Pustaka

Terorisme dan Agama yang Hampa

Senin, 25 Juli 2011 | 01:55 WIB

Judul Buku: Pengantin Teroris
Penulis: Abu Ezza
Penerbit : Azhar Risalah, Kediri
Cetakan : Desember 2010
Tebal: xiv + 198 Halaman
Peresensi: Naufil Istikhari Kr*

Terorisme dan segala bentuk kekerasan atas nama agama sering dijadikan alat legitimasi kelompok tertentu untuk “membela” dan “menegakkan” agama (Islam). Gerakan tersebut bagi mereka adalah harga mati yang tak bisa ditawar lagi. Paradigma semacam itu kemudian menjadi gerakan ideologi trans-nasional yang memiliki basis pemikiran fundamentalisme tulen.
<>
Lewat sebuah memoar “Pengantin Teroris” ini, Abu Ezza mencoba menelisik siapa otak di balik setiap insiden anti-kemanusiaan itu – mulai dari Bom Bali Jilid I, II dan aksi terorisme lainnya – dengan sebuah kesaksian yang sangat jujur. Dengan bahasa yang lugas serta mengalir, penulis mampu mendeskripsikan aksi kekerasan atas nama agama yang selalu menghantui masyarakat Indonesia dewasa ini dengan tepat sasaran.

Sukree adalah tokoh fiktif dari sosok berinisial “NA”. Ia adalah seorang mantan teroris kelas kakap yang pernah menjadi pemimpin pelatihan Militer Kamp Hudaibiyah yang tergabung dalam organisasi ideologis trans-nasional, Jama’ah Islamiyah (JI), di mana teroris nomor wahid, Noordin M Top, Dr. Azhari dan kawan-kawan juga lahir dari sini. Organisasi yang satu ini dengan tegas mengecam negara-negara mana pun yang menganut sistem demokrasi. Menurut mereka, para pemimpin negara demokrasi adalah thaghut (menyalahi aturan agama Islam) yang harus diperangi (hal. 38).

Berangkat dari kisah nyata inilah diungkap suatu persentuhan ideologis antara Sukree dan Ustadz Halim. Sejak diperkenalkan dengan Ustadz Halim oleh Rahman, teman akrabnya sendiri yang lama bekerja di bandar (kota), Ustadz yang baru dikenalnya itu sedikit demi sedikit memasukkan logika berpikir haraky (pergerakan-keras) ke dalam jiwa Sukree. “Kehidupan kalian sangatlah jauh dari tuntunan syari’at yang sebenarnya. Karena kalian hidup dan berkumpul dengan orang-orang yang salah dalam memilih jalan kehidupan,” tutur Ustadz Halim dengan nada meyakinkan (hal. 36).

Latar pendidikan Sukree yang tidak begitu membekas di hatinya, ditambah lagi dengan buku-buku karya pemikir radikal Timur Tengah semisal Abul A’la al-Maududi, Sayid Quthb dan lain-lain yang sering menemani hari-harinya, menyebabkan fatwa Ustadz Halim langsung memenuhi ruang paradigma berpikirnya yang masih polos. Ajakan Ustadz Halim diterimanya tanpa renungan mendalam. Hingga akhirnya Sukree dan Rahman harus rela meninggalkan kampung halamannya, bukit Cupang, kaki gunung Cimarai, Johor Malaysia kemudian hijrah ke Afganistan, memenuhi instruksi yang diberikan Ustad Halim untuk memilih jalan hidup yang benar, yaitu jihad atas nama agama.

Fantasi Agama

Setelah delapan tahun lamanya Sukree meninggalkan kampung halaman; berpisah dengan Wahab dan Salmah (adik kesayangannya); lama tak bertemu ayah dan mamak (ibu); serta tunangan yang sangat dicintainya, Azizah, ia kembali pulang membawa sejuta rindu yang telah lama terpancangkan. Tak hanya itu, ia tentunya sudah banyak makan asam garam di negeri antah berantah sana. Mulai dari konsep Islam yang keras hingga membuat bom rakitan telah ia kuasai sedemikian rupa.

Sebagai organisasi dengan misi mendirikan negara Islam, JI menyebarkan kader-kadernya untuk selalu berfatwa dan berjihad sesuai dengan orientasi yang mereka inginkan. Melalui gerakan yang tersembunyi, orang-orang yang tergabung dalam JI selalu menggulirkan wacana gerakan subversif terhadap thaghut yang mereka klaim kafir dan wajib hukumnya diperangi. JI yang didirikan oleh Abdu Shamad dan Abdul Halim di Pesantren Lukmanul Hakim tahun 1993 lalu berpusat di Malaysia yang dijadikan tempat me-landing-kan kader-kader teroris yang akhir-akhir ini meresahkan masyarakat. Abu Dujana yang berhasil ditangakap tahun 2006 lalu adalah salah satu pemimpin organisasi ini (hal. 118-119).

Sukree kembali pamit kepada orangtuanya untuk “mengamalkan” ilmunya dan “berjihad” di Indonesia. Tampak kekecewaan mendalam dirasakan oleh mamaknya. Bahkan Salmah merasakan hal yang sama. Salmah tidak segan-segan melontarkan sebuah tanya kepada kakaknya itu sebagai bentuk keberatannya. Tetapi Sukree tak menghiraukan seruan adiknya itu. Bahkan ibunya pun ia acuhkan. Jihad yang selalu diteriakkan al-Qur’an dimaknai secara mentah-mentah dan sangat tekstual. Baginya, jihad yang diridhai Allah adalah memerangi orang-orang yang memusuhi Islam. Kebencian Sukree terhadap musuh-musuh Islam itu telah menutup mata keadilan. Terma musuh Islam digeneralisir menjadi sekelompok orang yang ada di luar Islam.

Di Ujung Tobat

Seiring dengan bertambahnya pengalaman serta keterlibatannya dalam merakit bom, Sukree mulai mengalami masa yang oleh John Locke disebut sebagai “beban sosial yang membatin.” Benih-benih kesadaran dan penyesalan mulai merasuk ke sela-sela pemikirannya yang radikal. Ia pun dihantui rasa bersalah karena merasa tidak tega melihat sesimbahan darah dan ceceran daging warga sipil yang pada hakikatnya mereka adalah orang-orang tak berdosa. Hingga akhirnya, kesadaran yang sesungguhnya benar-benar ia rasakan ketika aparat kepolisian berhasil membekuknya di tempat ia meracik bom, Karawang.

Sukree benar-benar dihadapkan pada ambiguitas yang berat: antara mengakui semua kedok jaringan teroris dan menjaga image di mata sahabat dan gurunya. Interogasi sesi pertama dilakukan. Namun ia tak bergeming sepatah kata pun kecuali hanya mengucapkan istighfar.

Sukree sadar dan ia telah menyesali perbuatannya. Hatinya tiba-tiba tergetar dengan sebuah ayat yang terpacak jelas dalam al-Quran: “Andai kata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini dan semua yang ada di dalamnya” (QS. Al-Mu’minun [23]: 71).

*Pustakawan FISHUM UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.