Keberadaan media sosial memunculkan cara komunikasi baru berbasiskan internet. Jejaring intenet yang luas memungkinkan terciptanya keterhubungan yang sangat luas menembus batasan geografis. Kini media sosial membantu mempersempit jarak antara santri dan kiai yang hendak bersilaturrahim, baik untuk sekadar berkangen-kangenan, mendapatkan nasihat-nasihat bijak, dan hikmah hidup.
KH Mustofa Bisri dan KH Salahuddin Wahid merupakan pengguna aktif pengguna aktif Twitter dengan pengikut ratusan ribu. Habib Luthfi memiliki fanpage Facebook dengan like hampir dua juta. Ceramah KH Anwar Zahid juga sering tampil di Youtube dan menarik ratus ribu pengunjung. Bahkan ada yang ditonton lebih dari dua juta kali. Para ulama tersebut merupakan gambaran dari upaya pemanfaatan teknologi baru untuk berdakwah. Pesantren kini juga membuat akun-akun media sosial untuk menjaga hubungan dengan memberi kemudahan akses informasi kepada masyarakat dan menjaga keterikatan alumni pesantren yang kini sudah saling berjauhan.
Organisasi kemasyarakatan seperti Nahdlatul Ulama (NU) bergerak lebih maju dengan memanfaatkan teknologi internet dengan membuat website dan media sosial untuk menjalin komunikasi dengan para pemangku kepentingannya. Kebijakan-kebijakan dan kegiatan NU dilaporkan melalui website NU Online dan kemudian disebarluarkan melalui media sosial. Kelebihan media sosial salah satunya adalah adanya komunikasi dua arah. Warga atau simpatisan NU dapat memberi komentar dan masukan di kolom komentar. Jika ada hal dianggap kurang sesuai dengan prinsip dan tujuan organisasi, maka langkah yang diambil oleh pengurus organisasi akan mendapat komentar negatif.
Fasilitas untuk memberikan respon ini bisa menjadi solusi atas problem check and balance di lingkungan NU karena adanya sikap ewuh-pakewuh. Tradisi yang tertanam di lingkungan NU adalah memberi penghormatan yang tinggi kepada para kiai karena mereka telah mendidik dan mengajarkan kepada santri hal-hal yang sangat penting dalam menempuh hidup. Akibatnya, dalam konteks hubungan organisasi yang memerlukan proses pengawalan, ada rasa enggan untuk memberi masukan atau mengkritik kebijakan pimpinan NU yang sebagian besar adalah para kiai. Para aktivis NU yang galak saat mengkritisi kebijakan-kebijakan publik hanya bisa terdiam jika berhadapan dengan para kiai. Aspirasi tersebut kini dapat dengan mudah disampaikan melalui media sosial. Jika opini negatif dari banyak warga NU lebih dominan saat merespon sebuah kebijakan, tentu kebijakan atau tindakan yang dibuat harus dievaluasi ulang. Sudah banyak contoh keberhasilan media sosial untuk memenangkan kepentingan publik di hadapan penguasa, salah satu yang cukup fenomenal adalah pertarungan antara cicak dan buaya, terkait dengan upaya kriminalisasi para komisioner KPK. Hal lainnya adalah tekanan publik atas tuduhan seorang pasien rumah sakit yang menyampaikan keluhan atas pelayanan rumah sakit yang kemudian dianggap melakukan pencemaran nama baik.
Media sosial juga memungkinkan warga NU yang sebelumnya tidak bisa menyampaikan langsung aspirasinya karena tempat tinggalnya di daerah-daerah yang jauh sehingga harus melewati struktur cabang, wilayah dan baru sampai ke pengurus besar agar bisa menyampaikan aspirasinya, kini dengan media sosial bisa langsung memberi masukan atas kebijakan-kebijakan PBNU dalam waktu yang cepat dan seketika. Tentu tetap dengan cara-cara elegan dan akhlak yang mulia.
Satu persoalan penting yang perlu mendapat pengawalan adalah pelaksanaan khittah saat musim momen-momen politik praktis baik di tingkat nasonal maupun daerah. Warga dapat pengawal jika ada pengurus yang berusaha memenfaatkan NU untuk kepentingan politik pribadinya. Teori agen yang digunakan dalam sektor bisnis menjelaskan bahwa para manajer yang merupakan wakil atau agen dari para pemegang saham untuk memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham, seringkali berperilaku untuk memaksimalkan keuntungan dirinya sendiri dengan menggunakan fasiitas perusahaan sementara perusahannya tidak mendapat keuntungan maksimal atau bahkan rugi karena ulah para manajernya. Dalam konteks organisasi teori ini juga berlaku. Para pengurus merupakan wakil atau agen yang dipercaya warga NU untuk menjalankan organisasi sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Mirip dengan perilaku para manajer, ada kemungkinan para pengurus memanfaatkan posisinya untuk kepentingan dirinya, terutama mereka yang duduk dalam posisi pejabat publik sehingga ada konflik kepentingan. Kepentingan mana yang harus didahulukan, apakah kepentingan NU atau kepentingan pribadi dan golongan politiknya? Belajar dari momen pilkada, saat inilah posisi kepentingan NU untuk menjaga khittah seringkali dalam posisi paling rawan. Pengurus lain dan warga NU bisa mengawal NU melalui media sosial ini.
Tidak hanya mengawal NU, seperti tetap menjaga garis khittah saat momen-momen politik, yang tak kalah pentingnya adalah menggunakan media sosial untuk mengawal program-program NU. Dalam muktamar ke-33, tiga program prioritas yang menjadi amanah adalah bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Apakah program tersebut sudah dijalankan dengan baik, seberapa jauh kemajuan yang dicapai, apa saja kendalanya? Dan lainnya. Jika warga NU mengetahui perkembangan tersebut secara transparan, sangat besar kemungkinan mereka untuk mau terlibat dan memberikan dukungan yang diperlukan untuk suksesnya program tersebut. (Mukafi Niam)