Pustaka

Keistimewaan Shalat Hajat dan Dhuha

Senin, 3 Agustus 2009 | 04:31 WIB

Judul Buku : Mukjizat Shalat Hajat dan Dhuha
Penulis : Yusni Amru Ghazali
Penerbit : Grafindo, Jakarta
Cetakan : I, 2008
Tebal : 210 Halaman
Peresensi : Ach. Syaiful A'la*


Dalam arti yang cukup sederhana, definisi shalat bisa diartikan sebagai berikut: Shalat adalah ibadah yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Tak terkecuali apakah shalat wajib (duhur, asar, maghrib, isya’ dan subuh) atau shalat sunnah yang dianjurkan oleh Rasulullah seperti shalat sunnah istikharah, tahajjud, hajat, dhuha dan lain-lain.<>

Ketika seseorang akan melaksanakan shalat, maka diwajibkan terlebih dahulu untuk mengambil wudlu’. Dalam sebuah kitab disebutkan bahwa wudlu’ adalah nur – al wudlhuu nur – (cahaya). Orang yang selesai mengambil wudlu’ akan memiliki aura, wajah yang berseri-seri di hadapan Allah baik di dunia atau di akhirat begitu juga akan tampak di mata manusia.

Kenapa seseorang yang akan melaksanakan shalat diwajibkan untuk mengambil wudlu’ terlebih duhulu? Karena shalat merupakan terminal raga dan kebutuhan jiwa manusia untuk menuju Sang Khaliq. Shalat adalah merupakan cahaya yang berkilauan dalam hati orang yang beriman, yang memancarkan sinar pada wajahnya dan tercermin dalam tingkah dalam kehidupan sehari-hari. Shalat sebagai alat komunikasi langsung antara seorang hamba dengan Allah. Maka sangat tepat sekali jika seseorang akan minta sesuatu apa saja, lebih tepatnya dengan melakukan shalat. Shalat wajib atau sunnah.

Orang yang melakukan shalat sunnat, baik itu shalat hajat, shalat dhuha atau shalat tahajjud akan memetik buah dari beberapa keistimewaan yang ada. Misalnya orang yang melaksanakan shalat tahajud hasilnya bisa dibuktikan dengan janji dalam Al-Qur’an bahwa “Barangsiapa yang melaksanakan shalat sunnah (tahajjud) pada waktu sepertiga malam, maka Allah berjanji akan menempatkan orang – yang melakukan shalat tahajjud – itu pada tempat yang sangat mulai, maqamam mahmudah.

Dalam logika kita, kalau dalam pandangan Tuhan sudah ada pada tempat yang mulia (maqamam mahmudah), secara otomatis di mata manusia derajatnya akan lebih mulia. Bisa kita tilik beberapa prestasi yang telah dicapai oleh orang-orang yang mencoba untuk membuktikan janji Allah yang dalam Al-Qur’an. Yakni Prof Muhammad Saleh dengan bukunya Terapi Tahajjud atau bukunya penulis buku ini yang Berjudul Mukjizat Tahajjud dan Subuh dan masih banyak contoh-contoh lain yang sukses melalui terapi lewat shalat.

Sebagaimana yang kita ketahui bersama, bahwa manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan, dan kebutuhan-kebutuhan itu tidak (pernah) ada habisnya. Bahkan setiap hari kebutuhan seseorang semakin bertambah dan tidak bisa dihentikan, kecuali oleh kematian. Oleh sebab itulah ketika kita membutuhkan sesutau, shalat di sini akan memainkan perannya. Maka laksanakanlah shalat-shalat sunnah (tanpa harus mengesampingkan kecintaannya pada shalat fardu yang lima waktu) sebagaimana yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Misalnya ketika seseorang bingung dalam memilih sesuatu untuk dilaksanakan –ada dua pilihan sama-sama menjadi pilihan– seperti mau lamar pekerjaan, memilih jodoh, atau yang lain-lainnya, maka dianjurkan untuk shalat istikhara; memohon kepada Allah untuk ditunjukkan mana yang terbaik. Kemudian merasa Anda banyak berbuat dosa, banyak melakukan hal yang dilarang oleh agama –selama kesalahan yang diperbuat tidak ada kaitannya dengan sesama manusia– maka shalatlah taubat; minta ampunan kepada Allah atas segala dosa yang diperbuatnya. Ada juga ketika mereka terkena musibah yang berupa kesulitan dalam memperoleh makanan disebabkan oleh kekeringan disebabkan oleh lamanya tidak ada hujan, maka laksanakanlah shalat istisqa’; minta kepada Allah cucuran air hujan dari langit untuk membasahi bumi.

Mukjizat Dhuha

Kalau kita amati disekitar kita, setiap pagi setiap orang di dunia disibukkan dengan usaha, aktivitas dan urusannya masing-masing. Entah itu bekerja di kantor yang jadi pegawai, ngajar disekolah yang berprofesi jadi guru, mencari penungpang yang jadi sopir atau becak, mencari berita bagi yang jadi wartawan, menaiki perahu bagi yang nelayan dan pergi kesawah sambil membawa cangkul bagi yang pekerjaannya hidupnya sebagai petani, ada yang ke pasar, ke took dan lain sebagainya. Semua itu adalah pekerjaan yang baik karena mau bekerja dan berkarya. Karena kalau kita baca sejarah, semua para Nabi bekerja keras. Tidak ada Nabi yang kerjanya hanya menunggu keajaiban rezeki yang datang dari langit. Tetapi ditengah kesibukannya – sebelum memulai usahanya – para utusan Allah itu melakukan permohonan kepada Allah untuk dilancarkan usahanya. Seperti melakukan shalat dhuha atau yang lainnya.

Waktu dhuha adalah waktu yang penuh dengan fadhilah, terutama untuk mengawali aktivitas, baik yang bersifat duniawi (bisnis) atau yang bersifat ukhrawi. Kenapa disebut waktu yang penuh fadilah? Karena saat itu manusia sibuk dengan usuhanya sendiri-sendiri dan terkadang lupa akan Tuhannya, sepertinya yang mereka lakukan adalah hasil jerih usuhanya sendiri. Mereka banyak yang lupa bahwa rezeki yang ia dapatkan adalah datang dan merupakan anugerah (memberian) dari Allah.

Sampai saat ini, shalat dhuha dikenal oleh banyak orang sebagai salah satu shalat untuk melancarkan rezeki dan bisa memperpanjang umur. Tidak sedikit orang yang sukses di dunia ini yang keluar dari (madrasah) shalat dhuha dan shalat sunnah lain seperti tahajjud. Karena Rasulullah menganjurkan bagi pengikutnya sebelum melakukan aktivitas seharus shalat dhuha terlebih dahulu. Shalat dhuha menjadi pintu awal untuk kesuksesan seseorang dalam aktivitasnya. Karena dhuha merupakan media untuk minta sesuatu kepada Sang Rahman dan Sang Rahim.

Buku ini penting dibaca karena akan banyak membantu para pembaca dalam melakukan revolusi mendasar pada setiap diri, keluarga dan masyarakat pada umumnya. Selamat membaca!

*Peresendi adalah Alumnus Pondok Pesantren Nasy’atul Muta’allimin (NASA) Gapura Timur, Sumenep, Madura