Risalah Redaksi

Nasionalisasi versus Pivatisasi

Rabu, 22 November 2006 | 10:02 WIB

PEMBANGUNAN difahami sebagai upaya mengisi kemerdekaan yang telah diperjuangkan. Langkah pertama dalam proses pembanguna itu adalah pembentukan pemerintahan yang solid. Pemerintahan yang solid itulah yang diharapkan mampu menjamin kesejahteraan rakyat dengan melakukan pembangunan ekonomi di segala sektor. Pada masa penjajahan seluruh sektor ekonomi dikuasai swasta asing. Namun setelah pemerintah Belanda enyah bersamaan dengan munculnya  kemerdekaan, aset tersebut masih mereka miliki.

Walaupun usia pemerintah saat itu masih sangat muda, tetapi mereka didorong oleh semangat revolusi untuk membebaskan rakyat, maka mereka dengan gagah berani melakukan nasionalisasi perusahaan asing, sejak mulai dari perbankan, transportasi,  pertambangan termasuk perdagangan. Langkah itu tidak mudah, sebab setiap kali ekspor, pemerintah Indonesia dituduh sebagai penyelundup barang haram, sebab barang tersebut dianggap milik Belanda dan asing lainnya.

<>

Kekuatan diplomasi dan militer secara bertahap mampu mengeliminir opini seperti itu. Akhirnya Indonesia menjadi negara muda yang disegani, mampu menciptakan sistem ekonomi yang relatif stabil, seluruh kebutuhan pendidikan, birokrasi pemerintahan, transportasi dan militer bisa dicukupi sendiri secara relatif. Seluruh sektor  strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak benar-benar dikuasai negara, sehingga hasilnya bisa benar-benar digunakan untuk kepentingan rakyat banyak. Meski ada koruposi, tetapi rakyat masih mendapatkan porsi yang memadai. Ribuan sekolah dibangun, jalan raya dibentangkan dan puskesmas berdiri di setiap desa, melayani kesehatan rakyat.

Tetapi langkah itu berbalik, ketika liberalisasi diperkenalkan, maka negara tidak boleh mengurusi banyak hal, ternmasuk bidang ekonomi, akhirnya satu demi satu perusahaan yang dulu dengan susah payah dinasionalisasi, kini diswastanisasi atau tepatnya diinternasionalisasi. Akibatnya penerimaan negara menjadi berkurang, sehingga tidak bisa menyantuni rakyat bahkan tidak nisa membeayai dirinya sendiri seperti beaya bidang pertahanan, birokrasi dan Pemilu.

Bahkan sekarang ini seluruh bidang sudah diswastanisasi. Celakanya, kalau dulu swasta adalah swasta pribumi, maka sekarang ini yang dominan adalah swasta asing. Seluruh aspek kehidupan, mulai dari perbankan, transportasi, pelabuhan laut dan udara, kesehatan, bisnis eceran, industri dan jasa sejak dari tukang sapu, tukang cuci, kurir. Semuanya dikuasasi asing. Akibatnya peluang rakyat Indonesia semakin tergusur.

Sangat ironis kalau selama ini pemerintah dengan lantang hendak memberantas kemiskinan, tetapi langkah yang diambil justeru mengarah pada proses pemiskinan.  Belum lama ini pelabuhan mulai diswastanisasi, kemudian bandara. Kalau langkah itu dilakukan negara tidak bisa lagi menentukan tarif dan menjaga penyelundupan termasuk menjaga keamanan negara. Kalau semua sektor  telah diberikan asing, peluang usaha bagi rakyat Indonesia tertutup, karena mereka lebih banyak modal, dan lebih kuat manajemen, belum lagi lebih tega dalam melakukan eksploitasi dan manipulasi termasuk mengemplang pajak.

Kalau dulu Bang Kumis, Bu Surti atau Kang Maman masih leluasa membuka warung makan, atau kedai kopi dan tukang cuci. Sekarang perusahaan warung raksasa sejak dari Kenthucky, A&W Mc Donal lebih kuat bertengger. Demikian Kopi Bu Surti kalah marak dibanding Starbuck yang terdapat di setiap sudut kota dengan konsumen yang membeludak.

Pemerintah tidak menyisakan peluang bagi warga negara sendiri untuk melakukan usaha, dengan disuruh bersaing dengan pihak asing yang dibiarkan menjarah seluruh kesempatan bangsa ini. Program peningkatan kewiraswastaan yang dulu sangat digencarkan seolah tidak berguna sekarang, sebab saat ini bangsa ini lebih dipersiapkan untuk menjadi pelayan dari perusahaan asing dengan gaji murah.

Melihat kenyataan ini, maka pemiskinan akan terus terjadi dan akan terus semakin membesar. Bahkan ke depan kemiskinan akan dialami oleh kelompok terpelajar, ketika harus masuk dalam manejemen perusahaan asing yang semakin efisien, yang mulai menggeser peran mereka, mereka akan kehilangan lapangan kerja. Hal itu dengan sendirinya akan mendorong terjadinya pemiskinan massal.

Ini tentu berlawanan arah dengan langkah yang ditempuh beberapa negara di Amerika Latin dan beberapa negara merdeka yang justeru berusaha melakukan nasionalisasi perusahaan asing untuk untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat mereka. Sementara pemerintah kita sedang giat-giatnya melakukan swastanisasi dan internasionalisasi perusahaan nasional, padahal jelas langkah tersebut telah menyengsarakkan rakyat. Pertama rakyat kehilangan peluang  usaha, kedua hasil usaha mereka akan dibawa ke negera mereka untuk membeayai berbagai kegiatan seperti oleh raga, konser musik, riset luar angkasa dan ilmiah lainnya, yang hasilnya akan dijual kekita dengan harga mahal, karena kita tidak mampu membeli tunai lalu menghutang dengan bunga tinggi, sehingga kita tidak bisa melunasi.

Selu