Bangsa yang berhasil adalah bangsa yang mampu menyiapkan diri dalam mengantisipasi tantangan di masa depan. Dan semakin tidak mudah karena situasi semakin kompleks, semakin banyak faktor yang terlibat dan saling mempengaruhi. Satu faktor kecil yang seolah-olah tak bermakna di tempat yang jauh dari pusat kekuasaan bisa menjadi awal perubahan besar sebagaimana yang terjadi dalam dari Musim Semi Arab. Kejadian yang kini menjadi tragedi bagi banyak negara dimulai dari seorang tukang sayur di Tunisia yang dagangannya disita oleh polisi. Putus asa dengan satu-satunya gantungan hidupnya disita, ia akhirnya membakar dirinya sampai meninggal. Simpati publik muncul yang akhirnya melengserkan penguasa, dan lalu menyebar ke negara-negara lainnya.
Bagi bangsa Indonesia, tahun 2019 merupakan salah satu peristiwa penting berupa penyelenggaraan Pemilu 2019. Situasi yang menentukan perjalanan Indonesia pada lima tahun mendatang, apakah sama seperti saat ini, lebih baik atau bahkan lebih buruk. Dan menjadi jejak yang mempengaruhi perjalanan bangsa ini pada periode-periode selanjutnya. Karena itu, proses tersebut harus dikawal dengan baik agar tidak menimbulkan persoalan yang dapat mengganggu perjalanan bangsa ini di masa mendatang.
Sebagaimana kontestasi politik pada umumnya, masing-masing pihak berusaha dengan berbagai cara untuk dapat memenangkan hati rakyat. Para pendukung militannya pun sedemikian bersemangat mengampanyekan calonnnya. Kadang, dengan cara-cara yang kurang elok, bahkan melanggar hukum seperti menyebarkan hoaks atau kampanye hitam untuk menjatuhkan lawan. Tak mudah untuk menjaga agar semuanya dalam koridor ketika demikian banyak pihak yang terlibat dan kapasitas lembaga pengawas pemilu terbatas.
Yang menjadi keprihatinan banyak orang adalah penggunaan narasi agama dalam kontestasi politik kali ini yang meningkat tajam dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Ada narasi yang dibangun bahwa hanya kandidat tertentu yang memperjuangkan Islam sedangkan kandidat lain adalah orang yang kurang memperjuangkan Islam, bahkan mengkriminalisasi ulama.
Ketika tema besar yang “dimainkan” adalah agama, maka segala macam yang menyangkut aspek agama dibahas publik. Apakah capres bisa menjadi imam shalat atau tidak, bagaimana bacaan Al-Qur’annya, bahkan sempat ada wacana ujian baca Qur’an bagi capres-cawapres. Ucapan selamat kepada agama lain yang merayakan hari rayanya bahkan menjadi ramai diperbincangkan. Padahal mereka adalah calon pemimpin yang harus melindungi semua agama di Indonesia.
Saat yang ditampilkan adalah narasi-narasi agama, maka sisi emosional akan menjadi lebih dominan. Bagi banyak orang, agama adalah inti dari tujuan hidup karena agama tidak hanya menyangkut kehidupan di dunia, melainkan di akhirat. Ketika hal tersebut diusik, maka apa pun akan dilakukan, apalagi sekadar memilih calon yang dipersepsikan memperjuangkan Islam.
Perdebatan dan pembahasan mengenai apa yang akan dilakukan oleh masing-masing kandidat presiden dan wakil presiden pada masalah ekonomi, sosial, politik, dan bidang-bidang lainnya sangat kurang karena kuatnya narasi agama yang terus-menerus diproduksi dan disebarkan melalui melalui jaringan media sosial yang memiliki jangkauan sangat luas dan dengan cepat langsung menjangkau masing-masing individu yang menjadi target. Ketika publik dibombardir dengan narasi-narasi tersebut, lama-lama hal tersebut dianggap sebagai kebenaran dan layak diperjuangkan.
Program terkait dengan pengembangan kehidupan beragama bukannya tidak penting. Penduduk Indonesia merupakan pemeluk agama yang taat, tentu saja upaya-upaya untuk mengakomodasi agar kehidupan beragama berjalan dengan baik sangat penting. Sejumlah UU menyangkut kepentingan umat Islam sudah dibuat seperti UU Zakat, UU Haji, UU Wakaf, UU Perbankan Syariah dan sejumlah UU dan aturan lainnya sudah dibuat. Tetapi kali ini, perdebatan bagaimana kehidupan umat beragama di masa mendatang sebagai narasi-narasi keagamaan yang positif kurang sekali. Hanya berputar pada kandidat tertentu memperjuangkan Islam, yang lain tidak.
Fakta politik di Indonesia membuktikan kuatnya sikap pragmatis partai politik. Partai yang menyatakan diri sebagai partai Islam dengan gampang menjalin koalisi dengan partai yang berideologi sekuler untuk memenangkan kandidat tertentu, yang belum tentu memiliki visi sebagimana diperjuangkan sebagai partai Islam. Dan di waktu yang berbeda, atau di daerah pemilihan lain mereka bersaing. Partai-partai yang sekarang sangat mesra merupakan partai yang saling berbeda kepentingan dan saling menjatuhkan di masa lalu. Tak ada jaminan bahwa kemesraan atau permusuhan yang ada saat ini akan terus berlangsung sebagaimana adanya saat ini. Yang menyatukan adalah kepentingan kekuasaan. Yang menjadi bingung adalah publik umum yang diombang-ambingkan oleh kepentingan jangka pendek para politisi dengan menggunakan agama untuk menarik emosi massa ini.
Di sinilah pentingnya untuk memperjuangkan nalar sehat bahwa ada kepentingan lebih besar dibandingkan politik kekuasaan jangka pendek lima tahunan. Bahwa keragaman dan kejamakan bangsa Indonesia dengan segala rupa ini perlu dijaga dari perpecahan. Agama merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia, tetapi sangat berbahaya jika digunakan untuk memenuhi ambisi politik kekuasaan. Peristiwa kecil bisa menjadi persoalan besar ketika menyangkut masalah agama. Kita bisa belajar dari negara-negara lain yang menggunakan sentimen agama untuk perebutan kekuasaan yang akhirnya berujung pada konflik panjang yang tidak berkesudahan. Menimbulkan kerugian kepada semua pihak.
Menjadi tugas kita semua yang masih mementingkan akal budi untuk mengajak masyarakat menggunakan akal sehat kontestasi pemilihan umum 2019 yang untuk pertama kalinya memilih secara bersamaan presiden, DPR/DPRD, dan DPRD Apa yang terjadi saat ini akan menentukan kondisi Indonesia selama lima tahun mendatang, dan meninggalkan jejak pada perjalanan Indonesia masa-masa berikutnya. (Achmad Mukafi Niam)