Risalah Redaksi

Jujur dan Adil

Selasa, 23 Maret 2004 | 07:23 WIB

Bagi sebuah bangsa yang tidak memiliki komitmen moral, tentu sulit untuk bisa menjunjung nilai-nilai kejujuran dan keadilan. Sementara bagi bangsa yang tidak mampu menghargai dan menjalankan kejujuran dan keadilan, hukum yang dirumuskan hanya untuk menjebak orang lain dan mengenakkan diri sendiri. Hukum dibuat bukan untuk ditaati tetapi untuk dilanggar secara bersama-sama.

Pemilu adalah sebuah kontes politik yang paling paling luas dan paling nyata yang di dalamnya melibatkan seluruh warga negara, karena itu kejujuran dan keadilan ditetapkan sebagai prinsip dari perhelatan politik ini. Tanpa prinsip itu pemilu hanya basa-basi atau manipulasi. Pernah pada suatu ketika di zaman Orde Baru, usulan untuk menegakan nilai kejujuran dan keadilan dianggap sebagai sikap inkonsitusi. Sebab konstitusi memang tidak menyebut istilah itu, yang disebut adalah, langsung, umum, bebas dan rahasia  (luber), memang ironis, kejujuran dianulir dari sebuah kompetisi publik.

<>

Sekarang ini jujur dan adil, tampaknya teklah disepakati bersama, tetapi pemilu kali ini berbeda dengan yang dulu, dengan sistem yang cukup pelik, peraturan yang terlampau ketat dan jelimet, tetapi di sana juga tersedia lobang besar untuk meloloskan diri dari berbagai jeratan hokum, karena itu dalam putaran pertama kampanye ini, bahkan masa pra kampanye sudah terdengar banyak pelanggaran terjadi.

Pelanggaran sengaja dilakukan, sejak yang paling kecil, hingga terbesar, seperti pengerahan masa, mendapat sumbangan partai di luar ketentuan, termasuk belakangan ini pelanggaran berupa pencoblosan terhadap kartu suara di luar TPS. Pelanggaran ini terjadi karena peraturan itu sendiri yang terlalu ketat dan kedua memang ada mental untuk mengelabui peraturan yang ada.

Waktu kampanye yang terlalu pendek susah buat partai yang ada bisa melakukan koordinasi, sementara koordinasi dan konsolidasi tentu melibatkan masa dan pemasangan atribut. Beaya kampanye baik partai maupun personel calon legislative teramat mahal, tetapi, plafon yang bisa diterima partai dan calon partai terbatas, sehingga mustahil ketentuan tersebut tidak dilanggar, hanya yang mereka perlukan adalah bagaimana pelanggaran itu tidak menyolok, misalnya dengan mencarter pesawat atau membagi duit kepada rakyat secara mencolok yang diperkirakan nilainya di atas plafon yang disepakati. Karena itu pelanggaran semacam itu telah menjadi rahasia umum, berapa dana yang diterima dan dimiliki sebuah partai, tetapi semuanya itu hanya diketahui tetapi tidak bisa dibuktikan secara hukum.

Banyaknya lembaga kontrol, dan pemantau pemilu baik negeri maupun swasta baik yang formal maupun informal, memang sangat penting untuk menjaga kejujuran dan keadilan. Walaupun juga tidak bisa berharap banyak, karena pada dasarnya tidak ada pelanggaran yang bisa dijatuhi sanksi, melainkan hanya sebagai pencegahan pelanggaran lebih jauh, kalu ini terjadi ini sudah lumayan, karena suasana social dan kualitas politiknya masih sangat rendah.

Berpolitik memang perlu pembelajaran, pelajaran tidak hanya dilakukan oleh rakyat, tetapi juga oleh negara sebagai penyelenggara, dan para elite politik sebagai kontestan pemulu. Dan pemilu merupakan pembelajaran politik yang massal, di mana seluruh rakyat dilibatkan, karena itu walaupun pemilu ini belum maksimal, tetapi perlu tetap optimis bahwa setelah banyak belajar sistem yang ruwet ini bisa dievaluasi, dan perilaku yang penuh manipulasi bisa dikorekasi, sehingga ke depan bangsa ini misa memiliki sistem politik, pemerintahan dan kenegaraan yang baik, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran dan keadilan di semua bidang kehidupan. (MDZ)