Tafsir Al-Maraghi, Kitab Kontemporer yang Kaya Pembaruan
NU Online · Rabu, 19 November 2025 | 11:00 WIB
M. Ryan Romadhon
Kolomnis
Tafsir Al-Maraghi adalah salah satu kitab tafsir kontemporer, kehadirannya menjadi bukti nyata dedikasi Syekh Ahmad Musthafa Al-Maraghi untuk mengembangkan tafsir yang memenuhi kebutuhan masyarakat akan pemahaman Al-Qur'an yang mudah, sistematis, dan tetap relevan sepanjang waktu.
Proses penulisan Tafsir Al-Maraghi memakan waktu satu dekade penuh, yakni antara tahun 1940 hingga 1950 M. Karya agung ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1951 di Kairo, Mesir. Ditulis berdasarkan urutan mushaf, kitab tafsir ini tersusun dalam 30 jilid dan pembagiannya disesuaikan dengan setiap juz Al-Qur'an. (Muhamad Iqbal Mustofa dkk, Manhaj Tafsir Al-Maraghi Karya Syekh Ahmad Musthafa Al-Maraghi, [Ta’wiluna: Jurnal Ilmu Al-Qur’an, Tafsir dan Pemikiran Islam, Volume 5, Nomor 2 Oktober 2024], hlm. 357-358)
Latar Belakang dan Tujuan Penulisan Kitab
Latar belakang penulisan tafsir ini, sebagaimana diceritakan dalam mukadimahnya, berawal dari banyaknya pertanyaan tentang Al-Qur’an yang diterima Syekh Ahmad Al-Maraghi dalam perannya sebagai pengajar. Salah satu isu utama yang diangkat adalah kesulitan masyarakat memahami kitab-kitab tafsir yang sudah ada. Mereka membutuhkan kitab tafsir yang sederhana, mudah dipahami, dan ringkas namun tetap kaya manfaat.
Kebutuhan inilah yang mendorong Syekh Al-Maraghi menyusun tafsir yang sistematis, jelas, dan efektif. Tujuannya agar pembaca tidak hanya sekadar mengerti isi Al-Qur'an, tetapi juga mampu mengamalkan ajaran-ajarannya. (Syekh Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, [Mesir, Maktabah Musthafa Al-Babi Al-Halabi: tt], jilid. I, hlm. 3-4)
Adapun tujuan ditulisnya kitab Tafsir Al-Maraghi ini adalah untuk mendekatkan makna-makna Al-Qur'an kepada masyarakat. Dalam mukadimahnya, beliau mengungkapkan:
من جرّاء هذا رأينا مسيس الحاجة إلى وضع تفسير للكتاب العزيز يشاكل حاجة الناس فى عصرنا فى أسلوبه وطريق رصفه ووضعه، ويكون دانى القطوف، سهل المأخذ يحوى ما تطمئن إليه النفس من تحقيق علمى تدعمه الحجة والبرهان، وتؤيده التجربة والاختبار
Artinya: “Dari semua alasan ini, kami melihat adanya kebutuhan yang mendesak untuk menyusun sebuah tafsir kitab suci yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat di zaman kita, baik dalam gaya bahasa (uslub), cara penyajian, dan tata letaknya. (Tafsir ini) harus mudah dipetik buahnya (danil quthuf) dan mudah diakses. (Tafsir ini) harus mengandung apa yang menenangkan jiwa berupa pembuktian ilmiah (tahqiqul 'ilmi) yang didukung oleh dalil dan bukti nyata (al-hujjah wal burhan) dan diperkuat oleh percobaan dan pengujian (at-tajribah wa al-ikhtibar).” (hlm. 4)
Rujukan Kitab
Dalam mukadimahnya (hlm. 21-22), Syekh Ahmad Al-Maraghi menyebutkan beberapa kitab yang menjadi sumber rujukan penafsiran beliau. Berikut adalah beberapa diantaranya:
- Tafsir Abi Ja‘far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, karya Muhammad bin Jarir ath-Thabari
- Tafsir al-Kasysyaf ‘an Haqa’iq at-Tanzil, karya Abu al-Qasim Jarullah az-Zamakhsyari
- Hasyiyah Syarafud Din al-Hasan bin Muhammad ath-Thibi, karya al-Hasan bin Muhammad ath-Thibi
- Anwarut Tanzil, karya al-Qaḍi Nashiruddin al-Baiḍhawi
- Tafsir ar-Raghib al-Ashfahani, karya al-Husain bin Muhammad al-Ashfahani
- Tafsir al-Basith, karya al-Imam Abu al-Hasan al-Wahidi an-Naisaburi
- at-Tafsir al-Kabir (Mafatihul Ghaib), karya al-Imam Fakhruddin ar-Razi
- Tafsir al-Baghawi, karya al-Husain bin Mas‘ud al-Baghawi
- Ghara’ibul Qur’an, karya Nizhamuddin al-Hasan bin Muhammad al-Qummi
- Tafsir Ibnu Katsir, karya Isma‘il bin Katsir al-Qurasyi ad-Dimasyqi
- al-Bahrul Muhith, karya Atsiruddin Abu Hayyan al-Andalusi
- Nazhmud Durar fi Tanasubil Ayati was-Suwar, karya Burhanuddin al-Biqa‘i
- Tafsir Abi Muslim al-Ashfahani, karya Abu Muslim al-Ashfahani
- Tafsir al-Baqillani, karya Abu Bakr al-Baqillani
- Tafsir as-Sirajul Munir, karya Muhammad bin Ahmad as-Syirbini
- Ruhul Ma‘ani, karya al-‘Allamah al-Alusi
- Tafsir al-Manar, karya as-Sayyid Muhammad Rasyid Riḍa (berdasarkan pelajaran Muhammad ‘Abduh)
- Tafsir al-Jawahir, karya al-Ustadz Thanthawi Jauhari
- Sirah Ibnu Hisyam, karya ‘Abd al-Malik ibn Hisyam
- Syarh Shahih al-Bukhari, karya al-‘Allamah Ibn Hajar al-‘Asqalani
- Syarh Shahih al-Bukhari, karya al-‘Allamah al-‘Ayni
- Lisanul ‘Arab, karya Ibnu Manẓhur al-Ifriqi
- Syarh al-Qamus, karya al-Fairuzabadi
- Asasul Balaghah, karya az-Zamakhsyari
- al-Ahadits al-Mukhtarah, karya ad-Dhiya’ al-Maqdisi
- Thabaqat asy-Syafi‘iyyah, karya Ibn as-Subki
- az-Zawajir, karya Ibn Hajar al-Haytami
- I‘lamul Muwaqqi‘in, karya Ibn Taymiyyah
- al-Itqan fi ‘Ulumil Qur’an, karya al-‘Allamah as-Suyuthi
- Muqaddimah Ibnu Khaldun, karya Ibn Khaldun
Metodologi dan Sistematika Penafsiran
Syekh Ahmad Musthafa al-Maraghi menetapkan metodologinya dalam tafsir ini melalui poin-poin berikut:
- Pencantuman ayat yang akan ditafsirkan di awal pembahasan,
- Penjelasan kosakata (mufradat) yang sulit ataupun asing,
- Menyajikan makna global ayat (al-ma'na al-jumuli) dan ringkasan kandungan ayat,
- Menyebutkan asbabun nuzul (sebab turunnya ayat) jika ada,
- Menghindari istilah ilmiah tertentu yang sulit, seperti istilah balaghah, nahwu, atau ushul fiqih yang sering memberatkan tafsir klasik.
- Gaya bahasa kontemporer. Menyadari bahwa gaya para mufassir klasik sudah ketinggalan zaman, beliau merasa wajib untuk mencari gaya penafsiran yang sesuai dengan zaman modern ('ashr') dan selera masyarakat saat ini.
- Sintesis dan tajdid (pembaruan). Inti dari metodenya adalah, beliau membaca dan meneliti karya-karya mufassir terkemuka dari berbagai aliran dan masa. Setelah yakin telah memahami, merenungkan, dan mencerna isinya, beliau lalu menuliskannya kembali dengan gaya bahasa kontemporer. Motivasi utama beliau menempuh jalan yang sulit ini adalah karena para pembaca enggan membaca kitab-kitab tafsir yang ada dengan alasan sulit diakses.
- Penelitian riwayat. Meneliti secara cermat riwayat-riwayat yang terdapat dalam kitab-kitab tafsir, dan meninggalkan riwayat yang jauh dari kebenaran atau akal sehat. (Syekh Fadhil Hasan Abbas, At-Tafsir wal Mufassirun fil ‘Ashril Hadits, [Ardan, Darun Nafa’is: 1437 H], jilid II, hlm. 244).
Kelebihan Tafsir Al-Maraghi
Salah satu kelebihan kitab Tafsir Al-Maraghi dari kitab tafsir modern lainnya, adalah tidak dicantumkannya kisah-kisah yang kurang relevan dan analisis ilmiah yang terlalu kompleks dan sering dikutip oleh tafsir-tafsir serupa.
Selain itu, kitab ini juga menekankan pentingnya memberikan penafsiran yang bersifat umum, tetapi tetap menyentuh aspek ilmiah. Hal ini karena Syekh Al-Maraghi menilai bahwa tafsir ilmiah yang berkembang pada masanya bersifat relatif, sehingga tidak selalu relevan dengan kebutuhan pembaca dari generasi ke generasi.
Pendekatan ini bertujuan agar tafsirnya dapat diterima oleh berbagai kalangan masyarakat. Beliau berhasil mengombinasikan metode penafsiran adabi (sastra) dan ilmi dalam tafsirnya, dengan tetap menjaga relevansi dengan realitas masyarakat modern.
Kritik terhadap Tafsir al-Maraghi
Syekh Fadhil Hasan Abbas dalam kitabnya, At-Tafsir wal Mufassirun fil ‘Ashril Hadits, memberikan catatan (kritik) terhadap Tafsir Al-Maraghi, di antaranya adalah:
1. Penukilan Ulang (Iqtibas) dan Kurangnya Orisinalitas
Kritik yang paling signifikan adalah dugaan bahwa Tafsir Al-Maraghi merupakan ringkasan harfiah (ikhtishar harfi) dari dua belas juz pertama Tafsir al-Manar (karya Syekh Muhammad 'Abduh dan Rasyid Ridha).
Syekh Al-Maraghi dituduh mengambil kalimat yang sama persis dengan yang ada di Tafsir al-Manar. Terkadang, Tafsir Al-Manar menyebutkan perbedaan pendapat (misalnya, menolak pendapat Syekh Muhammad 'Abduh atau mufassir lain), namun Syekh Al-Maraghi menggabungkan semua pandangan itu menjadi satu tanpa menyebutkan perselisihan atau sumber penukilan ('ibarah naql) dari mana pun.
Adapun contoh peniruan pandangan, adalah pandangan-pandangan teologis dan reformis yang dianut oleh Muhammad 'Abduh dan Rasyid Ridha (seperti pandangan mereka tentang sihir, Dajjal, turunnya Nabi Isa, dan hadits Mahdi) ditemukan juga dalam Tafsir Al-Maraghi. (At-Tafsir wal Mufassirun fil ‘Ashril Hadits, jilid II, hlm. 262-263)
2. Memilih Penafsiran yang Aneh (Gharabah)
Kritik kedua terhadap Syekh Al-Maraghi adalah kecenderungannya untuk memilih setiap pandangan yang mengandung keanehan atau keajaiban (gharabah wa 'ajab), bahkan jika pandangan tersebut hanya disajikan oleh orang lain dalam bentuk kemungkinan (sighatul ihtimal) saja. Salah satu contoh dari kecenderungan ini adalah penafsirannya tentang Yajuj dan Ma’juj. Beliau menukil dari Syekh Thanthawi mengenai penafsiran yang mengidentifikasi Yajuj sebagai Tatar dan Ma’juj sebagai Mongol.
Dalam tafsirnya terhadap Surah Al-Kahfi, beliau menyatakan, "Yajuj, mereka adalah Tatar, dan Ma’juj, mereka adalah Mongol. Asal keduanya dari satu ayah yang bernama (Turk). Mereka mendiami bagian utara Asia, dan wilayah mereka membentang dari Tibet dan Tiongkok hingga Samudra Arktik, serta berakhir di sebelah barat, berdekatan dengan negeri Turkestan." (hlm. 263-264)
3. Berlebihan dalam Tafsir Ilmiah
Kritik ketiga terhadap Tafsir Al-Maraghi adalah berlebihan dalam menggunakan tafsir ilmiah (at-tafsir al-'ilmi), meskipun penafsiran tersebut kemungkinan terjadinya sangat kecil (ba'idul ihtimal). Kritik ini menyoroti bahwa Syekh Al-Maraghi secara konsisten memilih penafsiran yang berupaya mencocokkan teks Al-Qur'an dengan ilmu pengetahuan modern, terkadang dengan cara memaksa makna (ta'wil) atau menggunakan spekulasi ilmiah yang belum tentu menjadi tujuan utama Al-Qur'an.
Contoh tafsir ilmiah dalam Tafsir Al-Maraghi:
a. Penciptaan langit dan bumi dalam enam hari (Surah Al-A'raf)
Syekh Al- Maraghi menafsirkan penciptaan langit dan bumi dalam enam hari (sittati ayyam) sebagai enam fase (sittati athwar) atau periode waktu yang panjang dan sejalan dengan teori geologi modern:
- Fase asap/kabut (dukhan),
- Fase air,
- Fase daratan (al-yabisah),
- Fase jenis-jenis makhluk hidup (ajnasul ahya'), dan
- Dua fase terakhir (dua hari) tersisa untuk alam atas (al-'alam al-'ulwi).
b. Penciptaan Manusia setelah Periode Panjang (Surah Al-Insan)
Saat menafsirkan firman Allah SWT:
هَلْ اَتٰى عَلَى الْاِنْسَانِ حِيْنٌ مِّنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُنْ شَيْـًٔا مَّذْكُوْرًا ١
Artinya: “Bukankah telah datang kepada manusia suatu waktu dari masa yang ia belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?” (Al-Insan: 1).
Syekh Al-Maraghi menjelaskan bahwa ayat ini sesuai dengan apa yang telah dibuktikan oleh ilmu pengetahuan, yaitu bahwa manusia diciptakan setelah rentang waktu yang sangat lama sejak penciptaan bumi. (hlm. 272). Wallahu a’lam.
Identitas Kitab
Judul: Tafsir Al-Maraghi
Penulis: Syekh Ahmad Musthafa Al-Maraghi (w. 1371 H)
Penerbit: Maktabah Musthafa Al-Babi Al-Halabi
Tempat Terbit: Mesir
Jumlah Juz: 30
Muhammad Ryan Romadhon, Alumni Ma’had Aly Al-Iman Bulus Purworejo, Jawa Tengah.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
2
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
5
Gus Yahya Persilakan Tempuh Jalur Hukum terkait Dugaan TPPU
6
Khutbah Jumat: Mencegah Krisis Iklim dengan Langkah Sederhana
Terkini
Lihat Semua