Risalah Redaksi

Hentikan Intervensi Asing ke Pesantren

Selasa, 6 Desember 2005 | 03:00 WIB

Pemikiran Huntington tentang benturan peradaban diterjemahkan sangat vulgar oleh pemerintah  Amerika, dengan menempatkan Islam sebagai musuh utama, setelah kekuatan negara komunis tidak ada. Walaupun Islam bukan sebagai musuh utama, tetapi dalam dunia yang penuh konspirasi, untuk menjadikan Islam sebagai musuh nyata tidaklah susah, dengan teknis memprovokasi, menjebak dan sebagainya, maka tiba tiba posisi islam sudah berhadapan dengan Dunia Barat seperti sekarang ini.

Beberapa kalangan bisa diprovokasi dan sebagian besar tidak. Kelompok yang mudah diprovokasi adalah kemlompok yang beragama secara liberal, sempit  serta fanatik. Sementara kelompok yang keberagamaannya mendalam, menghargai nilai kultural serta penuh toleransi, tidak mudah diprovokasi. Kelompok kedua itu yang kebanyak berasal dari pesantren tradisional. Sementara kelompok pertama hanya berbasis di masjid kampus, kalaupun ada yang masuk pesantren selalu pesantren modern, yang tidak ada hubungannya dengan pesantren tradisional yang dikelola NU.

<>

Sebenarnya kelompok Islam fundamentalis itu sangat mudah dideteksi, karena mereka memiliki akar ideologi yang jelas serta memiliki doktrin yang tegas, perilakuknya juga mudah dikenali. Demikian juga daeri segi rekrutmen juga jelas, mereka selalu merupakan anak pinak dari Islam radikal pada zaman yang lalu. Kelompok itu mulai dihimpun di pesantren baru, pesantren jadi-jadian, dengan demikian pihak pencipta teroris dan pemburu teroris, yang dengan mudah bisa mengendus kadernya yanga ada di pesantren tertentu, karena memang mereka itu binatang piaraan yang kapan saja bisa dipotong bila dikehendaki sang peternak.

Sementara pesantren NU sejak zaman dulu kala menolak segala bentuk kekerasan, karena itu menolak pemberontakan DI-TII, PRRI dan Komando Jihad dan sebagainya, dan juga menolak dijadikan teoris oleh imperialisme global saat ini. Mengingat hal itu tidak sesuai dengan ajaran Islam yang mereka pahami dan bertentangan tradisi yang mereka kembangkan. Kelompok  semacam itu pasti lahir dari kelompok Islam puritan yang bukan NU.

Maka sangat naïf bila teroris piaraaan AS yang ditaruh di pesantren modern itu kemudian oleh AS dijadikan sebagai cara untuk membenarkan AS melalui aparat kepolisian Indonesia lalu memburu teroris ke pesantren tradisional. Dalam pemburuan itu sistem nilai pesantren akan rusak, citra pesantren akan hancur. Seandainya itu dilakukan dengan bukti yang dipersiapkan sendiri, maka terorispan akan ditemukan di pesantren tradisional, soal pengakuan bisa diskenariokan.

Islam sebenarnya bukan musuh yang mengancam AS, tetapi AS merasa terancam dengan prinsip Islam yakni membela keadilan dan kesejahteraan umat manusia, sementara AS sebagai panglima imperialis merasa terancam dengan gerakan keadilan, sehingga Islam dianggap lawan. Untuk menghadangnya lalu diciptakan isu teroris, dengan cara itu  Islam dan termasuk pesantren bisa dipukul. Kalau tujuannya hanya amencari teroris, AS dan aparatnya mesti tahu di mana teroris berada, tetapi tujuannya adalah penaklukan Islam, maka semua lembaga keislaman akan dijajah dengan uang, bangunan dan kalau perlu dengan kekerasan.

Semestinya aparat keamanan Indonesia mengetahui antropologi dan geneologi terror di Indonesia, kalau tahu mestinya bisa menditeksi bahwa pesantren tradisional tidak memiliki akar kekerasan. Dengan mengetahui sejarah itu aparat kemanan tidak perlu repot mengejar kelompok radikal, sebab bisa menditeksi dengan melihat orientasi ideologi keislamannya. Sebab aspirasi Islam radikal itu diungkap di mana-mana, sehingga mudah membedakan Islam yang radikal dengan Islam moderat.

Dengan kenyataan seperti itu, maka sudah semestinya pihak PBNU mengutuk keras tindakan aparat keamanan yang melakukan penyidikan pada para santri pesantren, sebagai upaya mendeteksi teroris.Bahkan dengan tegas PBNU mengingatkan polisi agar jangan menjadi kaki tangan Amerika, yang ingin menghancurkan basis kekuatan Islam dengan dalih menghancurkan teroris. Karena itu aparat keamanan harus segera menghentikan penyidikan santri pesantren. Dan yang lebih penting lagi AS jangan melakukan campur tangan dengan memaksakan kehendak untuk mengganti kurikulum madrasah dan pesantren. Ini sudah merupakan intervensi yang tidak bisa dibiarkan.

Rezim orde baru yang totaliter-otoriter memang berusaha menguasai seluruh sektor, termasuk pesantren, tetapi hanya dengan menaklukkan beberapa orang kiainya, tetapi kurikulumnya pendidikannya tidak diusik. Tetapi AS tiba-tiba dengan tidak tahu diri hendak mengubah kurikulum pesantren dan madrasah. Ini merupakan tindakan ceroboh yang harus ditentang. Sebuah bentuk intervensi politik dan imperialisme kebudayaan yang tanpa tedeng aling-aling. Mestinya sebagai sebuah bangsa AS memiliki etika, tidak bertindak gegabah mencampuri lembaga agama Islam dengan melanggar aturan serta sopan santun.

Sejalan dengan meningkatnya pendidikan mestinya dunia sedikit lebih beradab, tetapi ternyata lebih tidak beradab, karena itu kalaupun ada tindakan kekerasan, tentu dilakukan oleh orang tertindas. Tetapi celakanya