Risalah Redaksi

Berdakwah dengan Percaya Diri

Selasa, 29 Oktober 2013 | 06:31 WIB

Belakangan para pendakwah di lingkungan NU sibuk melayani “kicauan” kelompok dakwah lain yang gencar menuding bid’ah terhadap aktifitas atau tradisi keagamaan yang dijalankan masyarakat muslim di Indonesia. Kicauan itu memang terdengar cukup nyaring akhir-akhir ini karena didukung oleh media informasi yang cukup aktif, dan pada titik tertentu sangat kelihatan difasilitasi oleh pihak-pihak berkepentingan.<>

Ya, tema “bid’ah” itu mestinya sudah usang dan selesai beberapa tahun silam, namun memang tetap pas untuk membuat semacam gesekan-gesekan di tengah masyarakat. Sehingga target pertama dari aktifitas “dakwah” mereka tercapai, yakni didengarkan oleh khalayak ramai. Tudingan bid’ah apalagi jika dikaitkan dengan istilah “sesat” bagaimanapun juga memang sering menimbulkan keresahan di tengah masyarakat sehingga beberapa pengurus NU di berbagai daerah yang menjadi target dakwah pun merasa perlu memberikan respon untuk menenangkan warga.

Jika diamati, gerakan anti bid’ah sangat berbeda antara dulu dan sekarang. Gerakan ini biasanya diiringi dengan semboyan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Namun dulu, di dunia Islam dan di Indonesia tepatnya pada masa pergerakan kemerdekaan awal adab ke-20 M, semboyan itu berbarengan atau satu paket dengan satu gerakan yang dinamakan pembaharuan. Melalui semboyan itu, para pembaharu bermaksud mengajak masyarakat untuk mengacuhkan tradisi dan kejumudan lalu masuk ke wilayah modernitas yang mereka yakini bisa meningkatkan derajat umat Islam.

Sementara para kelompok pembaharu sudah mulai menganggap penting identitas sebagai muslim Indonesia dan sudah nyaman mempraktekkan tradisi keagamaan yang dulu dibenci, gerakan anti bid’ah dan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah sama sekali tidak membawa semangat pembaharuan seperti itu. Gerakan anti bid’ah itu sangat terlihat sekedar menunjukkan diri sebagai sebuah identitas yang mengacu pada identitas tertentu di dunia muslim; kelompok Wahabi.

Mereka yang gemar mengampanyekan semboyan anti bid’ah itu selalu mengusik tradisi keagamaan yang sudah berlangsung di tengah masyarakat semenjak lama. Mereka memang tidak pernah berkepentingan terhadap tradisi yang dijalankan oleh masyarakat di sekitarnya. Mereka selalu terasing dari masyarakat sekitarnya dan mengharapkan gambaran ideal seperti ada di luar sana.

Model dakwah dengan cara mengusik kelompok muslim seperti itu memang tidak pernah mempunyai target dakwah yang sebenarnya, yakni mengajak masyarakat untuk mengikuti apa yang mereka sampaikan, karena di sana-sini dakwah dimaksudkan untuk menyebar kebencian terhadap kelompok muslim yang lain. Mengejek, menghina dan membenci apalagi menuding sesat itu bukan dakwah yang efektif, bahkan hanya memicu permusuhan.

Menuding bid’ah terhadap tradisi kegamaan kelompok lain bahkan bisa dimaknai sebagai satu bentuk “tidak percaya diri” terhadap cara berislam yang mereka jalankan. Mereka berkepentingan agar orang lain meninggalkan tradisi lama dan meniru cara berislam yang mereka lakukan untuk meningkatkan rasa percaya diri terhadap apa yang mereka jalani.

Di sinilah pentingnya menawarkan kembali model dakwah yang diiringi sikap saling menghormati dan menghargai keyakinan dan praktik hidup orang lain, selama tidak mengganggu masyarakat yang lain, tidak menghalangi ibadah kelompok lain. Rasa saling menghargai kelompok lain dan tidak merasa paling benar sendiri itu  tercermin dari pernyataan Imam Syafi’i yang cukup populer itu: “Pendapatku ini benar tapi mungkin mengandung kesalahan, dan pendapat orang lain salah tetapi mungkin juga ada benarnya.”

Saling menghormati dan menghargai itu diperlukan jika, sekali lagi, jika memang mereka bertujuan untuk berdakwah, dan bukan tujuan lain. (A. Khoirul Anam)