Pustaka

Ketika Gus Dur Menjadi Seorang Sejarawan

Senin, 4 Oktober 2010 | 10:27 WIB

Judul: Membaca Sejarah Nusantara: 25 Kolom Sejarah Gus Dur
Penulis: Abdurrahman Wahid
Penerbit: LKiS, Yogyakarta.
Cetakan: I, Januari 2010
Tebal: xx + 134 halaman
Peresensi: Akhmad Kusairi

Sebagai seorang anak bangsa, sosok Abdurrahman Wahid atau biasa dikenal dengan Gus Dur dalam perjalanan hidupnya telah banyak menyumbangkan tenaga maupun pikiran bagi berlangsungnya Indonesia sebagai sebuah bangsa. Sebagian orang sudah tidak asing lagi dengan pemikiran-pemikirannya tentang agama, politik dan sosial kemasyarakatan. Namun tahukah orang bahwa Gus Dur juga bisa menjadi sejarawan yang menguasai berbagai literatur tentang sejarah.<>

Hal ini lah yang membuat menarik hadirnya buku *Membaca Sejarah Nusantara: 25 Kolom Sejarah Gus Dur * ini. Dengan analisisnya yang jeli, kritis, unik, dan terbilang nakal, Gus Dur membuat dugaan-dugaan terhadap fakta-fakta sejarah masa lalu yang terjadi di Indonesia (baca: Nusantara). Orang mungkin akan terkaget atau setidaknya tergelitik membaca tafsir dan spekulasinya terhadap suatu peristiwa sejarah yang selama ini mungkin sudah umum dipercayai sebagai 'kebenaran sejarah', tiba-tiba digoyangnya sedemikian rupa sehingga mau tidak mau orang pun akan melakukan peninjauan ulang.

Penguasaan Gus Dur atas bentangan sejarah nusantara dibuktikan dengan perhatian atas berbagai lakon sejarah, dari Sriwijaya, hingga ke masyarakat Tapanuli Selatan di Medan. Tema-tema pilihan Gus Dur juga beragam dari kekuasaan, toleransi agama, etnisitas, demokrasi, bahasa, gerakan politik, gerakan agama, pertanian, LSM, gender, maritim, dan moralitas.

Penguasaan materi ini tentu dimiliki Gus Dur dengan pembelajaran intensif melalui pembacaan buku, diskusi, atau kunjungan ke pelbagai situs sejarah. Gus Dur dalam sisi ini tampil sebagai intelektual yang peka terhadap sejarah. Modal ini memberikan kontribusi untuk proyek penulisan sejarah nusantara secara komprehensif.

Kejelian dan keberanian Gus Dur dalam menganalisis terlihat misalnya dalam Cerita mengenai pasukan China yang bersama-sama Raden Wijaya mengalahkan pamannya Jayakatwang. Dalaam buku ini Gus Dur menulis bahwa Bukan Kubilai Khan dan pasukannya yang menyerang Jayakatwang yang dibantu Raden Wijaya, melainkan Raden Wijayalah yang dibantu pasukan China di bawah perwira-perwira angkatan laut yang beragama Islam (sebagai-mana Laksamana Ma Chengho/Ma Zenghe, pendiri Singapura). Pendirian ini pun masih harus ditambah dengan perbedaan yang lain, yaitu tentang motivasi penyerangan: balas dendam, perluasan kekuasaan, soal agama, atau yang lain. Dalam kasus ini Gus Dur mengingatkan betapa pentingnya membaca sejarah lama kita dengan berbagai macam-macam versi, versi agamakah atau versi pertentangan akibat ambisi pribadi? (hal 21)

Dalam soal kaum modernis yang cenderung memaksakan perubahan Gus Dur mencontohkan betapa di tanah Batak bagaimana gereja Kristen Protestan di tanah Batak yang mengusulkan agar seorang pemimpin adat, yaitu Sisingamangaraja XII agar diangkat sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah. Di sini tampak penghargaan dari sebuah gerakan agama, Gereja untuk menghargai seorang Raja adat. Menurut Gus Dur, dalam kasus di atas terlihat jelas hubungan simbiotik antara Raja Adat dan gerakan keagamaan, karena keduanya adalah institusi yang berakar menjadi tradisi yang kemudian menjadi satu kesatuan dalam hubungan saling mendukung dan memberikan legitimasi. (hal 118)

Melihat analisinya yang cerdas sepertinya Gusdur sudah sangat familiar dengan sumber-sumber bacaan semacam, *Nagara Kertagama*-nya Prapanca*, Serat Centhini, Serat Cebolek, Babad Tanah ]awi, Babad Diponegoro, Kidung Kebo, Pakem Kajen. *Di samping itu pendapat ahli-ahli sejarah semacam Dr Taufik Abdullah, Yan Romien (Belanda), Charles Issawi (Libanon), Mohamad Yamin, Kuntowijoyo, hingga ahli purbakala, R. Boechori. Tentunya di sini ditambah dengan hasil olah pikirannya sendiri.

Ada cerita tentang asal usul kedatangan orang Arab dan China ke Indonesia; tentang Pangeran Diponegoro; tentang Kerajaan Banten; tentang penyerangan Sultan Agung ke Batavia, dan masih banyak lagi. Tapi yang lebih menarik, di samping melakukan penafsiran-penafsiran, Gus Dur hampir selalu bisa mengaitkan cerita-cerita sejarah lama itu dengan kehidupan masa kini; seperti mengaitkan kisah Perang Bubat di zaman Hayam Wuruk dengan per-kembangan PKB (yang dipimpinnya), mengaitkan pemerintahan Mesir Kuno zaman Pharao/ Fir'aun dengan kejadian di pemerintahan Jepang di bawah PM Kaizumi dan soal otonomi daerah; mengaitkan kisah Jaka Tingkir dengan Lembaga Swadaya Masyarakat.Cerita-cerita sejarah masa lalu semacam itu masih banyak lagi dilihat dan diceritakan Gus Dur.

Dan Gus Dur bukanlah Gus Dur bila dalam ber-bicara tidak menyelipkan kritik. Maka kita tak heran bila di sana-sini, dalam tulisan-tulisannya, kita temu-kan saja kritik-kritiknya yang tajam yang umumnya juga tidak melenceng dari prinsip-prinsip dasar yang diyakininya. Misalnya, dia dengan tajam terus meng-kritik pemerintah: mengkritik politisi yang hipokrit dan mementingkan kepentingan sendiri atau kelompok-nya, mengkritik pejabat-pejabat korup, mengkritik sikap keberagamaan yang terlalu formalitas, dan sudah barang pasti mengkritik MPR/DPR yang dianggapnya melanggar UUD 1945 dengan menyelenggarakan SI untuk melengserkannya kemarin.

Gus Dur dalam kapasitast sebagai seorang ilmuan yang *melek* sejarah merasa ada keganjilan ketika harus mengisahkan sejarah tanpa jejak literatur. Keterbatasan ini mungkin diakibatkan oleh ketidaksadaran penulisan sejarah pada masa lalu. Konsekuensi dari kealpaan ini adalah pelacakan dan penyingkapan sejarah melalui sumber-sumber lisan.

Memang secara ilmiah kesahihan sumber lisan ini bisa diragukan, tapi juga membuka kemungkinan untuk memunculkan perbandingan kritis dengan sumber tertulis walaupun sedikit. Usulan ini diajukan karena Gus Dur sadar ada kemiskinan sumber sejarah untuk lebih mengetahui kebenaran yang sudah terlepas dari bau dongeng atas sebuah pristiwa sejarah.

Terlepas dari semua kekurangannya, buku ini tetep merupakan sumbangan terpenting Gus Dur untuk bangsa Indonesia untuk lebih mengenal lagi kisah masa lalu. Publik harus mengapresiasi warisan esai ini secara konstruktif dan kritis. wacana sejarah Gus Dur sangat gamblang dan memukau, tapi ada esai-esai tertentu mengesankan keterbatasan Gus Dur dalam mengolah sumber informasi dan tidak lihai dalam analisis.

Akhirnya Buku ini harus dibaca sebagai refleksi kritis terhadap sejarah kita. Usaha Gus Dur dalam menulis kumpulan esai ini menjadi bukti keunggulan Gus Dur dalam membongkar wacana-wacana yang sudah telanjur menjadi dongeng.

*Akhmad Kusairi adalah peneliti pada The Al-Falah Institute Yogyakarta