu?" tanyanya. Alfiah tak menjawab, hanya mengangguk. Tangannya sibuk menyeka air mata.

***

"Juga menganugerahi kita anak-anak. Lalu, kau menghabiskan seluruh waktu untuk mengurus anak-anak dan rumah tangga. Penghargaan apa yang sepantasnya kau terima? Tetapi kalaupun ada, tampaknya aku tak akan sanggup mengabulkannya."

"Aku menghabiskan seluruh waktu untuk anak-anak dan rumah tangga, tetapi bapak menghabiskan seluruh waktu untuk bangsa dan negara. Maka, kalaupun ada penghargaan yang aku terima, aku akan serahkan penghargaan itu kepadamu, Pak. Sebab tugas dan tanggung jawab bapak jauh melampaui kemampuan bapak sendiri. Aku masih bisa istirahat di antara waktu anak-anak istirahat, tetapi bapak hampir tak bisa istirahat di antara waktu para prajurit istirahat," sambung Alfiah.
 
Kutipan di atas adalah sebagian dialog romantis, intim, dan hangat antara Pak Dirman dan Bu Alfiah. Mereka saling berbagi peran dalam rumah tangga sesuai dengan kodratnya.
 
Penonton dan pembaca buku Indonesia pernah 'terpesona' dan 'terkagum-kagum' akan kisah romantisme Ibu Ainun dan Bapak BJ Habibie di Film Ainun Habibie (2012), dan sebelumnya pernah terbit buku Ainun Habibie (2010). Di tahun 2017, ini saya pribadi menemukan sebuah buku yang sangat menarik, filmik, dan inspiratif tentang romantisme Panglima Besar Jendeal Soedirman dan sang istri kinasih, Siti Alfiah di buku Soedirman & Alfiah: Kisah-kisah Romantis Panglima Besar Jenderal Soedirman (Penerbit Imania, 2017).

Kisah cinta yang awalnya tidak direstui oleh keluarga besar Alfiah itu menemui berbagai cobaan di masa perang kemerdekaan. Cinta Sudirman-Alfiah mulai tumbuh sejak sama-sama sekolah di Wiworo Tomo, saat Sudirman menjadi sekretaris himpunan siswa, dan Alfiah, bendaharanya.
 
Sampai sebelum novel ini hadir – bayangan saya seperti juga barangkali kebanyakan pembaca– Sosok Panglima Besar Sudirman pasti sosok yang tegas, keras hati dan pantang menyerah. Sebagai seorang Panglima Besar, pasti Pak Dirman itu disiplin, galak, dan mahal senyum. Karena memang dari buku Sejarah, jarang sekali disinggung sisi-sisi romantisnya.
 
Panglima Besar Sudirman ternyata sosok bapak yang welas asih dan sayang kepada istri dan putra-putrinya Dia adalah seorang lelaki menghayati ajaran Islam yang sempurna, tercermin ketika ia memperlakukan seorang perempuan sebagai istrinya, mendidik putra-putri buah kasih sayangnya, barulah kemudian keharmonisan di dalam rumah tangga itu menjadi bekal dalam kehidupan bertetangga, kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagi Jenderal Soedirman, di antara pentingnya pertemuan laki-laki dan perempuan dalam membangun institusi keluarga adalah menciptakan ketenangan dan ketentraman, menutupi rahasia dan menjaga diri dengan bagian dan perannya masing-masing.

Keteguhan dan kekerasan hati seorang Panglima Besar Jenderal Soedirman semakin mengkristal menjadi sikap hidupnya sebab di belakangnya ada seorang perempuan yang sabar dan telaten, yang semakin meneguhkan watak bawaan itu. Sebaliknya watak bawaan itu tak akan mengkristal menjadi sikap hidup, ketika tidak didukung oleh peran perempuan yang berada di belakangnya. Darimana Bu Siti Alfiah memiliki sikap hidup sabar dan telaten sehingga mampu mendampingi keteguhan dan kekerasan hati seorang Soedirman? Secara spiritual jelas lahir dari kemengertian akan agama Islam kedua orang tuanya sebagai tokoh Muhammadiyah di Cilacap waktu itu. Dan secara kultural, sikap hidup Bu Siti Alfiah lahir dari model perempuan Jawa secara umum. Nilai-nilai kultural yang telah terserap dalam sikap hidup perempuan Jawa misalnya tentang kias lima jari yang diajarkan Nyai Hartati kepada putrinya, Rancangkapti dalam Kitab Serat Centini. Jempol itu kependekan dari pol ing tias. Artinya ketika seorang perempuan jadi istri harus berserah diri sepenuhnya kepada suami. Telunjuk atau penuduh itu artinya seorang istri jangan sekali-kali berani membantah thudung kakung. Jari tengah atau penunggal itu mengkiaskan seorang istri harus selalu menunggalkan suami dan menjaga martabat suami. Jari manis mengkiaskan seorang istri harus tetap manis air mukanya dalam melayani suami. Jelentik atau kelilingking itu mengkiaskan athak ithikan, terampil dan banyak akal dalam melayani suami. Melayani suami itu cepat tapi lembut. Dan perempuan Jawa yang mengadopsi kias jari itu tentu saja Siti Alfiah yang kemudian tercermin dari sikap dan pikiran-pikirannya ketika menjadi istri Panglima Besar Jenderal Soedirman.

"Matur nuwun, Mas, aku suka sekali," batinnya. Lalu tangannya refleks mengusap rambut ikalnya. Sekarang ia tak pernah memakai jepit lagi. Tetapi benda penuh kenangan itu selalu disimpannya rapih di dalam lemari, serapih ia menyimpan kenangan di hatinya. Kelak, kepada anak perempuannya, jepit itu akan dihadiahkan pada saat-saat istimewa. Tentu bukan nilai barangnya yang dihadiahkan, melainkan lengkap dengan nilai kenangan yang terkandung di dalamnya. Dua anak perempuannya sekarang telah lahir, entah kepada siapa jepit pemberian Sudirman itu pertama kali akan dihadiahkannya.

Sungguh sosok Siti Alfiah adalah potret istri bersahaja, mengabdi dengan ikhlas kepada suaminya, memiliki kemampuan untuk menghargai sekecil apa pun dari apa yang telah diberikan suaminya.

"Kebahagiaan membuatmu tetap manis, cobaan membuatmu kuat, kesedihan membuatmu tetap menjadi manusia, kegagalan membuatmu tetap rendah hati." Ungkapan itu telah diwujudkan semasa gerilya-saat Sudirman sakit-Alfiah mendukung lahir batin dan merelakan seluruh perhiasan pemberian orangtuanya untuk bekal sang suami di medan gerilya.


Data Buku:
Judul     : Soedirman & Alfiah: Kisah-Kisah Romantis Panglima Besar Jenderal Soedirman
Penulis  : E. Rokajat Asura
Penerbit : Imania (2017)
Tebal     : 440 halaman
Resensi : Faried Wijdan, Pecinta Sejarah