Idul Fitri yang akan jatuh pada pekan pertama Juni 2019 menjadi momen yang tepat untuk merekatkan kembali perpecahan dan perbedaan pendapat akibat pilihan politik yang menyertai pemilu 2019. Berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, isu agama yang dikampanyekan secara berlebihan membuat masyarakat terpolarisasi antara “kami” dan “mereka”. Isu agama membuat pilihan politik menjadi tidak sekadar saya pilih pasangan tertentu karena suka atau lebih kompeten dalam membangun bangsa. Ada narasi-narasi bela agama, jihad, dan kata-kata senada yang muncul di publik.
Kontestasi politik merupakan sebuah rutinitas lima tahunan. Para calon tentu mengampanyekan bahwa dirinya merupakan pilihan paling tepat untuk memimpin bangsa ini. Masing-masing menunjukkan kelebihan yang dimilikinya. Sayangnya dalam kampanye, tak jarang pihak-pihak tertentu menggunakan cara-cara yang tidak benar. Propaganda hitam, penyebaran hoaks, bahkan fitnah berseliweran di media sosial. Massa yang gampang termakan oleh aksi propaganda menjadi emosional dalam membela calonnya. Apalagi jika propaganda tersebut menyangkut bela agama. Perbedaan pilihan antarkeluarga atau teman menyebabkan hubungan keluarga atau pertemanan menjadi renggang.
Bagi sebagian orang, pilihan politik tak lebih dari sekadar akses kepada kekuasaan. Calon yang didukung adalah yang kira-kira mampu memberikannya akses. Kelompok ini umumnya adalah elit politik yang dengan mudah berkompromi asal mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan. Karena itulah, koalisi politik dengan gampang dibentuk tetapi gampang pula bubar di tengah jalan. Berbeda dengan elit politik. Rakyat kebanyakan menentukan pilihan berdasarkan narasi-narasi yang dikembangkan selama masa kampanye. Ketika kampanye menggunakan isu-isu agama dengan menyatakan bahwa hanya calon tertentu yang dianggap mewakili umat Islam sementara yang lain kelompok yang menista Islam, situasinya bisa menjadi berbahaya.
Ketika pilihan politik dikaitkan dengan agama, maka pilihan tidak dianggap lagi sesuatu yang profan, tetapi telah dimasuki dengan nilai-nilai religius. Mereka rela melakukan apa saja demi pilihan politik yang dianggap sebagai perjuangan agama. Di sini ada kesenjangan antara apa yang dipikirkan rakyat kebanyakan dan elitenya.
Tentu saja, kita harus menyadari bahwa pilihan politik tak boleh mengalahkan persaudaraan. Masing-masing orang memiliki pilihan dengan kriteria tertentu. Ada orang yang suka dengan pemimpin yang merakyat, yang lain suka dengan sikap yang tegas. Ada yang merasa nyaman dengan capaian yang sudah dilakukan selama lima tahun belakangan, tetapi ada yang ingin melakukan perubahan. Karena itu, kita tidak boleh menggunakan kaca mata kita ketika menilai pilihan orang lain. Dengan menghormati pilihan orang lain, kita turut menjaga kedamaian bangsa ini.
Rakyat telah menentukan pilihannya pada 17 April 2019 lalu. KPU telah mengumumkan bahwa pasangan 01 yaitu Jokowi Amin meraih suara lebih banyak dibandingkan dengan pasangan 02 Prabowo Sandi. Jika ada sengketa pemilu, sebaiknya menggunakan saluran-saluran hukum yang ada. Jangan lagi melibatkan rakyat untuk aksi-aksi selanjutnya. Biarlah mereka merajut kembali kerenggangan yang muncul akibat perbedaan pilihan politik ini.
Tidak mudah untuk menghilangkah kekecewaan akibat kekalahan atau bersikap jumawa ketika menang. Tetapi kekuatan untuk bersikap sabar dan tenang dalam kondisi apapun menunjukkan kapasitas kepemimpinan seseorang. Dalam momen-momen kritis inilah kapasitas calon pemimpin diuji. Rakyat akan melihatnya.
Pada negara-negara yang sistem demokrasinya telah matang, maka kekalahan atau kemenangan disikapi dengan wajar. Tidak ada eforia berlebihan bagi yang menang atau kekecewaan yang mendalam yang diekspresikan ke publik bagi yang kalah. Mereka yang kalah umumnya mengucapkan selamat kepada yang menang karena itulah pilihan rakyat. Sementara itu di negara-negara yang demokrasinya belum matang, sengketa pemilu bisa berkepanjangan. Masing-masing pihak akan mengerahkan massa pendukungnya untuk melakukan aksi jalanan. Tak jarang, korban nyawa timbul.
Salah satu momentum yang tepat dalam pemilu kali ini adalah hasil pemilu diumumkan pada bulan Ramadhan, di saat umat Islam sedang berkonsentrasi menjalankan beragam amaliah keagamaan. Dan selanjutnya mereka berpikir untuk menyiapkan diri menyambut Idul Fitri. Dengan demikian upaya provokasi untuk menggelar beragam aksi massa kurang mendapat sambutan. Bahkan momentum ini menjadi sangat tepat untuk merajut kembali persaudaraan yang renggang.
Para tokoh nasional berulang kali telah berkumpul dan berseru agar seluruh komponen bangsa melakukan rekonsiliasi pascapemilu. Seruan-seruan ini mendapat momentum yang sangat tepat. Tak ada kesempatan yang lebih baik bagi seluruh bangsa ini selain pada Idul Fitri untuk saling memaafkan. Dalam tradisi bangsa Indonesia, Idul Fitri dikenal sebagai hari raya untuk saling memaafkan atas kesalahan dan khilaf yang terjadi sebelumnya. Pada hari yang paling meriah ini, umat Islam saling mengunjungi rumah tetangga, kerabat, dan handai taulan. Inilah momen yang paling tepat untuk merajut kembali persaudaraan yang mungkin renggang karena berbagai hal.
Jutaan orang pulang ke kampung halamannya untuk bertemu keluarga. Perjuangan untuk itu bukanlah hal yang ringan mengingat perjalanan yang panjang dan ongkos yang lebih mahal dibandingkan dengan hari-hari normal. Tetapi semuanya ditempuh demi bertemu keluarga dan kerabat. Saat itulah, semua orang siap untuk meminta maaf atau memberi maaf kepada sesama. Saatnya bersatu kembali untuk membangun bangsa. (Achmad Mukafi Niam)