Risalah Redaksi

Menatap 2018 dengan Sikap Optimis

Sabtu, 6 Januari 2018 | 06:00 WIB

Kita kini menjadi semakin cepat melupakan kejadian-kejadian sebelumnya. Teknologi dan informasi yang membanjiri kita setiap harinya memaksa kita reaktif dalam menghadapi persoalan-persoalan yang ada. Upaya melakukan perenungan-perenungan secara lebih mendalam menjadi jarang dilakukan. Akibatnya kita rentan terjebak pada kesalahan yang sama. Kita hanya disibukkan dengan persoalan-persoalan yang sudah ada, bukan mengantisipasi munculnya persoalan. 

Tahun 2017 berlalu dengan sejumlah peristiwa penting yang menjadi perhatian masyarakat luas. Dunia internasional dihadapkan pada masalah pengungsi Rohingya dan kejutan akhir tahun oleh Presiden Trump atas pengakuannya atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Kedua masalah tersebut merupakan rangkaian dari masalah lama dalam dunia Islam yang hingga kini belum menemukan penyelesaian yang komprehensif. Hal baik yang menggembirakan di tahun tersebut adalah dikalahkannya ISIS oleh pasukan Irak. Mantan pasukan ISIS yang pulang ke negaranya masing-masing masih menjadi ancaman atas kedamaian.

Dalam tataran nasional, awal tahun 2017 dibuka dengan lanjutan persoalan Pilkada DKI Jakarta yang telah berlangsung dari tahun 2016. Persoalan ini bukan hanya menjadi perhatian warga DKI yang secara langsung terkait dengan pilkada tersebut, tetapi juga menjadi perhatian masyarakat Indonesia secara umum karena tingginya muatan agama dalam kasus tersebut. Tensi politik menurun setelah Ahok atau Basuki Tjahaja Purnama dihukum penjara. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) akhirnya dibubarkan setelah bertahun-tahun mengkampanyekan Islam transnasional. Hal lainnya adalah adanya konsolidasi kekuatan antara kelompok Islam konservatif dengan partai politik tertentu. Semuanya demi kepentingan politik yang memuncak pada 2019.
 
Bagi NU, persoalan yang menguras energi adalah munculnya Permendikbud No 23 tahun 2017 yang memutuskan pelaksanaan sekolah lima hari dalam seminggu. Dengan cepat para pemangku kepentingan utama madrasah diniyah menolak keputusan tersebut. Berbagai langkah dilakukan sampai akhirnya Presiden Jokowi menggantinya dengan Perpres No 87 tahun 2017.

Tahun tersebut juga diwarnai dengan banyaknya hoaks dan fitnah kepada para tokoh NU yang disebarkan melalui media sosial. Munas dan Konbes NU termasuk salah satu agenda penting organisasi yang membahas sejumlah persoalan. Acara yang berlangsung pada November itu diselenggarakan di Lombok, Nusa Tenggara Barat. NU mampu menjaga hubungan baik dengan pemerintah yang terlihat dari lebih diperhatikannya kepentingan komunitas NU dan seringnya pertemuan antara pemerintah dengan para pimpinan NU dan para ulama serta kiai pesantren. 

Persoalan laten seperti korupsi, narkoba, kriminalitas tetap saja berlangsung dengan intensitas yang tetap tinggi, hanya saja beda tokoh atau tempatnya saja. Kesenjangan ekonomi juga masih menjadi momok yang menjerat banyak sekali rakyat Indonesia. Mereka tidak memiliki modal atau akses untuk mencapai standar hidup layak. 

Pada 2018, isu internasional terkait dengan dunia Islam belum banyak berubah. Kepemimpinan Amerika di bawah Trump yang cenderung kurang ramah terhadap komunitas Muslim akan menambah rumit persoalan yang selama ini sudah pelik. Saudi Arabia di bawah upaya reformasi oleh Putra Mahkota Pangeran Salman yang masih sangat muda juga mungkin memunculkan kejutan-kejutan baru. Indonesia sebagai negara dengan jumlah penganut Muslim terbesar di dunia dapat mengambil inisiatif dan peran-peran strategis untuk kepentingan dunia Islam.  Iran kini juga sedang menghadapi persoalan internal yang belum tahu sampai ke mana ujungnya.

Dalam konteks nasional, sejumlah persoalan akan muncul. Salah satu agenda yang sudah jelas adalah Pilkada serentak sejumlah sejumlah provinsi dan kabupaten/kota. Agenda ini harus diwaspadai mengingat pilkada dari dulu menyimpan berbagai persoalan. Dua hal yang harus diantisipasi adalah politik uang dan penggunaan isu SARA sebagai senjata untuk memenangkan pertarungan yang sangat keras tersebut. 

Ada kelompok dari ideologi tertentu yang dengan sengaja ingin memanfaatkan momentum pilkada tersebut untuk kepentingan ideologinya. Lalu politisi pragmatis yang ingin meraih kekuasaan memanfaatkan kondisi tersebut. Konsolidasi kekuatan melalui sejumlah acara yang digelar bersama, dukungan politik pada tokoh tertentu atau wacana yang dibangun di media sosial tampak sangat nyata. Mereka bertemu dalam satu kepentingan, sekalipun hal tersebut rentan bubar di tengah jalan mengingat sifat politik yang bersedia bekerja sama dengan siapa saja asal menguntungkan. Kelompok ideologis cenderung lebih susah untuk diajak berkompromi jika sudah menyangkut keyakinan yang dimiliki. Ini ancaman bagi harmoni keindonesiaan yang sudah dibangun sejak lama oleh para pendiri bangsa. 

Bagi internal NU, efek dari pilkada yang melibatkan tokoh-tokoh sesama NU yang bertarung dalam pilkada harus diwaspadai. Jangan sampai terdapat upaya-upaya untuk menggunakan kendaraan NU bagi pemenangan salah satu kandidat. Secara formal, sudah tegas bahwa NU tidak berpolitik praktis, tetapi NU juga jejaring kultural dengan patron para tokoh-tokoh tertentu. Di sini pentingnya kedewasaan dari pihak-pihak yang bertarung untuk memahami batas-batas dalam permainan politik tersebut. Jangan sampai hal tersebut menjadi permusuhan setelah pilkada usai. Persoalan-persoalan keumatan akan tetap menjadi fokus dan perhatian utama NU. 

Bangsa Indonesia dari tahun ke tahun terus belajar menghadapi persoalan. Kematangan sikap terlihat dalam merespon sejumlah persoalan. Upaya membangun sistem yang lebih baik harus terus dilakukan. NU juga telah menunjukkan peran yang nyata berbagai persoalan. Tantangan dan persoalan harus disikapi dengan positif dan optimis. Dari situlah kita belajar menjadi lebih matang dan lebih dewasa. (Achmad Mukafi Niam)