Berperan tidaknya seorang pemimpin sangat tergantung pada karakter yang melekat pada dirinya, sementara karakter dibangun dalam proses pergumulan panjang yang kadang penuh dengan gejolak dan jatuh bangun serta berbagai suka duka. Semuanya itu membentu menjadi jiwa yang ulet, hati yang teguh dan kemauan yang kuat serta pengabdian yang tak kenal batas. Mbah Maridjan adalah salah satu contoh terakhir yang ditunjukkan kita pada saat ini. Ini sebuah pertunjukan yang sangat tepat dalam sebuah panggung politik nasional yang tidak memiliki karakter, sebab para pemimpinnya tidak memiliki jiwa yang ulet, hati yang tegih serta pengabdian yang mendalam. Semuanya bersifat kontraktual.
Dengan kekuatan spiritualnya Mbah Maridjan telah mampu menajga keseimbangan antara mikrokosmos, manusia yang tercermin dalam dirinya, dengan makrokosmos yakni Gunung Merapi, selama belasan tahun mengabdi, dan selama itu pula berbagai letusan gunung terjadi, masyarakat selamat dan Mbah Maridjan Juga selamat. Sebagai pengabdian yang tulus, ia bertekad mengandikan dirinya seumur hidup untuk menjaga merapi, apalagi ini juga amanah dari Keraton Yogyakarta. Karena itu sebagai panglima Merapi tidak mungkin ia meninggalkan gelanggang, lari berarti meninggalkan tanggung jawab, pantang bagi seorang brahmana mengabaiakan tiugasnya, karena itu akan dipertahankan hingga denyut nadi penghabisan.
<>Tetapi sang aktor harus mati dalam episode letusan penghabisan, ini memberikan nilai dramatis dan sekaligus sebagai contoh yang dipentaskan di atas panggung Merapi yang dijaganya sendiri. Di atas panggung itu ia mencontohkan bagaimana seorang pemimpin mesti bertindak, dan bertanggung jawab, mengabdi sepenuhnya tanpa pamrih. Darma kematiannya memberikan pelajaran bagi pemipin kita bagaimana moral dan asketisme hidup mesti diperahankan. Asketisme itu tidak hanya menjaga keseimbangan antara sesama mikro kosmos atau sesama manusia, tetapi juga sebagai sarana untuk menjaga keseimbangan mikro-kosmos dengan makro-kosmos.
Sebagai seorang spiritualis, Mbah Maridjan adalah seorang Rois Syuriyah Nahdlatul Ulama, dengan demikian dia seorang Kiai. Dengan kekiaiannya itulah dia tunjukkan ketinggian moralnya dan sekaligus kerendahan hatinya. Dia lebih banyak berbuat dan memberi keteladanan dari pada omongan. Dia telah menyatukan antara ilmu dengan laku, karena itu omongan hanya akan mengganggu laku. Laku sendiri sudah merupakan pelajaran yang langsung bisa dicerna oleh para muridnya atau masyarakat yang peka. Dengan kekiaiannya itu pula dia bisa menjalankan tugas secara proporsional bagaimana bisa bertindak tanpa harus melanggar syariat agama, terutama saat melaksanakan ritual di atas sana dalam upaya menjaga keseimbangan hidup.
Kerakusan dan lari dari tanggung jawab merupakan wajah dari kepemimpinan saaat ini, sumber daya akan dikeruk tanpa batas, hutan ditebang tanpa menyisakan akar untuk tumbuh kembali, sehingga mengakibatkan longsor dan banjir yang tidaka mengenal ampun. Alam tidak dijaga dan dipelihara, tetapi dimakan habis untuk memenuhi semangat konsumsi yang tidak ada batas, sehingga masyarakat menjadi masyarakat konsumtif yang mengkonsumsi apa saja, malampaui apa yang sebenarnya dibutuhkan, hanya demi nafsu dan kesenangan, tanpa memperhatikan keterbatasasn alam.
Tidak hanya sumber daya alam yang dihabiskan, kekayaan rakyat yang disimpan dalam kas negara juga diambil tanpa sisa baik secara resmi maupun melalui manipulasi. Sehingga pengambilan itu tidak lagi dikategorikan lagi sebagai korupsi, hukum tidak lagi bisa mendeteksi perilaku seperti itu. Karena itu korupotor selalu lepas dari jerat hukum, karena hukum bisa diakali dan dimanipulasi melalui proses jual beli. Semuanya terjadi karena para pimpinan haus kekuasaan, haus kekayaan serta haus popularitas, padahal semuanya terjadi dengan biaya yang sangat mahal, tidak mungkin dipenuhi tanpa disertai korupsi.
Semua orang termasuk politisi bicara keras bagaimana melestarikan alam, dan menghadapi cuaca yang berubah, serta berbusa-busa mencari cara untuk memberantas korupsi. Mbah Maridjan tentu tidak pernah bicara persoalan seperti itu, karena itu sama sekali bukan cara untuk menyelesaikan masalah, dan memang masalah tidak berada di situ. Tetapi Mbah Maridjan menjalankan satu sikap dan langkah yang bisa menyelesaikan solusi semua problem itu, yaitu hidup asketik. Dengan asketisme tidak butuh uang lebih lalu korupsi. Dengan asketisme itu pula dia tidak perlu merusak dan menebangi pohon, merusak sungai. Sebaliknya malah merawat dan melindunginya. Itulah pelajaran yang diberikan oleh Mbah Maridan dalam drama yang dipentaskan di atas Gunung Merapi. (Abdul Mun’im DZ)
Terpopuler
1
Ansor University Jatim Gelar Bimbingan Beasiswa LPDP S2 dan S3, Ini Link Pendaftarannya
2
Ketum PBNU dan Kepala BGN akan Tanda Tangani Nota Kesepahaman soal MBG pada 31 Januari 2025
3
Rahasia Mendidik Anak Seperti yang Diajarkan Rasulullah
4
5 Masalah Bakal Dibahas Komisi Maudhu'iyah di Munas NU 2025, Berikut Alasannya
5
Pemerintah Keluarkan Surat Edaran Pembelajaran Siswa Selama Ramadhan 2025
6
Larangan Justifikasi Kebakaran California sebagai Azab
Terkini
Lihat Semua