Risalah Redaksi

Para Penghafal Al-Qur’an, Penjaga Otentisitas Kitab Suci

Jumat, 11 Mei 2018 | 07:15 WIB

Para Penghafal Al-Qur’an, Penjaga Otentisitas Kitab Suci

Ilustrasi (NU Online)

Gairah untuk menghafal Al-Qur’an atau menghatamkannya secara bersama-sama dalam beberapa tahun belakangan ini meningkat drastis. Pesantren tahfidz marak didirikan di mana-mana dan keinginan untuk masuk ke dalamnya juga kuat. Para remaja dengan penuh semangat dan dorongan penuh dari orang tuanya menghabiskan masa-masa emasnya untuk menghafalkan firman suci ini sementara teman sebayanya hanya menghabiskan waktu untuk bermain-main. Perlombaan hafalan Al-Qur’an juga digelar di banyak tempat dengan jumlah peserta yang semakin hari semakin meningkat.

Kegiatan membaca dan menghatamkan Al-Qur’an secara bersama-sama populer dengan sebutan one day one juz (ODOJ), yaitu sekelompok orang yang setiap hari menghatamkan 30 juz Al-Qur’an dengan sistem pembagian satu orang membaca satu juz. Biasanya mereka adalah kelompok pengajian, komunitas dalam satu lingkungan, atau anggota sebuah keluarga besar. Media sosial membantu mengoordinasi kegiatan ini agar bisa berjalan dengan baik sekalipun para anggotanya berjauhan. 

Fenomena baru tersebut tentunya harus kita apresiasi, bahwa di tengah-tengah kecenderungan umum menyibukkan diri dengan internet, media sosial dan beragam hiburan yang melenakan, masih ada orang-orang yang dengan tekun menyisihkan sebagian waktu untuk mengaji Al-Qur’an. Yang menemukan oase spiritualitas dengan membaca kalam ilahi. Tidak mudah untuk bisa konsisten dari hari ke hari untuk secara rutin membaca Al-Qur’an, apalagi menghafalkan sebanyak 30 juz. 

Dalam keyakinan banyak orang, bahwa membaca Al-Qur’an merupakan kegiatan berpahala. Tentu itu benar adanya karena banyak sekali dalil yang menjelaskan keutamakan dalam membaca Al-Qur’an. Tradisi yang berjalan selama Ramadhan adalah bertadarus seusai shalat Tarawih, yang selama sebulan penuh menghatamkan Al-Qur’an selama beberapa kali. Tentu ini didasari keyakinan bahwa membaca Al-Qur’an selama Ramadhan mendatangkan banyak pahala. 

Selanjutnya adalah bagaimana agar tradisi yang sudah berjalan dengan baik ini bisa kita tingkatkan kualitasnya. Bagaimana dari sekadar membaca ayat-ayat berbahasa Arab yang tidak dipahami artinya, bisa mulai mengarah dengan mempelajari tafsir dan maknanya. Ini merupakan pekerjaan besar mengingat Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab yang bukan merupakan bahasa ibu kita. Belum lagi jika ingin mempelajari ilmu-ilmu pendukung lain agar bisa memaknai dan menafsirkan Al-Qur’an dengan baik.

Sama dengan upaya membaca Al-Qur’an, mempelajarinya membutuhkan sikap istiqamah atau konsistensi, bahkan lebih berat lagi karena memerlukan upaya berpikir lebih keras. Tetapi dengan sikap istiqamah ini, hal-hal kecil yang kita lakukan setiap hari akan terakumulasi. Pengetahuan tentang Al-Qur’an yang dipelajari setiap hari akan terus meningkat dengan berjalannya waktu. Sungguh sayang jika kita sudah cukup puas hanya dengan membaca satu juz setiap hari, dari tahun ke tahun seperti itu tetapi tanpa pengetahuan yang bertambah mendalam tentang Al-Qur’an itu sendiri. 

Kini saatnya mulai mengkampanyekan bagaimana agar kualitas kita dalam mempelajari Al-Qur’an semakin meningkat. Tahap pertama tentunya adalah mempelajari bahasa Arab yang merupakan bahasa Al-Qur’an sehingga kita memahami arti dari ayat-ayatnya. Selanjutnya bagaimana mempelajari ilmu-ilmu pendukung dalam menafsirkan Al-Qur’an karena kitab suci tidak bisa dibaca secara tekstualis. Ada asbabun nuzul yang menjadi dasar turunnya ayat tersebut, ada hadist terkait sebagai penjelas sebagai ayat mengingat Al-Qur’an sifatnya makro, ada keterkaitan dengan ayat lain, ada aspek terkait ilmu bahasa Arab, dan lainnya. 

Untungnya dukungan yang diberikan oleh institusi pendidikan bagi penghafal Al-Qur’an kini cukup tinggi. Sejumlah perguruan tinggi memberikan beasiswa bagi para penghafal Al-Qur’an. Tentu ini didasari alasan bahwa hanya orang-orang istimewa yang mampu menghafal Al-Qur’an dan karena itu mereka layak untuk terus dikembangkan potensinya. Ada banyak aspek pengetahuan yang bisa digali dalam Al-Qur’an, bukan hanya pengetahuan terkait agama saja, tetapi juga sains secara umum. Dengan demikian, hal tersebut dapat meningkatkan iman kita kepada Allah. 

Selain perguruan tinggi, pesantren-pesantren Al-Qur’an juga membebaskan para santrinya untuk biasa hidup selama di pesantren. Ini menunjukkan komitmen masyarakat akan pentingnya Al-Qur’an dan mendukung orang-orang yang bersedia mengabdikan dirinya untuk mempelajari dan menjaganya. 

Menghafal Al-Qur’an merupakan aktivitas yang berat dan menjaga agar tetap hafal merupakan hal yang lebih berat lagi. Dibutuhkan konsistensi untuk setiap hari mengulang hafalan pada bagian tertentu. Hanya orang-orang dengan kualitas tertentu yang mampu menjaga hafalan dengan baik. Butuh energi besar untuk memastikan semuanya berjalan sesuai sesuai dengan ketentuan. Para penghafal Al-Qur’an karena itu butuh dukungan keuangan yang memadai agar bisa hidup dengan layak sembari menjaga agar sinar-sinar Al-Qur’ani tetap memancar. 

Umumnya para penghafal Al-Qur’an adalah para ustadz/ustadzah yang dihidupi oleh masyarakat dengan peran-peran keagamaan yang mereka jalankan di lingkungan mereka. Banyak pula yang menjalankan aktivitas pekerjaan normal dan kemudian menyisihkan sebagian waktunya untuk menjaga hafalannya. Semua itu membutuhkan komitmen besar dan sudah selayaknya kita dan masyarakat secara umum memberi dukungan agar mereka dapat tetap menjaga Al-Qur’an dengan baik. (Achmad Mukafi Niam)