Pustaka

Menyelisik Gerakan Islamisasi di Indonesia

Senin, 5 Oktober 2009 | 07:07 WIB

Editor : KH. Abdurrahman Wahid
Penerbit : Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, The Wahid Institute dan Maarif Institute
Cetakan : Pertama, 2009
Tebal : 322 halaman
Peresensi : Mashudi Umar*


Dalam dua dasawarsa terakhir ini, peta dunia sedang ditandai oleh friksi dan tensi krusial dengan warna keagamaan, walupun agamanya bukan satu-satunya faktor. Namun, tampak jelas pertimbangan religiusitas dalam friksi-friksi tersebut, yang dalam eskalasinya sedikit banyak dipengaruhi dan ditentukan oleh agama. Masih ingat dalam benak kita konflik beberapa tahun yang lalu antara Kristen-Islam yang terjadi di Poso, Maluku dan Filipina Selatan.<>

Paling mutakhir adalah terorisme dan slogan-slogan jihad yang mengesahkan pilihan kekerasan. Tragedi Jum’at hitam itu (17/07), setelah beberapa tahun ‘istirahat’, bom itu meledak lagi di Hotel JW Marriot dan Hotel Ritz-Carlton yang menewaskan sembilan orang dan melukai beberapa orang. Hal tersebut merupakan sebuah teror yang menguncang dunia dan orang yang melakukannya atas nama ‘Islamisasi’.

Gerakan ini selalu dikaitkan dengan kebangkitan fundamentalisme agama yang berkembang di dunia. Sementara fundamentalisme agama bisa dilihat sebagai suatu reaksi terhadap masalah-masalah yang mengiringi modernitas, yang dianggap terlalu jauh melampaui nilai islam itu sendiri. Abad 21 ini adalah kebangkitan arus fundamentalisme agama. Lihat agama-agama Abrahamik seperti Yahudi, Kristen dan Islam juga agama-agama non-Abrahamik seperti Hindu, Budha dan lain-lain.

Bagaimana juga fenomena kebangkitan fundamentalisme Protestan di Amerika Serikat, fundamentalisme Yahudi di Israel, fundamentalisme Islam Wahabi di Saudi Arabia, fundamentalisme Islam Sunni di Malaysia dan Afghanistan dan fundamentalisme Islam Syi’ah di Iran. Kelompok fundamentalisme agama itu selalu berpendirian bahwa dunia telah dikuasai oleh kejahatan, manusia banyak menimpang dari nilai-nilai agama. Mereka adalah musuh-musuh tuhan yang harus dibasmi

Di Amerika misalnya kita mengenal golongan fundamentalis Kristen yang di era Presiden George W. Bush menjadi pendukung utama rezim neo-imperealis ini. Di dunia Islam pun, secara sporadis sejak beberapa tahun terakhir gejala fundamentalisme ini sangat dirasakan. Yang paling ekstrem di antara mereka adalah mudah terjatuh ke dalam perangkap terorisme.

Untuk itu, ada beberapa teori yang telah membahas fundamentalisme yang muncul di dunia Islam. Pertama, yang banyak dikutip adalah kegagalan umat Islam menghadapi arus modernitas yang dinilai telah sangat menyudutkan Islam. Karena ketidakberdayaan menghadapi arus panas itu, golongan fundamentalis mencari dalil-dalil agama untuk menghibur diri dalam sebuah dunia yang dibayangkan belum tercemar.

Kedua, gerakan fundamentalis di berbagai negara Muslim karena didorong oleh rasa kesetiakawanan terhadap nasib yang menimpa saudara-saudaranya di Pelestina, Kashmir, Afghanistan dan Irak. Perasaan solider ini sesungguhnya dimiliki oleh seluruh umat Islam sedunia. Tetapi yang membedakan adalah sikap yang ditunjukkan oleh golongan mayoritas yang sejauh mungkin menghindari kekerasan dan tetap mengibarkan panji-panji perdamaian.

Kekuatan kemunculan fundamentalisme dari kutub yang lunak sampai ke kutub yang paling ekstrem (terorisme) sesungguhnya berada di luar penalaran. Misalnya bom bunuh diri sambil membunuh manusia yang lain (kasus bom Bali, Hotel JW Marriot tahun 2003 dan tahun 2009 dan lain-lain) sama sekali tidak bisa dipahami dan dibenarkan.

Ketiga, khusus Indonesia, maraknya fundamentalisme ini di sebabkan oleh kegagalan negara mewujudkan cita-cita kemerdekaan berupa tegaknya keadilan sosial dan terciptanya kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat. Korupsi yang masih menggurita adalah salah satu contoh kegagalan itu.

Namun karena pengetahuan kelompok fundamentalis ini sangat miskin tentang peta sosiologis Indonesia yang memang tidak sederhana, maka mereka menempuh jalan pintas bagi tegaknya keadilan, melaksanakan syariat Islam untuk mencapai kekuasaan. Jika secara nasional belum terlaksana, maka diupayakan melalui Perda-Perda (Peraturan Daerah).

Ironisnya, kelompok fundamentalis ini anti demokrasi, tetapi mereka memakai lembaga negara yang demokratis untuk menyalurkan cita-cita politiknya. Dengan kata lain adalah ketidak jujuran dalam berpolitik, karena secara teori demokrasi diharamkan, sementara dalam prakteknya digunakan untuk mencapai tujuan.

Oleh sebab itu, problem Indonesia dengan bangsa Muslim terbesar di muka bumi ini, tidak mungkin dipecahkan oleh otak-otak sederhana yang lebih memilih jalan pintas, bahkan tidak segan dalam bentuk kekerasan. Misalnya juga kasus penyerangan massa Front Pembela Islam (FPI) dengan massa Aliansi Keyakinan dan Kebebasan Beragama (AKKB) pada tahun yang lalu.

Memang demokrasi yang dijalankan sekarang di Indonesia sama sekali belum sehat dan jika tidak cepat disikapi dan dibenahi bisa menjadi sumber malapetaka. Tetapi untuk jangka panjang, tidak ada pilihan lain kecuali melalui sistem demokrasi yang sehat dan kuat. Islam moderat dan inklusif akan tetap membimbing Indonesia untuk mencapai tujuan kemerdekaan dan terwujudnya Islam rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi semesta alam).

Buku ini merupakan hasil penelitian selama lebih dari dua tahun untuk mengungkap asal usul, ideologi dan agenda gerakan garis keras transnasional yang beroperasi di Indonesia, serta rekomendasi membangun gerakan untuk mengahadapi dan mengatasinya secara damai dan bertanggung jawab. Sehingga kedepan terjadi dialog yang sehat antara kelompok Islam fundamentalis dengan Islam moderat (baik NU dan Muhammadiyah) untuk menemukan visi dan misi yang sama dan menegakkan Islam yang damai, toleran dan anti kekerasan.

*Peresensi adalah staf pengajar Pondok Pesantren Zainul Huda Arjasa Sumenep Jawa Timur.