Risalah Redaksi

Lebaran Sebagai Bentuk Pembebasan

Senin, 7 November 2005 | 05:35 WIB

Puasa sebagai pergumulan fisik dan spiritual untuk menaklukan seluruh nafsu insani, agar tidak tunduk pada kehendak duniawi, untuk mencapai tahap spiritualitas lebih tinggi dan dengan demikian derajad sosial yang lebih tinggi pula. Karena itu ibadah ini tidak main-main, walaupun bersifat spiritual, tetapi mempunyai implikasi sosial yang besar bila dilaksanakan dengan sesungguhnya, apalagi pelaksanaannya sangat masssal dan dalam jangkan yang cukup panjang.

Persoalannya apakah puasa ini benar-benar dijalankan sesuai dengan arah dan tujuan puasa itu sendiri. Padahal puasa untuk manusia saat ini sangat penting. Saat ini manusia Indonesia mengalami transformasi sedemikian rupa sehingga menjadi manusia paling konsumtif, tidak hanya terhadap barang dan jasa tetapi juga terhadap pola hidup dan pemikiran asing. Untuk memenuhi seleranya yang mahal itu segala daya dikerahkan, kalau tidak mampu mencapai masih ada jalan terobos yaitu korupsi.

<>

Korupsi dan manipulasi di negeri ini tidak pilih pelaku tidak pilih korban. Bayangkan ditengah badai bencana alam, di tengah berbagai pengungsi akibat konflik, serta di tengah ribuan rakyat kelaparan. Bantuan yang disalurkan ke mereka dikorup, hanya separuhnya yang sampai ke mereka. Bayangkan pula banyak dana amal, dana sedekah bahkan zakat kemudian dijarah sendiri oleh panitianya dengan berbagai cara dan dalih, sehingga fakir miskin semakin menderita. Tetapi tidak sedikit pula yang bersedekah untuk mendramatisir kekayaan, dan mendramatisir kemiskinan itu sendiri. Padahal kekayaan mereka peroleh dengan cara tidak halal, sementara yang diberikan hanya beberapa persennya saja, sebagai sarana untuk cuci muka.

Ketika kelompok penguasa dan juga kelompok agama telah sedemikian rakusnya, apalagi kelompok awamnya, ketika mereka mengantri mendapatkan jatah, karena didorong rasa lapar dan amarah, mereka mengamuk di mana-mana. Maka sudah kloplah antara elit dan massanya. Makhluk manusia telah menjadi predator yang ganas. Puasa ternyata belum sepenuhnya mampu menjinakkan sikap predator kaum Muslimin ini, akhirnya puasa hanya  menjadi ritual biasa. Bahkan ibadah ini telah menjadi sarana kapitalis yang sangat ampuh untuk merangsang nafsu predator mereka.

Ketergantungan pada materi, semakin tinggi, sehingga idealisme tidak diperlukan lagi, semuanya berlaku pragmatis, berpolitik bersikap pragmatis, asal sudah mendapat gaji tinggi, sudah tidak perlu memperjuangkan nasib rakyat. Beragama juga sangat pragmatis, mencari ilmu agama yang ringan dan mudah-mudah saja, bisa dicerna secara instan, sebab tidak perlu diamalkan, hanya untuk didengarkan. Hal itu juga ditopang oleh para muballigh instant, hasilnya umat yang instant, pragmatif, tanpa komitmen moral dan sosial.

Padahal semestinya dengan puasa yang berat dan bermakna itu, lebaran bisa dijadikan sarana pembebasan, karena puasa merupakan bentuk perlawanan terhadap penyembahan pada kebendaan, yang dikendalikan oleh  kapitalisme dan dioperasionalisasikan melalui imperialisme. Karena masyarakat belum bisa membebaskan diri dari berhala kebendaan, maka saat ini mereka masih dalam barisan kaum kapital, sebagai predator yang dipelihara para kapital untuk mengkonsumsi seluruh produk mereka. Kemudian selanjutnya secara politik juga dikuasai, sehingga masyarakat kita benar-benar terjajah, selera dan pikirannya.

Di sinilah sebenarnya agama perlu dirumuskan kembali, agar tidak menjadi seperangkat rutinitas, seperangkat sistem ritual yang telah menjadi tradisi, tetapi kehilangan makna spiritualnya, sehingga kehilangan arah dan tujuannya. Agama sekarang ini malah hanya dikaji secara akademik, tetapi semakin jauh dari pengamalan, sebab hanya dijadikan sebagai sistem pengetahuan.

Bagaimanapun agama adalah sistem kepercayaan yang harus dihayati dan diamalkan, sehingga manusia bisa melakukan kebajikan sesuai yang diajarkan agama tersebut. Dengan demikian manusia bisa memperoleh kebebasan dari cengkeraman duniawi, sehingga mendapatkan kebebasan spiritual, mendapatkan kebebasan sosial dan kebebasan bangsa dari penjajahan penjajahan nafsunya sendiri dan penjajahan  bangsa lain yang menguasai hampir seluruh lini kehidupan. (Mun’im DZ).