Risalah Redaksi

Mitos tentang Hak Asasi Manusia

Senin, 24 Mei 2004 | 23:00 WIB

Saat ini bangsa Indonesia tengah mengukuhkan system kepemimpinan nasionalnya dan salah satu criteria kepemimpinannya adalah mereka yang hormat dan tidak pernah melangar hak asasi manusia. Hal ini bukan hanya agar nanti para pemimpin tidak terbiasa bertindak represif pada rakyat, tetapi konon pemimpin semacam itu akan ditolak oleh masyarakat internasional, khususnya Amerika Serikat  dan sekutunya. Kriterian ini dipegang dengan penuh militansi oleh para aktivis pro demokrasi, dalam benak mereka apalah arti negeri ini tanpa dukungan adikuasa si kampium demokrasi itu.

Tetapi yang terjadi di jagat sebelah sana lain lagi, bagaimana sebuah negara yang mensyaratkan bantuannya dengan pembukaan pintu demokrasi dan penegakan hak asasi manusia, tetapi memiliki kelakuan yang sebaliknya terhadap rakyat  negara lain yang dijajah. Kalau selama ini Amerika hanya membiarkan tentara Israel membantai  para pemimpin formal Palestina. Maka sekarang ini tidak bisa menahan diri untuk melakukan pembantaian secara langsung  terhadap rakyat dunia ketiga khususnya Irak, seperti dulu dilakukan terhadap Viaetnam.

<>

Penjajahan atas Irak dalam bentuk apapun sudah merupakan kriminalitas yang tidak bisa diterima, apalagi dalam pendudukan itu tentara penjajahan melakukan tindakan brutal, tidak hanya pada para pemberontak, tetapi juga kepada rakyat jelata dan anak-anak. Dunia seolah dikejutkan oleh tayangan sebuah satasion televisi mengenai kebrutalan tentara AS dan Inggris terhadap para tawanan perang Irak. Dan seolah publik AS juga terkejut dengan peristiwa itu. Tetapi semuanya hanya pemanis bibir saja, sebab tidak lama setelah itu tentara AS menyerbu sebuah pesta pernikahan yang menewaskan puluhan korban, yang sebagian besar wanita dan anak-anak. Tampaknya kekejaman itu kurang sadis, sehingga harus ditambah lagi dengan membormbardir masjid sehingga menelan puluhan korban.

Kalau selama ini negara maju di Barat mengenal hak asasi manusia dan etika perang serta hukum dan keadilan, maka saat ini mereka membekali para serdadu sekutu itu dengan imunitas terhadap hukum, mereka diperbolehkan bertindak apa saja terhadap rakyat jajahan (Irak) tanpa dikenai sangsi hukum. Maka di sini sangat kelihatan bahwa apa yang namanya demokrasi dan hak asasi manusia tidak lebih dari sekadar alat kaum imperialis untuk menancapkan pengaruhnya untuk memeras dunia ketiga. Di situlah para aktivis yang mengklaim diri sebagai pro demokrasi mesti melakukan refleksi diri, apakah mereka ini sebagai kaki tangan imperialis, atau memang sebagai bentuk komitmen kerakyatan yang sejati. Tetapi rasanya yang belakangan ini kecil sekali, sebab demokrasi dan ham tidak lebih hanya sebuah lapangan kerja di mana mereka bisa hidup dan mengambil keuntungan belaka, terbukti mereka takut dengan risiko dan mereka tak  peduli dengan nasib manusia itu sendiri. (MDZ)