Judul: Pergulatan Pemikiran Fiqih “Tradisi” Pola Mazhab
Penulis: Dr. Ahmad Arifi
Penerbit: eLSAQ Press
Cetakan: II, 2010
Harga: Rp. 52.000
Tebal: 370 Halaman
Peresensi : Junaidi*
Untuk melakukan pemetaan suatu pemikiran dapat dilihat dari sudut pandang apa yang digunakan, didasarkan pada pola pemahaman masyarakat (ulama khususnya) terhadap ajaran (agama) dalam kaitannya fakta sosial yang melingkupinya. John L. Esposito misalnya, memotret dinamika pemikiran kegamaan dengan tiga kategori, yaitu: restriction of traditionalist, modernist scripturalism, dan socio-historical approach.<>
Dalam buku Arifi ini dijelaskan tiga kategori pemikiran menurut Esposito. Pertama, restriction of traditionalist adalah pola pemikiran keagamaan tradsional yang sempit. Pemikiran ini sangat dipengaruhi oleh tradisi ulama masa lampau, dimana hasil pemikiran ulama terdahulu dijadikan acuan dan sekaligus referensi final bagi setiap persoalan kemasyarakatan yang muncul pada saat sekarang. Pola pemikiran yang demikian ini biasanya diikuti oleh komunitas masyarakat tradisional yang membanggakan tradisi, seperti kelompok pengikut pola bermadzhab dalam keagamaan. Nahhatul Ulama (NU) dalam hal ini termasuk di dalamnya.
Kedua, modernist scripturalism adalah tipe pola gerakan yang menamakan dirinya kelompok modern. Pola ini menggunakan pemahaman keagamaan secara tekstual dari ajaran-ajaran suci. Dengan demikian, kelompok ini terpaku pada pemahaman doktrin secara tekstual dengan merujuk nash secara redaksional, tidak pada inti ajaran yang menjadi maqashid al-syari’ah. Justifikasi terhadap tindakan (amalan) agama dilihat pada atau tidaknya referensi tekstual nash. Amalan agama dinggap benar ketika ada dalil dari nash secara tesurat (eksplisit). Dapat dimasukkan dalam kategori ini adalah Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis) di Indonesia, yang dipengaruhi oleh gerakan tajdid (purifikasi) kaum Wahabi di Arab Saudi.
Ketiga, socio-historical approach adalah tipe pola pemahaman keagamaan yang dalam melihat ketentuan-ketentuan ajaran agama (nash) lebih didasarkan kepada aspek-aspek historis dan konteks sosial yang berkembang di masyarakat. Diantara contoh dari model pemikiran ini adalah pemikiran Fazlur Rahaman, Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pemikiran-pemikiran dari beberapa tokoh seperti KH Sahal Mahfudh, KH Ali Yafie, dan Masdar F Mas’udi adalah contoh lain dari pemikiran fiqih.
Mengenai sikap para ulama terhadap kitab-kitab fiqih klasik (al-turats al-qadim) produk pemikiran (ijtihad) ulama imam madzhab, dalam pengamatan Qadri A. Azizy, ada dua kelompok. Pertama, kelompok yang menempatan al-turats al-qadim pada posisi doktrinal. Kelompok ini menganggap dan memperlakukan kitab-kitab tersebut sebagai sesuatu yang “sakral” dan tidak tersentuh oleh akal manusia. Fiqih identik dengan syari’ah itu sendiri. Atau setidaknya, kelompok ini menempatkan fiqih yang merupakan hasil ijtihad sebagai barang “baku dan menjadi beku”, menggantung di awang-awang, atau bahkan di langit, karena tidak bisa disentuh oleh dunia nyata. Kedua, kelompok yang menganggap kitab-kitab fiqih klasik sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan sama sekali. Kelompok ini bukan hanya tidak menghargai karya intelektual secara akademik, namun mereka tidak belajar dari pengalaman sejarah pemikiran yang sebenarnya merupakan warisan (al-turats) yang sangat berharga.
Dalam buku ini ada perbedaan sikap dan pandangan dalam melihat dan memposisikan fiqih (Hukum Islam) sebagaimana terurai di atas akan berpengaruh pada langkah yang diambil ketika mereka dihadapkan pada persoalan-persoalan fiqih (al-masail fiqihiyyah) yang memerlukan jawabannya. Bagi kelompok pertama yang memgangi secara kuat terhadap doktrin fiqih, solusi yang diberikan atas masalah fiqih tentunya akan merujuk kepada kitab-kitab fiqih yang dihasilkan oleh para ulama klasik, sehingga sikap ber-taqlid dipandang sebagai langkah terbaiknya. Sebaliknya, bagi kelompok yang kedua yang tidak peduli kepada kitab fiqih klasik, mereka akan melakukan jalan pintas dengan jalan berijtihad dan merujuk kepada sumber Alquran dan Alhadits, meski kemampuan untuk berijtihad belum memadai. Sekiranya dilihat dari persyaratan bagi mujtahid yang dingkapkan oleh para ulama ushul adalah sangat berat, di mana mereka masih jauh dari memenuhi syarat.
Oleh sebab itu, diperlukan adanya sikap baru (kelompok ketiga) yang lebih moderat dan proporsinal dalam rangka mencari titik temu dari dua sikap yang sama-sama ekstrim tersebut. Dimana kelompok yang ketiga berpandangan, bahwa kitab-kitab fiqih klasik diletakkan sebagai warisan (al-turats) yang berharga dan perlu diapresiasi secara proporsional. Berdasarkan pola-pola pemahaman yang dikenal dalam masyarakat Muslim di atas, maka untuk melihat dinamika pemikiran fiqih dalam NU selama kurun waktu tahun 1990-an sampai 2004, perlu dicermati kecenderungan perkembangan pemikiran-pemikiran baru dalam komunitas NU.
Buku ini menyuguhkan salah satu aspek sejarah sosial dan intelektual umat Islam dalam konteks pemikiran Islam di Indonesia, khususnya berkenaan dengan dinamika pemikiran fiqih (hukum Islam) di kalangan ulama NU, sebuah komunitas muslim tradisional yang berbasiskan dunia pesantren. Hasil pemikiran ini kemudian melahirkan berbagai madzhab yang melembaga dan mewujud menjadi berbagai kelompok masyarakat Muslim dengan ragam institusinya di belahan dunia, termasuk di Indonesia. Sehingga buku ini pantas dan akurat dibaca untuk memahami sebuah pemikiran ulama dalam dunia Islam yang beraneka ragam.
* Penulis adalah Mahasiswa Department of English Literary IAIN Sunan Ampel Surabaya
Terpopuler
1
Daftar Barang dan Jasa yang Kena dan Tidak Kena PPN 12%
2
Kronologi Santri di Bantaeng Meninggal dengan Leher Tergantung, Polisi Temukan Tanda-Tanda Kekerasan
3
Bahtsul Masail Kubra Internasional, Eratkan PCINU dengan Darul Ifta’ Mesir untuk Ijtihad Bersama
4
Bisakah Tetap Mencoblos di Pilkada 2024 meski Tak Dapat Undangan?
5
Fikih Perempuan: Keadilan dan Kesetaraan dalam Islam
6
Pencak Silat Pagar Nusa Jadi Mata Kuliah Ko-Kurikuler di Universitas Islam Makassar
Terkini
Lihat Semua