Risalah Redaksi

Mensyukuri 92 Tahun NU, Menatap Masa Depan dengan Optimis

Jumat, 26 Januari 2018 | 13:30 WIB

Pada 31 Januari 2018, NU akan merayakan hari kelahirannya yang ke-92 dalam perhitungan tahun masehi. Di lingkungan NU, peringatan hari lahir diselenggarakan selama dua kali, karena juga diselenggarakan pada perhitungan tahun hijriah, yaitu pada 16 Rajab, yang hingga kini sudah ke-94. Apa pun metode perhitungannya, usia NU sudah lumayan panjang. Sebuah pencapaian yang patut disyukuri bahwa kita masih berdiri dan terus menunjukkan peran-peran yang besar kepada negeri dan umat di Nusantara ini.

Lahir di tengah era persemaian nasionalisme dengan kondisi yang masih sangat terbatas, kini kita sudah masuk ke era desa global dengan segala kecanggihannya. NU tetap setia mengawal dan menjaga eksistensi negeri ini. Beragam tantangan selalu menghadang, bentuknya berbeda-beda sesuai dengan konteks zaman. 

Kiai Hasyim menumbuhkan kesadaran akan pentingnya nasionalisme dengan mengatakan bahwa cinta tanah air merupakan bagian dari iman yang diwujudkan dalam beragam bentuk perlawanan kepada penjajah. Sampai pada bagaimana bentuk negara ini, NU terlibat secara intens dengan para pendiri bangsa ini untuk mengakomodir beragam kepentingan mengingat luasnya pluralitas negeri ini. Resolusi Jihad menunjukkan salah satu peran nyata kalangan santri dalam perjuangan kemerdekaan ini.

Menjaga Indonesia dari ideologi komunis menjadi peran NU selanjutnya. Pertarungan ideologi kala ini menjadi isu utama dan dunia secara umum dalam bentuk perang dingin. Masing-masing blok berusaha memperluas pengaruhnya di dunia. Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan partai komunis dengan pengikut terbesar di dunia yang tidak berkuasa. Sejumlah provokasi digelar oleh partai tersebut untuk memanaskan suasana. Sejumlah langkah dilakukan untuk menguasai negeri ini. Di negara-negara lain, mereka melakukan revolusi berdarah dengan banyak korban. NU, sekali lagi turut berkontribusi dalam menyelamatkan negeri ini dari ideologi yang kini sudah mengalami keruntuhan. Yang banyak negara penganutnya mengalami kegagalan-kegagalan pahit dan kemudian melepaskannya.

Era Orde Baru, ketika rezim berkuasa meminggirkan NU karena ketakutan akan potensi besarnya, NU tetap mengabdikan diri untuk bangsa. Bagi NU berbeda pendapat dengan rezim yang berkuasa bukan berarti melawan negara. NU mendidik masyarakat bawah dengan mengajarkan mereka pendidikan di pesantren-pesantren, membela masyarakat yang terintimidasi oleh kelompok modal dan militer yang berkolaborasi untuk kepentingan usaha, dan memperjuangkan kehidupan yang demokratis dan menghargai hak asasi manusia.

Upaya tak kenal lelah tersebut membuahkan era Reformasi yang memberikan keterbukaan, kebebasan, dan perlindungan kepada nilai-nilai kemanusiaan. Dari posisi pinggiran, NU masuk dalam pusat kekuasaan. Beragam posisi strategis diduduki oleh para kader NU, mulai dari bupati, gubernur, sampai dengan presiden, yang pernah diamanahkan kepada Gus Dur.

Kini, saatnya bagi kita untuk memberi perhatian lebih kepada persoalan ekonomi warga masyarakat. Kesejahteraan terus meningkat, ekonomi terus bertumbuh. Toh, sebagian besar kue ekonomi ini dinikmati oleh kelompok yang secara etnis atau secara agama minoritas. Kesenjangan sendiri sudah merupakan masalah besar yang mengancam harmoni sosial. Dan ketika kelompok minoritas tertentu menguasai sebagian besar aset ekonomi negara, sesungguhnya persoalan besar sedang menghadang negeri ini. Jangan sampai persoalan tersebut meletus menjadi kerusuhan sosial yang menghancurkan tatanan negeri ini, atau mewujud dalam beragam persoalan sosial yang meresahkan masyarakat.

Kita berharap ada distribusi kekayaan yang lebih merata atas aset bangsa ini, siapa pun mereka, dari manapun asalnya. Kemiskinan bisa disebabkan karena dua hal, karena kemalasan dan karena ketiadaan akses. Para penduduk Indonesia merupakan orang-orang yang terbukti rajin dan ulet. Pagi-pagi buta, mereka telah pergi ke sawah dan beraktifitas sampai siang hari. Toh, secara mereka tetap miskin karena kebijakan negara yang tidak berpihak pada mereka. 

Konglomerasi yang tumbuh era Orde Baru yang merupakan hasil kongkalikong antara penguasa dan penguasa kini terus membesar, melahap dengan serakah apa saja potensi yang mereka lihat, menyisakan remah-remah kepada jutaan rakyat yang tersisa. Menghisap keringat buruh sampai tak tersisa. Ketimpangan seperti itu tentu tak bisa diselesaikan dalam semalam, tetapi kebijakan-kebijakan yang memberi afirmasi kepada kelompok-kelompok yang tertinggal akan mengubah tangis menjadi tawa, mengubah duka menjadi suka.

Inilah tugas besar yang menunggu kita. Di bawah bimbingan para ulama, kita optimis bisa melaksanakan tugas besar ini, sebagaimana kita berhasil melewati tantangan-tantangan di masa lalu. Selamat harlah ke-92. Semoga keberkahan selalu bersama kita. (Achmad Mukafi Niam)