Sebagaimana yang terjadi di masyarakat Swiss belakangan ini yang menyelenggarakan referendum khusus mengenai penggunaan menara masjid bagi kaum Muslimin di negeri itu. Langkah politik yang telah melahirkan keputusan pelarangan terhadap pembangunan menara masjid ini memang sah secara demokrasi dan konstitusi, karena itu mencerminkan kehendak mayoritas rakyat. Tetapi harus diketahui bahwa langkah itu batal secara moral, dan membahayakan secara politik. Pantas kalau masyarakat sedunia mengutuknya.<>
Tetapi karena demokrasi benar-benar mengandalkan suara terbanyak, tanpa mempertimbangkan implikasi sosial dan politiknya, maka diterima begitu saja. Selain itu karena demokrasi tidak dipimpin oleh hikmah, maka demokrasi menjadi boldozer, karena tidak mengenal kearifan. Tiada kekuatan presiden, tiada kekuatan raja atau tokoh agama yang bisa menghentikannya. Begitulah kalau rakyat dibiarkan memilih, tetapi tanpa diberi kepemimpinan dan bimbingan maka mereka bisa sepakat untuk melakukan kemungkaran, bahkan kehancuran. Demokrasi liberal, demokrasi liar seperti itu mesti dicegah.
Swiss yang selama ini dikenal sebagai negara netral yang tidak pernah terlibat perang dengan Negara lain, karena itu berbagai lembaga dunia baik yang bersifat politik maupun kemanusiaan ditempatkan di sana. Lembaga milik PBB seperti WHO, ILO, termasuk Palang Merah Internasional ditempatkan di Negara itu. Berbagai perundingan perdamaian dunia diselenggarakan di negeri Eropa tengah itu. Karena itu tindakan rakyatnya yang kalap dan irasional itu sangat menodai kota peradaban dan perdamaian tersebut.
Tindakan itu tidak sekadar irasional, tetapi langkah yang sangat membahayakan, karena akan ditiru oleh masyarakat beragama di negara yang lain baik yang mayoritas Kristen maupun yang mayoritas muslim sebagai balasannya. Reaksi meluas seperti itu dengan sendirinya bahkan memicu ketegangan baru di tingkat internasional. Dan ini dimulai oleh Negara yang dianggap sebagai pelopor perdamaian. Kecuali kalau Negara ini mau berubah status dari Negara pengemban perdamaian menjadi negara pengobar perang. Kalau begitu lembaga politik dan kemanusiaan internasional perlu segera dipindahkan dari negeri diskriminatif itu.
NU sendiri sebagai organisasi besar yang selalu dilibatkan dalam mengatasi berbagai konflik internasional sungguh sangat prihatin dengan kenyataan ini. Karena sangat mudah menjalar ke negara lain. Kalau aksi-reaksi itu terjadi maka meluasnya ketegangan akan sulit dihindarkan, apalagi di mulai dari jantungnya Eropa itu, ini bisa memicu perang dingin baru atau bahkan perang terbuka, seperti perang dunia I dan perang dunia II juga dipicu dari kawasan itu. Mengingat bahayanya maneuver itu maka NU gigih melakukan diplomasi internasional untuk mencegah hasil referendum itu menjadi keputusan tetap.
Tentu hal itu tidak cukup sendirian, seluruh kekuatan internasional mesti digerakkan agar tindakan berbahaya itu tidak menjalar ke Negara lain, terutama di kawasan Eropa dan Amerika yang selama ini memang menaruh kecurigaan dan kebencian terhadap Islam. Maklumlah mereka adalah Negara-negara colonial, yang melihat kekuatan lain yang bangkit sebagai ancaman. Merdekanya negara-negara Islam dari cengkeraman penjajahan barat tahun1940-an sangat merugikan kolonialisme. Mereka Negara colonial, sehingga hanya bisa hidup dengan cara menjajah, baik secara politik, ekonomi dan budaya. Kebangkitan Islam antara lain menuntut kebebasan itu, karena itu dianggap mengancam keberlangsungan imperialisme mereka.
Selama pandangan kolonialistik, imperialistic dan kapitalistik ini masih belum sirna, maka ketakutan terhadap Islam masih akan terus tumbuh. Saat ini di berbagai Negara Barat yang katanya demokratis dan beradab itu belum bisa menghormati kelompok Muslim dengan baik. Sementara di negara-negara Muslim telah begitu baik mengatur dan memposisikan kelompok non Muslim di Negara Islam. Manuver Swiss jangan sampai merusak tradisi Negara Muslim yang telah menghormati kelompok non Muslimnya itu. Kalau hal itu terjadi maka masyarakat internasional akan terjebak dalam ketegangan dan pertikaian baru. Sementara pertikaian lama belum semuanya teratasi.
Sayang kaum pembela demokrasi, pembela kebebasan dunia yang selama ini sangat sensitive membela segala bentuk pembatasan kebebasan berekspresi mereka masih diam. Demikian juga kalangan pembela kebebasan di Indonesia juga tidak melihat hal itu bukan masalah. Apalagi media masa umum, baik Koran maupun televisi tidak peduli dengan masalah ini. Inilah ketidakjujuran para pembela kebebasan, mereka hanya peduli pada haknya sendiri tidak peduli pada hak orang lain. Di sinilah organisasi Islam terbesar seperti NU akan terus mengambil inisiatif menuju perdamaian. NU akan selalau konsisten menolak fundamentalisme Islam, maka dengan sendirinya juga akan konsisten menolak fundamentalisme Kristen, Hindu atau Budha. Atau agama yang lain. Ini semata untuk menciptakan hidup bersama yang adil dan terarah. (Abdul Mun’im DZ)
Terpopuler
1
Ketum PBNU dan Kepala BGN akan Tanda Tangani Nota Kesepahaman soal MBG pada 31 Januari 2025
2
Ansor University Jatim Gelar Bimbingan Beasiswa LPDP S2 dan S3, Ini Link Pendaftarannya
3
Rahasia Mendidik Anak Seperti yang Diajarkan Rasulullah
4
Pemerintah Keluarkan Surat Edaran Pembelajaran Siswa Selama Ramadhan 2025
5
Doa Istikharah agar Dapat Jodoh yang Terbaik
6
5 Masalah Bakal Dibahas Komisi Maudhu'iyah di Munas NU 2025, Berikut Alasannya
Terkini
Lihat Semua