Risalah Redaksi

Mendorong Literasi Digital Warga NU

Sabtu, 21 Januari 2017 | 15:20 WIB

Internet sudah menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Tanpa terkoneksi dengan internet, seolah-olah ada bagian yang kurang, bahkan hilang sehingga kita tidak dapat melakukan sesuatu. Tidak memiliki telepon cerdas sudah menjadi problem tersendiri bagi para pekerja atau aktivis karena sebagian pembahasan mengenai pekerjaan cukup dilakukan melalui Wattshap atau Telegram atau sosial media yang lain. Informasi terkini sudah tersedia dengan mudah dalam genggaman.

Internet, memudahkan kita dalam banyak hal, bisa menghemat waktu, belajar lebih cepat, menghemat uang, lebih aman, mencari uang, bahkan mempengaruhi dunia. Tanpa kita sadari, internet telah merubah perilaku kita secara substansial. Banyak orang saat bangun pagi langsung membuka pesan di telepon cerdasnya, mendahului shalat subuh dan mengakhiri aktifitas sebelum tidur dengan mengecek teleponnya sementara sudah lupa untuk berdoa atau bersyukur atas segala berkah yang diberikan Allah pada hari ini. Sudah sedemikian mendalamnya pengaruh internet dalam kehidupan kita.

Data yang diluncurkan oleh sebuah lembaga riset menunjukkan, pada 2016 diperkirakan terdapat sekitar 88 juta pengguna internet di Indonesia. Rata-rata dalam sehari, mereka menghabiskan waktu untuk berinternetan 5.5 jam. Pertanyaan mendasarnya adalah, apakah kita sudah bisa memanfaatkan dunia digital ini dengan baik? Atau jangan-jangan kita yang terjebak dalam dunia digital dengan sekedar menjadi konsumen yang tanpa sadar menghabiskan hidupnya untuk hal-hal yang tidak terlalu penting sementara di sisi lain telah kehilangan nilai-nilai spiritualitas dan kemanusiaan yang hakiki? Dunia digital, telah telah mengendalikan hidup banyak orang, bukan memudahkan untuk mencapai tujuan-tujuan hidupnya.

Di sinilah pentingnya bagi kita sebagai warga NU melek literasi digital, yaitu kemampuan untuk menganalisis, menilai, mengatur dan mengevaluasi informasi dengan menggunakan teknologi digital. Di era tsunami informasi ini, kemampuan tersebut sangat vital mengingat banyak sekali informasi tidak penting atau tidak relevan dengan kebutuhan kita, tetapi beredar luas di internet. Informasi semacam ini, ditulis dengan nada bombastis dan menarik, tetapi tidak berisi. 

Kasus banyaknya berita palsu (hoax) yang tersebar di dunia maya juga menunjukkan rendahnya literasi digital. Tinggi rendahnya literasi digital ini tidak selalu terkait dengan gelar akademik karena ternyata banyak oang berpendidikan magister atau doktor, memiliki tingkat literasi digital yang rendah. Mereka tidak mampu memilih dan memilah atau mengkritisi kebenaran informasi yang mereka terima melalui sosial media. Apa yang dianggapnya sejalan dengan keyakinannya, langsung saja dibagikan di grup-grup sosial media. Akhirnya sosial media dipenuhi dengan informasi sampah, yang bukan hanya tidak penting, tetapi juga bisa menimbulkan kerusakan bagi kehidupan masyarakat.

Upaya menumbuhkan literasi digital membutuhkan perjuangan terutama bagi generasi tua atau digital imigrant, yaitu orang-orang yang mengenal dunia digital setelah mereka berusia dewasa. Hal ini berbeda dengan kelompok digital native yang mana mereka sejak lahir sudah mengenal dunia digital sehingga mampu beradaptasi dengan baik dengan dunia baru. Tetapi jika ingin berkembang dengan baik di era digital, siapapun harus mempelajari hal tersebut dengan baik. Kita bisa mengambil contoh KH Musthofa Bisri atau KH Salahuddin Wahid, meskipun usianya sudah sepuh, tetapi aktif menggunakan dunia maya untuk berdakwah. Akhirnya, dia bisa menjangkau kelompok-kelompok muda yang merupakan pengguna mayoritas sosial media. 

Membatasi akses terhadap dunia digital, sebagaimana yang terjadi di sejumlah pesantren, karena alasan dampak negatif yang ditimbulkan bagi para santri seperti pornografi bukan solusi yang tepat. Yang paling baik adalah bagaimana mengawal para santri agar mereka mampu memanfaatkan internet dengan baik. Toh, selepas dari pesantren, mereka juga akan mengakses internet, bahkan tanpa panduan yang memadai.

Yang perlu menjadi perhatian penting adalah bagaimana memenuhi internet dengan ajaran-ajaran Islam yang baik karena selama ini kelompok ekstrem, yang sebenarnya tidak memiliki pengikut memadai di dunia nyata, memanfaatkan internet untuk menyebarkan nilai-nilai mereka. Jika kita, sebagai pengurus Islam moderat, terlambat atau tidak mengisi dunia maya dengan nilai-nilai yang kita yakini benar, maka wajah Islam di Indonesia secara tidak kita sadari, akan banyak berubah di era mendatang. Kita memiliki ahli-ahli agama yang kompeten, tetapi jika mereka buta terhadap dunia digital, kemampuan yang mereka miliki hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri dan lingkungan terdekatnya. Jika mampu memanfaatkan dunia digital, maka dakwah bisa menjangkau massa tanpa batas. Kita bisa mengisi youtube dengan dakwah yang menyejukkan, kita bisa membuat website yang menjelaskan ajaran-ajaran Islam dengan baik, yang bisa diakses ke seluruh dunia, selama masih ada jaringan internet. Kita bisa menggunakan facebook, instagram, twitter, dan akun sosial media lainnya untuk mendorong kebaikan. Semuanya diawali dengan pemahaman akan pentingnya literasi digital. (Mukafi Niam)