Penulis: Dr Mahmud Arif
Penerbit: LKiS Yogyakarta
Cetakan I: Februari 2008
Tebal: xiv + 310 halaman
Peresensi: Abdul Halim Fathani
Pendidikan merupakan satu hal yang tidak ada bosannya untuk diperbincangkan, diteliti, dan diperdebatkan. Tujuan pendidikan, pada hakikatnya adalah untuk membangun manusia seutuhnya dalam rangka mengemban amanat sebagai khalifatullah di muka bumi. Dewasa ini, di sekitar kita, ramai dibicarakan tentang bagaimana format pendidikan yang cocok untuk dapat diterapkan pada saat ini. Mengingat, akhir-akhir ini tidak jarang dijumpai orang yang berpendidikan tinggi, tetapi memiliki moral yang ‘bejat’. Sebaliknya, banyak orang yang berpendidikan rendah justru memiliki perilaku yang baik. Apakah ada kesalahan dengan model pendidikan yang diterapkan? Atau ‘memang’ pendidikan itu yang tidak dapat menjawab pelbagai masalah kemanusiaan? Terlepas dari itu semua, sesungguhnya kita telah ‘sadar’ akan pentingnya kehadiran pendidikan dalam rangka membentuk kepribadian umat.<>
Terkait dengan pentingnya pendidikan ini, Malik Fadjar (2004) berupaya menempatkan pendidikan dalam kerangka human investment (investasi untuk pembangunan sumber daya manusia). Malik berpendapat, ada tiga tantangan besar yang dihadapi dunia pendidikan Indonesia. Pertama, mempertahankan hasil-hasil yang telah dicapai. Kedua, mengantisipasi era globalisasi. Ketiga, melakukan perubahan dan penyesuaian sistem pendidikan nasional yang mendukung proses pendidikan yang lebih demokratis, memperhatikan keragaman kebutuhan/keadaan daerah dan peserta didik, serta mendorong peningkatan partisipasi masyarakat.
Adalah niscaya, bahwa kehadiran lembaga pendidikan Islam yang berkualitas dalam berbagai jenis dan jenjang pendidikan itu sungguh sangat diharapkan banyak pihak. Bahkan, dewasa ini, bisa dikatakan pendidikan merupakan kebutuhan yang amat-sangat mendesak terutama bagi kalangan muslim kelas menengah ke atas. Sementara, perkembangan pendidikan yang berkembang pesat dan dikelola secara profesional banyak dimiliki lembaga pendidikan umum yang memiliki latar belakang non-agama.
Menurut Muhaimin (2006:237), terdapat tiga paradigma dalam pengembangan pendidikan Islam, yaitu Paradigma Dikotomis, Paradigma Mechanism, dan Paradigma Organism atau Sistemik. Dalam Paradigma Dikotomis, aspek kehidupan dipandang dengan sangat sederhana. Pendidikan Islam seolah-olah hanya mengurusi persoalan ritual dan spiritual, sementara kehidupan ekonomi, politik, seni-budaya, ilmu pengetahuan–teknologi dianggap sebagai urusan duniawi. Pandangan dikotomis ini menimbulkan dualisme dalam sistem pendidikan.
Paradigma Mechanism memandang kehidupan terdiri atas berbagai aspek, dan pendidikan dipandang sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan, yang masing-masing bergerak dan berjalan menurut fungsinya sendiri. Sedangkan Paradigma Organism memandang bahwa aktivitas pendidikan merupakan suatu sistem yang terdiri atas komponen-komponen yang hidup bersama dan bekerja sama secara terpadu menuju tujuan tertentu, yaitu terwujudnya hidup yang religius atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai agama.
Penulis buku ini mengatakan, selama ini, kajian-kajian pemikiran dan kependidikan Islam pada umumnya memandang secara “idealistik” terhadap tradisi Islam masa keemasan. Menurutnya, budaya dan tradisi pemikiran Islam masa keemasan, merupakan model acuan yang sudah final, tabu dikaji ulang, dan perlu diikuti secara taklidiah. Karenanya, tidak heran jika sebagian literatur standar kajian ke-Islam-an tampak getol mengelaborasi sisi keunggulan dan keistimewaan tradisi pemikiran dan pendidikan Islam masa keemasan tersebut, namun tidak dibarengi dengan analisis kritis atas sisi-sisi kelemahan yang ada.
Melalui pendekatan, historis-filosofis, bahasan buku ini menguak historisitas epistemologis pendidikan Islam pada masa keemasan dalam rangka mengeksposisi perubahan, pergeseran, dan kristalisasi struktur tipologisnya, serta konteks historisnya. Ada tiga persoalan pokok kajian dalam buku ini; pertama, bagaimana struktur dasar epistemologi budaya dan tradisi pemikiran Islam di masa keemasan; kedua, bagaimana kaitan organik struktur dasar epistemologi dominan tersebut dengan dinamika pendidikan Islam saat ini; dan ketiga, apa implikasi dari kedua kajian tersebut di atas terhadap pendidikan Islam yang berkembang di Indonesia.
Tawaran praktis-alternatif yang disodorkan penulis, bahwa epistemologi pendidikan Islam sebagai matrik konseptual aktivitas kultural-performatif perlu dibangun di atas hubungan saling melengkapi antartiga sistem epistemik: bayani, irfani, dan burhani dalam struktur hirarkis-piramidal dinamis. Hubungan yang demikian ini dimungkinkan terjalin manakala dengan berbasiskan ijtihad-tajdid, pendidikan Islam secara ideologis memiliki keberpihakan pada penyadaran dan pemberdayaan dalam kerangka humanisasi, liberasi, dan transendensi, dan secara epistimologis mengapresiasi dan menyinergikan antartiga sumber pengetahuan: indera, akal, dan wahyu. Dengan hubungan yang saling melengkapi tersebut, watak holistik dan integralistik dapat dikembalikan ke pangkuan epsitemologi pendidikan Islam.
Kiranya, tulisan—hasil penelitian disertasi Mahmud Arif—ini layak segera dibaca pihak-pihak yang berkepentingan dalam bidang pengembangan pendidikan. Berbagai ulasan historis dan tawaran praktis yang dikaji-tuntas dalam buku ini, perlu segera untuk direspon dan diterapkan dalam keadaan riil di dunia pendidikan di sekitar kita. Lebih dari itu, tentunya, buku ini ikut andil memberi sumbangan berharga bagi pencerahan dan pengembangan pendidikan.
Peresensi adalah Alumnus Universitas Islam Negeri Malang dan Peneliti pada Training of Educational Development “Avicenna Center” Malang, Jawa Timur
Terpopuler
1
Menag Nasaruddin Umar akan Wajibkan Pramuka di Madrasah dan Pesantren
2
Hukum Pakai Mukena Bermotif dan Warna-Warni dalam Shalat
3
Kiai Ubaid Ingatkan Gusdurian untuk Pegang Teguh dan Perjuangkan Warisan Gus Dur
4
Pilkada Serentak 2024: Dinamika Polarisasi dan Tantangan Memilih Pemimpin Lokal
5
Dikukuhkan sebagai Guru Besar UI, Pengurus LKNU Jabarkan Filosofi Dan Praktik Gizi Kesehatan Masyarakat
6
Habib Husein Ja'far Sebut Gusdurian sebagai Anak Ideologis yang Jadi Amal Jariyah bagi Gus Dur
Terkini
Lihat Semua