Risalah Redaksi

Membaca Kekecewaan Jokowi pada Raja Saudi

Jumat, 28 April 2017 | 14:49 WIB

Kunjungan Raja Saudi Arabia Salman bin Abdul Aziz mendapat perhatian luar biasa. Jarang-jarang lawatan sebuah kepala negara mendapat perhatian yang sangat luas dari masyarakat. Persiapan yang istimewa dilakukan untuk kenyamanan Sang Raja. Lift Masjid Istiqlal dipasang baru, demikian juga toiletnya. Di DPR beraneka-ragam bunga didatangkan agar gedung wakil rakyat ini tampak indah dalam menyambut khadimul haramain. Televisi melakukan siaran langsung acara kenegaraan yang dihadiri sang Raja sedangkan media cetak atau daring mengupas berbagai sisi, baik hubungan Indonesia dan Saudi Arabia dari masa ke masa atau tentang figur Raja Salman dan keluarganya. 

Pemerintah berharap kunjungan tersebut tidak sebatas seremoni. Ada harapan lebih besar agar terjalin hubungan yang lebih erat dan kerja sama ekonomi yang menguntungkan kedua belah pihak. Perdagangan Indonesia dengan Saudi cukup erat, terutama terkait dengan impor minyak mengingat Indonesia saat ini sudah mengimpor bersih untuk memenuhi kebutuhan minyak buminya. Total ekspor Indonesia ke Arab Saudi mencapai 1,33 miliar dolar sedangkan impor kita mencapai 2,73 miliar dolar. 2,02 miliarnya berupa produk minyak. Publik, melalui analisis terhadap konten yang diperbincangkan di media sosial, publik menginginkan hubungan yang lebih erat mengingat dua negara ini penduduknya mayoritas Muslim. Apalagi di Arab Saudi terdapat Masjidil Haram dan Masjid Madinah, dua tempat yang paling dihormati umat Islam. Sebagai saudara yang diberkahi kekayaan dari sononya, tanpa perlu bekerja keras, Saudi diharapkan memberi bantuan maksimal atas saudara sesama Muslim yang tidak seberuntung dia.  

Sayangnya, harapan terhadap kerja sama yang lebih erat ini kurang membawa hasil. Presiden  Joko Widodo dalam sambutannya di Pesantren Buntet Cirebon (13/4) secara terbuka menyatakan kekecewaannya atas komitmen investasi Saudi Arabia yang hanya sebesar Rp89 triliun (US$6 miliar), sementara China mendapatkan kucuran dana sebesar Rp870 triliun (US$65 miliar) bahkan Malaysia yang negaranya lebih kecil dari Indonesia mendapat lebih banyak, yaitu sebesar Rp 92,8 triliun atau setara dengan US$7 miliar.

Banyak di antara Muslim Indonesia tampaknya terbuai dengan Saudi Arabia karena sentimen keislaman. Seolah-olah Saudi akan membawa sesuatu yang sangat bermanfaat bagi bangsa Indonesia, sementara di sisi lain, mereka menyatakan ketidaknyamanan dengan China karena stigma ideologi yang dianut oleh negeri tersebut, dan karena penguasaan ekonomi Indonesia oleh etnis Tionghoa yang dari sisi jumlah adalah minoritas.

Lho, ternyata Saudi lebih memilih menanamkan uangnya kepada China daripada Indonesia yang sesama Muslim. Inilah yang tak banyak disadari oleh sebagian Muslim Indonesia yang menempatkan Saudi sebagai patron, sebagai bentuk ideal dalam berislam. Bahwa membantu sesama Muslim adalah di atas segalanya. Faktanya, dana-dana petrodolar yang mereka miliki lebih banyak diinvestasikan di negara-negara Barat daripada negara Muslim.

Saudi berpikir pragmatis dalam melakukan investasi, di mana dana tersebut. Kurang ada kesadaran untuk melakukan kebijakan afirmatif untuk mendukung sesama negara Muslim, sementara di sisi lain ingin disebut sebagai pemimpin bagi negara-negara Muslim. Perilaku yang sama juga dilakukan negara-negara Timur Tengah terhadap dana-dana minyak yang mereka miliki terhadap kebijakan investasinya. Pada rentang 2010-2015, nilai investasi negeri yang dipimpin oleh dinasti Saudi itu hanya US$34 juta atau hanyaa 0,02 persen dari total investasi asing yang mengalir ke Indonesia selama kurun waktu lima tahun itu. Pada 2016, realisasi investasi hanya US$900.000 atau sekitar Rp11,9 miliar.

Jika pendekatannya adalah pragmatis bahwa uang tidak memiliki agama, Indonesia juga tidak bisa mengharapkan kucuran investasi karena sentimen sebagai sesama Muslim. Indonesia harus memperbaiki iklim investasinya, hambatan-hambatan terhadap investasi seperti korupsi yang masih menggurita, birokrasi yang bertele-tele, infrastruktur yang masih belum memadai, dan hal-hal lain harus diperhatikan. Dengan demikian, siapa saja akan datang karena adanya potensi keuntungan yang akan diperoleh. 

Kita memang gampang terbuai dengan kata-kata indah yang menggugah emosi kita. Sejarah perjalanan bangsa telah membuktikan, dahulu kita mendukung Jepang masuk ke Nusantara karena mereka memakai sentimen sebagai saudara tua. Faktanya, penjajahan yang hanya berlangsung selama tiga setengah tahun ini menimbulkan penderitaan yang tak terkira. Indonesia, jika ingin maju, tidak bisa mengharapkan negara atau bangsa lain untuk menolong. Kita yang harus memacu diri kita sendiri untuk memperbaiki apa yang kurang. Kita, berhubungan dengan bangsa lain dalam posisi yang setara, bukan menghamba. Bahkan kalau bisa, menolong negara-negara lain yang selama ini kurang berdaya. Dan itu hanya bisa dicapai jika kita kuat, kita berdaya, dan kita memiliki sesuatu yang bisa menjadi nilai tawar kepada bangsa lain. (Mukafi Niam)