Risalah Redaksi

Memaknai Reformasi Sosial Arab Saudi

Jumat, 6 Oktober 2017 | 10:00 WIB

Pemerintah Saudi Arabia baru-baru ini melakukan sejumlah kebijakan yang akan mengubah kondisi sosial secara mendasar. Perempuan yang sebelumnya dilarang menyetir mobil sendirian, dalam waktu dekat akan diizinkan untuk menyetir sendiri. Ini merupakan kebijakan yang menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat Saudi. Di seluruh dunia, hanya di negeri itulah wanita dilarang menyetir mobil sendirian. Perempuan juga sudah mulai diizinkan masuk stadion olahraga dengan menempati sebuah area khusus. Hal lainnya adalah, mulai adanya perempuan yang menjadi deputi wali kota. 

Perubahan kebijakan di negeri yang sebelumnya sangat konservatif dalam memaknai ajaran Islam ini akan berdampak pada mobilitas sosial kaum perempuan. Kaum hawa akan memiliki ruang lebih besar untuk berekspresi di ranah publik dan meningkatkan partisipasinya dalam sejumlah peran-peran yang sebelumnya tertutup. Di masa yang akan datang, mungkin saja diluncurkan kebijakan yang lebih memberi ruang bagi perempuan untuk mengaktualisasikan kapasitasnya atau reformasi lainnya yang mengarah pada pemaknaan ajaran Islam yang lebih moderat. 

Kelahiran kerajaan Arab Saudi merupakan hasil persekutuan antara ulama konservatif Abdul Wahab dengan klan Ibnu Saud. Tak heran, ulama memiliki peran penting dalam penentuan sejumlah kebijakan di negeri kaya minyak ini. Tapi dengan sejumlah perubahan dunia seperti penurunan harga minyak yang merupakan tulang punggung perekonomian Saudi, tak ada pilihan bagi Saudi untuk bisa terus berkembang atau bahkan sekedar bertahan, kecuali dengan melakukan sejumlah perubahan kebijakan yang pada akhirnya harus menyentuh aspek sosial negeri tersebut agar reformasi tersebut bisa berjalan dengan lancar. Kebijakan tersebut adalah Visi 2030.

Apa yang terjadi di Arab Saudi juga mempengaruhi dinamika pergerakan Islam di kawasan lain, termasuk di Indonesia mengingat Saudi merupakan salah satu sumber rujukan ajaran Islam. Berkembangnya wajah Islam konservatif yang beberapa tahun belakangan ini terjadi di Indonesia salah satunya merupakan hasil dari perluasan wahabisme melalui alumni Saudi yang kembali ke Indonesia. Mereka mendirikan pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan, serta rajin menyampaikan gagasannya melalui ceramah d muka publik, di internet, juga merambah media sosial. Wacana yang mengemuka terhadap sejumlah masalah agama seperti isbal, maulid nabi, sampai dengan jenggot, yang sebelumnya sudah meredup itu merupakan akibat dari pertarungan ide tersebut.

Jika Saudi lebih moderat dalam penafsiran terhadap ajaran-ajaran agama, maka para pengikut wahabisme di sejumlah negara kemungkinan juga akan menyesuaikan pendapatanya. Jika Saudi melihat Islam dalam perspektif ke depan, bukan tekstual dan berorientasi masa lalu, maka akan lebih mudah bagi dunia Islam untuk mengarahkan tujuan besarnya guna mencapai kemajuan-kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Perdebatan sejumlah persoalan khilafiyah yang sudah berlangsung berabad-abad telah menguras energi lebih mudah untuk dicarikan titik temu.

Sesungguhnya umat Islam memiliki sumberdaya yang luar biasa yang bisa digunakan menjadi modal untuk kemajuan dan kesejahteran umat. Sayangnya, modal yang sangat berguna tersebut dihabiskan untuk hal-hal yang kurang substansial. Gaya hidup para pengeran yang berfoya-foya dengan limpahan alam yang diberikan menyebabkan tak banyak capaian yang diraih dibandingkan dengan potensi yang dimiliki. Penyelesaian masalah dengan pendekatan militer yang terjadi di negera-negara kaya minyak di Timur Tengah bukan hanya menyia-nyiakan potensi yang dimiliki, bahkan merusak peradaban yang sudah ada. 

Perilaku yang lebih rasional dalam mengelola kekayaan negara di Timur Tengah yang mulai terlihat seperti di Qatar dan Uni Emirat Arab (UEA). Mereka melakukan investasi hasil kekayaan minyaknya pada hal-hal yang lebih produktif agar saat minyak sudah berkurang atau habis, mereka bisa tetap bertahan. Kebijakan ini mulai dicontoh oleh negara-negara teluk lainnya. Ini akan berdampak baik bagi kehidupan umat Islam secara umum. 

Semoga saja, reformasi ekonomi dan sosial yang kini berlangsung di Arab Saudi tersebut bisa berjalan dengan lancar. Jangan sampai pengalaman reformasi politik dalam Musim Semi Arab yang ternyata gagal bahkan menimbulkan permasalahan serius yang hingga kini belum terselesaikan. Umat Islam seluruh dunia berkepentingan akan stabilitas Saudi Arabia mengingat negera tersebut menjadi pelindung dari dua kota suci umat Islam, Makkah dan Madinah. (Ahmad Mukafi Niam)