Pustaka

Perjuangan Tanpa Pamrih dari Para Guru Ngaji (1)

Senin, 2 Mei 2016 | 07:00 WIB

Perjuangan Tanpa Pamrih dari Para Guru Ngaji (1)

Buku Mendidik Tanpa Pamrih Jilid 1

Pendidikan bukan soal kelas. Pendidikan juga bukan soal materi dan tetek bengeknya. Tetapi pendidikan merupakan jalan bagi para generasi muda dalam menatap masa depan. Artinya, pendidikan para generasi muda tidak boleh terhenti hanya karena alasan tak ada biaya, tak ada kelas, hal-hal teknis lainnya.

Dengan cara pandang bahwa pendidikan harus tetap dijalankan untuk menggelorakan energi masa depan anak bangsa, tak sedikit di negeri ini yang rela tanpa diberi fasilitas negara tetapi teguh dalam mendidik para muridnya. Terutama para guru ngaji dan guru madrasah di berbagai pelosok di Indonesia seperti kisah para pejuang pendidikan Islam dalam tajuk mendidik tanpa pamrih yang diurai secara apik dalam buku yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI ini.

Di buku jilid 1 setebal 364 halaman ini diceritakan, para pejuang pendidikan Islam yang aktif memberikan pendidikan agama kepada kelompok-kelompok tertentu, bahkan di tempat prostitusi sekalipun seperti yang dilakukan oleh Ajengan Mamad (halaman 91). Di sebuah gang yang sangat populer di negeri ini bernama Saritem, Ajengan Mamad sejak 2003 ada di tengah-tengah kawasan bisnis ‘perlendiran’ tersebut. Pas di samping kawasan tersebut, Mamad mendirikan sebuah pesantren bernama Darun Ni’mah. Lewat Gerakan Moralnya (Germo), ia tak henti-hentinya mengajak masyarakat untuk memperbaiki akhlak.

Berbeda dengan Ajengan Mamad, Rohmawati (halaman 153), guru ngaji kelahiran Banten, 20 Desember 1982 ini tetap teguh membina pengajian ibu-ibu di tengah krisis dan kemiskinan. Namun demikian, hal tersebut tidak menjadi penghalang bagi ibu tiga anak ini. Perjuangan membangun pendidikan Islam berbasis majlis taklim ini tak mudah bagi Rohmawati. Mulai dari membangun tempat ngaji sendiri di tempat Kiai Dimyati, tokoh kampung kemudian pindah di rumahnya sendiri yang pernah terjadi musibah kebakaran hingga melalap semua isi rumah termasuk kitab-kitab materi ngaji.

Rohmawati yang tak lulus sekolah dasar (SD) ini mengajar fikih, tauhid, dan hadits kepada ibu-ibu majlis taklim. Setelah terjadi musibah tersebut, ia kembali ke tempat semula. Adapun operasional pengajian tak jarang diambil dari kantong pribadi jika iuaran dari para jamaah tidak mencukupi untuk membayar listrik, dan lain-lain. Dengan kondisi yang tidak ringan ini, Rohmawati tetap teguh membina masyarakat di kampungnya untuk tetap ngaji sehingga ruh spiritualitas tidak lepas di tengah kehidupan warga yang serba kekurangan secara materi.

Lain Ajengan dan Rohmawati, lain pula dengan Nur Husin (halaman 17), satu-satunya guru ngaji di Dusun Kwangenrejo, Desa Leran, Kecamatan Kalitidu yang berjarak belasan kilometer dari Kota Bojonegoro, Jawa Timur. Kawasan di mana Nur Husin ini lebih populer disebut “Kampung Kristen” daripada nama administratifnya. Ia tak kenal lelah mengajar ngaji di kampung kristennya. Karena sebelum mengajar ngaji, ia setiap hari berjualan es keliling dan mencari kayu bakar.

Perjuangan Nur Husin tidak mudah. Ia mendirikan Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ) ketika ia sendiri belum bisa sepenuhnya mandiri. Dengan pendapatan seadanya untuk kebutuhan keluarganya, tak jarang Husin juga harus menanggung sendiri kebutuhan santri-santri di TPQ-nya. Semngat Husin untuk menetap dan mengajar ngaji di Kwangenrejo sempat patah arang. Karena tidak kerasan, Husin membawa anak dan istrinya ke kampung halaman orang tuanya di Kepohbaru. Namun di luar dugaan, belum lama ia pindah, rombongan satu mobil warga muslim Kwangenrejo datang ke Kepohbaru dan memintanya kembali. “Kami butuh sampean. Siapa lagi yang mengajar ngaji kalau bukan sampean?” ujar rombongan tersebut.

Tiga kisah dari perjuangan para guru ngaji tersebut merupakan gambaran dari 29 sembilan pejuang pendidikan Islam lain yang dijelaskan dalam buku ini. Secara umum, buku ini mengulas perjuangan para guru pendidikan Islam dalam berbagai indikator. Indikator tersebut dapat dipilah yaitu, guru ngaji yang menginspirasi meski dalam kondisi kekurangan ekonomi. Selain itu, para guru tersebut juga tetap berjuang meneguhkan pendidikan Islam di kawasan rawan sekalipun. Buku ini juga menjelaskan para guru ngaji dan madrasah yang selalu menjadi pelopor di tengah krisisnya pendidikan agama di kampungnya masing-masing.

Di dalam buku, secara khusus Kementerian Agama RI yang memfasilitasi gagasan untuk mempublikasikan peran para guru agama di berbagai pelosok daerah, yaitu agar para guru tersebut mendapat perhatian pemerintah secara luas. Bahwa mereka tetap berjuang mendidik anak bangsa dan menyiapkan generasi emas nan berkualitas meski tanpa berbagai tunjangan layaknya banyak guru di luar sana. Mereka tidak mau terhimpit keribetan birokrasi, untuk mengurus sertifikasi, dan lain-lain. Mereka bukannya tidak berharap kesejahteraan sebagai seorang guru. Tetapi birokrasi dalam sertifikasi menjadikan profesi guru menjadi komersil sehingga mendidik pun tanpa ruh yang akan menghasilkan generasi tak berakhlak.

Dalam buku ini, pembaca juga akan dibawa ke dalam perjuangan kultural yang dilakukan oleh para guru agama. Melalui pendidikan, mereka mampu menjaga kearifan lokal (local wisdom) di tengah modernisasi pendidikan yang cenderung komersil. Mereka tetap teguh menjaga akhlak generasi muda dengan tetap mengaji dan sekolah di madrasah. Di dalam pendidikan agama tersebut, mereka juga menjaga tradisi sehingga identitas sebagai bangsa tidak tercerabut di tengah gempuran globalisasi yang semakin mengglobal.*** 

Identitas buku:
Judul : Mendidik Tanpa Pamrih: Kisah Para Pejuang Pendidikan Islam (Jilid 1)
Editor : Abi S Nugroho, Hamzah Sahal
Penerbit         : Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kemenag RI
Tebal : 364 halaman
Cetakan : I, Desember 2014
Peresensi : Fathoni Ahmad, Pengajar di STAINU Jakarta.