Risalah Redaksi

Nasib Rakyat di Tengah Privatisasi Seluruh Sektor Kehidupan

Senin, 11 Juli 2005 | 10:29 WIB

Kita seolah kaget ketika melihat ketimpangan sosial politik yang terjadi di negeri ini, seolah terjadi salah urus, ketika melihat ekonomi berantakan, politik kacau dan situasi social retak. Semuanya itu terjadi bukan karena kecelakaan, tetapi hasil dari sebuah keputusan yang sadar dan logis, ketika para elite republik ini, baik kalangan parlemen maupun pemerintah, memilih untuk menerapakan sistem liberal dalam segala sector kehidupan.

Walaupun pada awalnya yang diliberalisasi adalah sector ekonomi, tetapi kemudian juga dilanjutkan di sector politik, dan kelihatannya liberalisasi itu belum mantap ketika belum ada liberalisasi di sector agama, yang dianggap sumber moral yang dianggap menghalangi beroperasinya sistem liberal. Inti liberalisme adalah individualisme (privativisme), rasionalisme dan materialisme.

<>

Ketika liberalisasi di sector ekonomi dengan melakukan privatisasi seluruh sector ekonomi negara, maka negara tidak lagi memiliki kepedulian social terhadap warga negaranya. Ketika politik di liberalisasi, maka suara komunitas ditiadakan dijadikan menjadi suara individu dengan sistem one man one vote, telah menghilangkan sistem musyawarah, hilang pula sistem kekerabatan dan kekeluargaan.

Begitu juga ketika agama diprivatisasi, maka agama yang selama ini memiliki fungsi social atau misi profetik, seolah ditolak kehadirannaya, karena tidak boleh masuk ke sector publik. Dengan demikian agama dipreteli perannya, bahkan kemudian agama ditafsirkan sesuai dengan pendangan liberal, yang mengabdi pada sistem kapitalisme pasar, yang tidak menganal ketulusan dan belas kasihan. Hidup dijalankan dengan penuh kompetisi yang kejam, baik dalam mengejar posisi maupun materi. Siapa yang tidak bisa berkompetisi itu salah sendiri dan harus minggir dari kehidupan.

Ketika agama sudah berhasil diprivatisasi semavcam itu, maka sempurnalah operasi sistem liberal, maka tidak mengheranakan ketika di tengah kemakmuran ini banyak orang yang kelaparan. Di tengah melimpahnaya sumber daya alam, ini masyarakat kekurangan bahan bakar.

Negara akhirnya sama sekali tidak boleh mengurusi sector publik, dan hal itu dianggap sebagai kelaziman, maka tidak aneh kalau ditengah penderitaan rakyat yang miskin dan lapar, putus kerja, putus sekolah, tiba-tiba kalangan pejabat tinggi negara mendapatkan hibah luar biasa, baik kenaikan gaji yang berlipat-lipat hingga mencapai puluhan juta, itupun masih ditambah bonus gaji ketiga belas yang jumlahnya belasan juta.

Sekali lagi semuanya itu tidak terjadi secara kebetulan, tetapi sangat terencana, sehingga para wakil rakyat seenaknya nemnaikkan gajinya sendiri di tengah kesengsaraan konstituennya. Dana yang semestinya untuk kesejahteraan publik diprivatisasi untuk kepentingan pribadi. Kalau mereka digugat, akan menjawab keputussan itu diambil secara prosedural. Memang benar secara prosedural, tetapi prosedur yang dijalankan berdasarkan komplotan untuk menjarah fasilitas rakyat, maka tidak aneh kalau rakyat menjdi korban kerakusan para elite dengan berbagai dalih yang dibuat-buat. Karena itu meski mendapat protes keras dari masyarakat, namun tetap dijalankan, karena kepantasan, apalagi rasa malu tidak lagi dimiliki.

Bila sistem liberal yang mengabdi pada individu yang kemudian diterjemahkan menjadi  privatisasi seluruh sektor kehidupan itu dibiarkan maka seluruh rakyat akan menjadi korban. Padahal semua yang ada di republik ini adalah rakyat, jabatan hanya sementara maka seluruh warga negara yang elit maupun yang jelata akan menerima akibatnya. Karena irtu sistem itu yang harus dirombak, karena terbukti sistem liberal yang diterapkan ini tidak bisa dibenarkan secara moral. (a. munim dz)