Kemenangan Taliban: Kebangkitan Konservatisme atau Menuju Moderatisme?
Ahad, 22 Agustus 2021 | 09:30 WIB
Belasan ulama Afghanistan berkunjung ke PBNU pada 2013 sebelum akhirnya mendirikan Nahdlatul Ulama Afghanistan di negara mereka. (Foto: NU Online/Mahbib)
Achmad Mukafi Niam
Penulis
Hanya dalam beberapa pekan setelah penarikan pasukan Amerika Serikat, bahkan belum sampai 11 September 2021 sebagai tenggat akhir pemulangan tentara AS, ibu kota Kabul Afghanistan sudah jatuh ke tangan Taliban, kelompok konservatif yang memerintah negeri di Asia Tengah ini dengan kejam dalam rentang 1996-2001.
Ketika berkuasa Taliban melarang perempuan keluar rumah tanpa pendamping; hanya mengizinkan anak perempuan bersekolah sampai usia 10 tahun; menerapkan hukum potong tangan bagi pencuri; laki-laki diwajibkan menumbuhkan jenggot; serta berbagai kebijakan dengan pendekatan syariah yang tekstual.
Taliban yang kini secara de facto berkuasa menyatakan diri belajar dari masa lalu dan siap untuk berubah supaya dapat membangun Afghanistan dan diterima oleh komunitas internasional. Mereka berjanji untuk menghargai perempuan; memberi pengampunan kepada pihak yang bekerja dengan pemerintah sebelumnya; serta memberi perlindungan kepada orang asing; tidak menjadikan Afghanistan sebagai basis melawan pemerintah asing; dan mengakhiri industri narkoba. Namun demikian, tidak ada yang tahu apakah janji-janji tersebut ditepati seluruhnya, sebagian, atau bahkan hanya menjadi retorika di tataran elite sementara akar rumputnya tetap bertindak keras sesuai dengan ideologi yang diyakininya.
Sebagai langkah awal dalam proses penguasaan negeri tersebut, tidak tampak kekerasan dan pembumihangusan kelompok lain yang tidak sepaham seperti dilakukan oleh ISIS; presenter wanita masih diizinkan melakukan siaran TV; warga asing yang ingin melakukan evakuasi juga difasilitasi dengan baik. Kini dunia sedang menunggu bagaimana hukum dan aturan-aturan yang akan ditetapkan. Bagaimana mereka memaknai definisi hukum syariah yang akan mereka terapkan? Apakah mereka akan meniru Qatar yang menjadi kantor perwakilannya, mengikuti gaya Saudi Arabia, atau Pakistan yang menjadi tetangganya, atau memiliki gaya sendiri, semua belum pasti.
Upaya Amerika Serikat untuk mengubah Afghanistan dengan sistem pemerintahan dan budaya mereka selama 20 tahun tampaknya tidak berhasil. Hanya ada pemerintah boneka lemah yang sarat dengan korupsi, perpecahan, dan berbagai persoalan lainnya sehingga mereka hanya bisa hidup dengan dukungan bantuan dari pemerintah AS. Negara ini mendapatkan bantuan luar negeri terbesar, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan bantuan yang diberikan oleh AS kepada Israel.
Semakin lama bercokol di negeri yang kaya bahan tambang ini, semakin besar kerugian yang harus ditanggung dengan perang abadi yang tak ada ujungnya, sementara tidak ada keuntungan yang mereka dapatkan. Total pengeluaran resmi dari kementerian pertahanan, kementerian luar negeri, dan USAID selama 2001-2019 sebagaimana dilaporkan oleh BBC mencapai 822 miliar dolar, setara dengan 11.504 triliun rupiah.
Sekalipun sudah mendapat dukungan dana dan pelatihan militer, Amerika Serikat telah memprediksi kekalahan pasukan pemerintah Afghanistan seusai pengunduran tentara mereka. Bahkan kekalahan berlangsung lebih cepat dari yang diperkirakan.
Sebagai proses untuk melakukan strategi mundur, Amerika Serikat melakukan perundingan sendiri dengan Taliban di Doha, Qatar tanpa melibatkan pemerintah Afghanistan. Mereka meminta Taliban tidak menjadi tempat persembunyian kelompok Al-Qaeda dan ISIS. AS dan NATO menyerang negeri ini karena Afghanistan dijadikan basis oleh Al-Qaeda menyerang WTC pada 11 September 2001. Amerika Serikat berkepentingan supaya teror global tersebut tidak terulang. Tampaknya ini menjadi skenario terbaik dari kondisi buruk yang dialami negara yang pernah kalah perang di Vietnam ini.
Menjadi penting bagi umat Islam di seluruh dunia adalah bagaimana dampak kemenangan Taliban terhadap kehidupan Muslim di berbagai negara. Akankah kelompok-kelompok militan menjadikan kemenangan tersebut sebagai inspirasi perjuangan mereka, seperti ketika ISIS berkuasa—banyak kelompok radikal yang berbaiat kepada ISIS atau mendorong organisasi-organisasi radikal meningkatkan serangannya kepada pemerintah. Pada pemerintah yang lemah dan rentan, hal tersebut sangat mungkin terjadi. Jika hal tersebut terjadi, akan menambah kerunyaman masalah di dunia muslim yang belum terlepas dari persoalan-persoalan mendasar.
Termasuk dalam hal ini kelompok radikal yang ada di Indonesia. Akankah mereka merayakannya sebagai sebuah kemenangan dengan lebih bersemangat untuk mempersiapkan tindakan-tindakan keras, merekrut pengikut-pengikut baru, tetap tiarap, atau mengambil strategi yang lebih moderat dalam mengejar visi mereka, seperti mendirikan partai politik atau bergabung dengan partai politik yang sudah ada?
Di dalam Taliban sendiri, terdapat beberapa faksi yang saling bersaing, baik untuk kepentingan kekuasaan politik atau terkait dengan model penerapan syariah. Kelompok konservatif menginginkan model penerapan syariah yang ketat. Bisa saja faksi tersebut mengambil alih kekuasaan internal dan menyingkirkan kelompok moderat, maka gambaran masa lalu yang kelam akan terulang kembali.
Kebijakan yang akan diterapkan Taliban bukan hanya berpengaruh terhadap rakyat Afghanistan, akan tetapi turut mempengaruhi citra umat Islam di seluruh dunia. Jika hal-hal buruk sebagaimana terjadi ketika mereka berkuasa sebelumnya terulang, maka umat Islam seluruh dunia akan menanggung akibatnya. Islamofobia yang terjadi di negara-negara di mana Muslim menjadi minoritas akan meningkat. Kelompok ultranasionalis yang membenci Islam akan menjadikan isu tersebut untuk menjelek-jelekkan Islam.
Dalam konteks Indonesia, yang dapat dilakukan adalah terus mengampanyekan moderasi Islam. Jangan sampai kelompok-kelompok radikal memiliki ruang untuk berkembang karena pengelolaan negara yang buruk, karena korupsi yang merajalela, hukum yang tidak ditegakkan, dan hal lain yang merusak kepercayaan rakyat. Ini akan memudahkan ideologi lain memasarkan janji-janjinya.
Afghanistan tak berhenti dilanda perang dan konflik sejak akhir 1970-an ketika Uni Soviet melakukan invasi, yang kemudian dikalahkan oleh kelompok Mujahidin dukungan AS. Kini Amerika Serikat mengalami nasib yang sama. Dalam beberapa dekade, rakyat Afghanistan terus dalam kondisi kebodohan dan kemiskinan karena tidak adanya kesempatan untuk belajar dan bekerja dengan baik. Jangan sampai hal tersebut terus berlangsung karena kebodohan dan kemiskinan memudahkan orang menjadi radikal.
Dalam konteks ukhuwah Islamiyah, penting bagi kita untuk turut berkontribusi menciptakan perdamaian di negeri tersebut. Indonesia pernah menginisiasi perundingan antara Taliban dan Pemerintah Afghanistan pada tahun 2019. Dalam kunjungan tersebut, delegasi Taliban juga berkunjung ke kantor PBNU. Dalam rangka peringatan hari lahir ke-85 NU pada 2011, NU pernah menyelenggarakan Consultation Forum for Peace in Afganistan yang diikuti 21 delegasi dari berbagai kelompok. Pada 2013, NU pernah menerima 13 orang anggota rombongan ulama Afghanistan yang menjadi delegasi perdamaian. Selanjutnya pada 2016, NU mengundang delegasi dari Afghanistan dalam International Summit of the Moderate Islamic Leaders (Isomil).
Di Afghanistan, juga telah berdiri Nahdlatul Ulama Afghanistan yang proses pendiriannya dikonsultasikan dengan PBNU sebagai salah satu langkah dakwah Islam yang moderat. Lalu, terdapat sejumlah mahasiswa Afghanistan yang mendapat beasiswa dari NU untuk belajar di beberapa universitas milik NU. Ada banyak langkah nyata yang bisa kita lakukan untuk membantu negeri yang terkoyak itu. (Achmad Mukafi Niam)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Hukum Pakai Mukena Bermotif dan Warna-Warni dalam Shalat
6
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
Terkini
Lihat Semua