Di tengah-tengah program privatisasi (swastanisasi) atau penjualan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang masih terus akan dilakukan, masih ada pertanyaan yang belum terjawab terkait dengan program itu. Pertanyaan yang mungkin merata di benak kita masing-masing itu seputar tujuan dari privatisasi BUMN. Jika sekedar jawaban, memang, tanpa ditanya pun, dalam setiap perencanaan penjualan BUMN, serta merta pemerintah dalam hal ini kementerian negara BUMN memberikan jawabannya. Umumnya pemerintah menjelaskan, bahwa penjualan itu untuk memenuhi target penerimaan APBN. Benarkah demikian? Jika dalam mengatur ekonominya sebuah pemerintahan mengambil jalan yang pragmatis, lantas untuk apakah pelajaran yang selama ini diberikan dalam teori-teori ekonomi.
Terhadap jawaban yang umum itu, kita memang ragu. Sebab tidak sembarang orang bisa didudukkan sebagai menteri perekonomian, baik itu Menko-nya, Menkeu-nya, atau Menperindag-nya. Mereka dipercaya bukan hanya rekomendasi dari partainya atau politisi yang berpengaruh di sini. Mereka ditunjuk pasti karena pengetahuan tentang teori dan kemampuannya dalam memecahkan masalah perekonomian selama ini.
<>Namun dalam urusan duniawi, keyakinan kita atas kemampuan kinerja ekonomi para menteri ekonomi tersebut harus dilihat dari kinerja mereka selama ini. Layaknya, rumah tangga kecil, seorang kepala dan ibu rumah tangga memikirkan cara menghasilkan pendapatan untuk menjalankan roda rumah tangga. Bila seorang pegawai, tentu dari gaji bulanan pendapatan diperoleh. Sama halnya dengan pengusaha, dari usaha ekonominya, pendapatan diperoleh. Bila hasilnya dalam satu bulan misalnya, kepala dan ibu rumah tangga menghasilkan pendapatan sebesar Rp 1 juta, maka mereka tidak akan membelanjakan semua penghasilan dalam bulan itu.
Umumnya untuk bisa membangun masa depan, uang Rp 1 juta mungkin hanya perlu dibelanjakan Rp 500 ribu atau paling maksimal Rp 750 ribu. Atau kalau pun harus membelanjakan semua, dalam rangka membiayai pendidikan seorang anaknya, maka bukan tidak mungkin diperlukan penjualan salah satu alat produksi, bisa salah satu dari dua bidang sawah, misalnya. Namun demikian, bukan berarti menjual sawah untuk menutupi kekurangan biaya belanja kemudian harus kehilangan alat produksi itu selamanya. Biasanya dengan tekun masyarakat pedesaan kemudian menggunakan sisa uang hasil penjualan untuk modal ngobyek atau modal usaha dengan tujuan untuk membeli kembali sebidang sawah yang telah dijual.
Kenyataannya, selama ini yang dilakukan para menteri ekonomi tidak lebih kreatif, kalau tidak bisa disebut kurang kreatif dibanding cara rumah tangga kecil membangun masa depan mereka. Sejak Orde Baru, apa yang dilakukan pemerintah yang berkuasa hingga saat ini dalam membiayai roda pemerintahan tidak jauh dari Menghutang setinggi-tingginya, dan Mengangsur hutang jauh lebih rendah, Membuat kebijakan devisit APBN (sebenarnya disamping untuk membayar bunga hutang, selebihnya hanya untuk memenuhi kebutuhan gaya hidup pejabatnya dibanding untuk rangsangan atau stimulus ekonomi, seperti mobil mewah atau built up yang harganya miliaran rupiah, dan diimpor menggunakan mata uang asing sehingga menguras devisa), Pembengkakan biaya perjalanan dinas dan untuk dikorupsi. Selain itu, privatisasi yang maknanya dipersempit menjadi penjualan BUMN.
Fenomena manajemen APBN tersebut sudah menunjukkan, bahwa pemerintahan yang berkuasa sering kehilangan kendali, karena tidak bisa mempertanggungjawabkan bagaimana dana pinjaman luar negeri dan dalam negeri justru bisa menghasilkan pendapatan yang sama atau lebih besar. Diduga semua itu terjadi karena mereka cenderung mengutamakan kebutuhan gaya hidup, korupsi dalam bentuk memberikan alokasi lebih besar untuk tunjangan dinas tidak dapat dihindarkan. Sebaliknya belanja rakyat seperti kesehatan, dan pendidikan diberikan alokasi lebih kecil.
Bisa dimaklumi, jika negara tidak dapat mengontrol praktik korupsi yang dilakukan dengan cara lebih pintar seperti di atas. Ternyata terhdap praktik korupsi yang lebih kasar pun negara tidak mampu berbuat apa-apa. Memang, korupsi bisa dikatakan sudah menjadi kebiasaan umum para pejabat atau birokrasi.
Akibatnya, jalan raya yang diperbaiki dengan dana miliaran, hanya dalam beberapa bulan sudah rapuh dan berlubang. Bagi kalangan birokrasi yang biasa dengan praktik korupsi model ini, tentu mempertanggungjawabkan uang rakyat dianggap bukan bagian dari tugas mereka. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa perbaikan jalan tidak perlu sempurna atau kuat, karena dengan mutu yang buruk namun dengan anggaran yang besar, diharapkan semua bisa kebagian proyek serupa.
Akibatnya, rakyat tak kunjung dapat dientaskan dari jeratan kemiskinan. Sementara pinjaman luar negeri telah mencapai 130 milliar dollar AS. Itu baru hutang pokok, belum bunga, dan total hutang dalam negeri dalam bentuk penerbitan obligasi rekap dan Surat Utang Negara atau SUN.
Meski demikian, hingga saat ini, kita belum melihat usaha sadar dari semua pemerintah yang berkuasa untuk membuat pendapatan dalam APBN menjadi lebih ekonomis, dan mendayagunakan dana hasil pinjaman luar negeri untuk merangsang pendapatan masyarakat dan negar
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Jagalah Shalat, Maka Allah Akan Menjagamu
2
Khutbah Jumat: Mengenal Baitul Ma’mur dan Hikmah Terbesar Isra’ dan Mi’raj
3
Paduan Suara Yayasan Pendidikan Almaarif Singosari Malang Meriahkan Kongres Pendidikan NU 2025
4
7 Penerima Penghargaan Pesantren dalam Malam Anugerah Pendidikan NU
5
Kongres Pendidikan NU 2025 Akan Dihadiri 5 Menteri, Ada Anugerah Pendidikan NU
6
Pemerintah Keluarkan Surat Edaran Pembelajaran Siswa Selama Ramadhan 2025
Terkini
Lihat Semua