Lebaran adalah perayaan terbesar di Indonesia yang dijalani dengan penuh keceriaan. Namun, situasi pandemi ini memaksa kita untuk mengubah tradisi-tradisi yang selama ini kita jalani.
Achmad Mukafi Niam
Penulis
Dalam dua tahun belakangan ini, umat Islam di seluruh dunia merayakan hari raya Idul Fitri dalam situasi pandemi Covid-19 yang belum selesai. Suasana hari raya yang biasanya diekspresikan dengan penuh keceriaan dan kebersamaan terpaksa dijalani dengan penuh keterbatasan demi keamanan bersama. Idul Fitri dipenuhi dengan berbagai aktivitas yang membuat umat Islam berkumpul kini terpaksa dijalani dengan protokol kesehatan yang ketat.
Bagi umat Islam di Indonesia, lebaran identik dengan mudik ke kampung halaman bagi orang-orang yang melakukan urbanisasi ke kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar, dan lainnya. Pemerintah dan seluruh perangkatnya bekerja keras memastikan ritual tahunan ini berjalan dengan lancar tanpa kendala apapun. Pergerakan massa dari Jakarta yang merupakan ibu kota Indonesia yang paling banyak dan menimbulkan persoalan ketika jutaan orang secara bersamaan melakukan mudik.
Shalat Id berjamaah di masjid atau lapangan merupakan salah satu momen paling berarti bagi umat Islam. Sekalipun hukumnya sunah tapi banyak orang menganggapnya sangat penting untuk mengikutinya mengingat hanya diselenggarakan setahun sekali. Mereka yang malas menjalankan shalat rawatib atau shalat Jumat pun sering kali tak ingin meninggalkan shalat Id.
Perayaan Idul Fitri penting lain yang khas Indonesia adalah silaturrahim ke keluarga dekat atau ke lingkungan sekitarnya. Pada saat itu, semua siap untuk dikunjungi tanpa perlu membuat janji atau datang tanpa perlu bertanya. Secara etika, yang muda diharapkan mengunjungi mereka yang lebih tua.
Semua orang berusaha menciptakan kesan terbaik. Baju-baju baru dibeli untuk menyambut tamu atau untuk berkunjung ke sanak-famili; kue-kue lezat disiapkan sebagai suguhan; rumah yang biasanya berantakan, dirapikan menjelang lebaran. Idul Fitri menjadi telah menjadi momen perayaan terbesar di Indonesia.
Berbagai prosesi ibadah dan pertemuan dengan intensitas yang tinggi ini menimbulkan kekhawatiran akan peningkatan kasus Covid-19, karena itu pemerintah melarang mudik dengan melakukan penyekatan di berbagai tempat yang biasanya menjadi jalur transportasi pemudik. Kekhawatiran ini beralasan setelah melihat perayaan agama di India yang kemudian menimbulkan tsunami Covid-19 yang membuat pemerintah India sampai kewalahan mengatasinya.
Demi menjaga keselamatan bersama, tradisi yang selama ini kita jalankan berpuluh-puluh tahun, bahkan dimulai ratusan tahun yang lalu harus dimodifikasi. Ada rasa ketidaknyamanan jika lebaran dilalui tanpa mudik. Karena itu, berbagai cara digunakan untuk bisa mudik ke kampung halaman, sekalipun menimbulkan risiko penularan corona. Apalagi bagi mereka yang hanya punya kesempatan pulang ke kampung halaman saat Idul Fitri karena tuntutan pekerjaan yang tidak dapat ditinggalkan.
Manusia menjalankan berbagai kebiasaan pribadi yang dilakukan secara otomatis tanpa berpikir, banyak tradisi dijalani dan diteruskan dari generasi ke generasi berikutnya tanpa disikapi dengan kritis. Namun, pandemi ini memaksa kita semua untuk mengubah kebiasaan hidup kita sehari-hari, baik sebagai individu atau kelompok demi keamanan bersama.
Dalam hal tertentu, teknologi telah membantu kita mempertemukan yang jauh dan mendekatkan jarak. Komunikasi lewat internet atau media sosial sekarang bisa dilakukan dalam bentuk panggilan video yang memungkinkan peserta melihat wajah lawan bicaranya. Teknologi juga memungkinkan satu forum diikuti oleh banyak peserta. Bagi yang kangen jajanan lokal yang dimakan dalam tradisi lebaran, sekarang semuanya dapat dipesan dengan mudah di lokapasar dan diantar sampai ke rumah.
Yang patut menjadi perhatian adalah dibukanya tempat wisata selama Lebaran. Dikhawatirkan, masyarakat yang tidak dapat pergi bersilaturrahim kemudian menghabiskan waktu di lokasi-lokasi rekreasi. Kepadatan yang ditimbulkannya juga rawan menjadi tempat penularan Covid-19.
Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah pemenuhan tunjangan hari raya (THR) bagi karyawan. Sekalipun dunia usaha sedang mengalami kesulitan, tetapi THR merupakan kewajiban yang harus dibayarkan oleh pengusaha atas hak karyawan. Jika kondisi keuangan benar-benar sulit, sudah ada mekanisme yang diatur oleh undang-undang untuk penyelesaiannya, tetapi hak tersebut harus tetap dibayarkan.
Sementara itu, para pekerja yang telah mendapatkan THR harus bisa memanfaatkan pendapatan tambahan ini dengan bijak. Situasi pendemi menuntut kita untuk bersikap hati-hati dalam mengelola keuangan. Lebaran merupakan hari istimewa yang layak dirayakan, tetapi pengeluarannya harus tetap sesuai dengan kemampuan. Jangan sampai ada di antara kita yang kemudian bangkrut pascalebaran karena ingin tampil istimewa. Bahkan yang cerdas finansial, THR lebaran akan digunakan untuk menambah tabungan atau aset yang bermanfaat di masa depan.
Lebaran adalah perayaan terbesar di Indonesia yang dijalani dengan penuh keceriaan. Namun, situasi pandemi ini memaksa kita untuk mengubah tradisi-tradisi yang selama ini kita jalani. Kasus baru Covid-19 telah mengalami penurunan dan sebagian sudah disuntik vaksin, namun kewaspadaan tidak boleh diturunkan. Kita telah diberi pelajaran oleh peningkatan kasus pasca perayaan keagamaan di India. Jangan sampai kita mengalami hal yang sama ketika tradisi yang membawa kebahagiaan ini berakhir menjadi bencana yang memilukan. (Achmad Mukafi Niam)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Hukum Pakai Mukena Bermotif dan Warna-Warni dalam Shalat
6
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
Terkini
Lihat Semua