Risalah Redaksi

Parade Kemiskinan

Sabtu, 22 Oktober 2005 | 11:46 WIB

Ketika terjadi krisis ekonomi 1997 orang masih berharap bahwa dengan tumbangnya rezim Soeharto lalu digantikan rezim baru yang demokratis dan tidak korup, persoalan ekonomi akan segera teratasi. Recovery ekonomi sebuah harapan yang sangat meyakinkan yang pasti akan dicapai. Memang benar bebarapa saat setalah krisis itu kebutuhan pokok mulai banyak tersedia, dan harga barang kembali normal. Bahkan tidak sedikit sektor usaha rakyat meraup untung besar di tengah naiknya harga dollar.


Tetapi dalam kenyataannya rezim berganti rezim berkuasa, keadaan rakyat tidak semakin baik, melainkan semakin menderita. Harga kebutuhan pokok dan transportasi terus meningkat. Demikian juga biaya pendidikan dan kesehatan semakin mahal. Dalam hal ini negara yang menanggung beban semua krisis itu juga membutuhkan dana besar, yang ditempuh dengan menjual berbagai perusahaan strategis yang dimiliki.

<>

Penjualan asset atau swastanisasi perusahaan negara itu, semakin memperlemah posisi negara dan posisi rakyat, karena negara tidak lagi punya sumber pendapatan untuk mensejahterakan rakyat, semua harta kekayaan telah dikuasai pihak asing, yang datang bukan untuk melayani, tetapi untuk merampas dan berdagang, seperti halnya kompeni di masa lalu.

Bagi pemerintah yang masih kepedulian rakyat, maka mesti berjuang keras memgatasi problem kenegaraan itu. Tetapi bagi pemerintah yang hanya mencari keuntungan bisnis dan kekuasaan, maka mereka tidak mau repot memikirkan rakyat. Mereka lebih menyantuni para elite dan pengusaha kaya, maka untuk memenuhi kebutuhan negara mereka denagn seenaknya menaikkan harga BBM yang katanya untuk mensejahterakan rakyat.Tetapi dalam kenyataannya malah menumbuhkan kemiskian. Sebuah ironi kalau antrean panjang penerima dana kompensasi selalu dibanggakan pemerintah karena peduli mereka, padahal kenyataan itu tidak lebih merupakan parade kemiskinan.

 

 Ribuan rakyat yang tadinya berkecukupan karena kebutuhan pokok naik, gara-gara kenaikan BBM, tiba-toba menjadi miskin, apalagi yang miskin menjadi semakin tidak berdaya. Kenaikan BBM bukan semata kebijakan pemerintah dalam negeri, melainkan merupakan kebijakan asing, baik IMF Bank Dunia maupun kongsi minyak internasional.


Karena memerintah Indonesia hampir tidak memiliki kedaulatan, maka mengikuti apa yang menjadi kemauan asing, akhirnya kebijakan yang menyengsarakan rakyat itu diambil. Padahal banyak kebijakan yang bisa ditempuh tanpa harus mengorbankan nasib mayoritas rakyat, seandainya pemerintah punya kekuasaan.
Melihat hilangnya kedaulatan negara untuk mengatur dan mensejahterakan rakyatnya sendiri karena seluruh sektor strategis baik politik apalagi ekonomi di kuasai penjajah, maka sangat tepat kalau hari ini 22 Oktober Warga NU memperingati Deklarasi Resolusi Jihad yang pernah diproklamirkan 60 tahun yang lalu sebagai titik tolak untuk melawan imperialisme yang menjajah negeri ini di segala sektor kehidupan.

Tuntutan kelompok ini untuk menolak segala bentuk pemaksaan paham dan pemikiran kolonial bisa dimengerti, sebab pikiran yang menyengsarakan rakyat tersebut telah menggejala di kalangan bangsa Indonesia, karena pikiran tersebut diajarkan melalui sekolah dan diterapakan dalam berbagai keputusan hukuk, peraturan dan undang-undang.


Menasionalisasi sektor strategis negara yang dikuasai asing, merupakan langkah stragetis yang harus dilakukan pemerintah, agar sumber daya alam dan manusia yang ada bisa digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Ketika UUD 45 diamandemen, oleh kelompok kolonial, maka pasal yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat tersebut dihapus agar imperialisme bisa beroperasi secara leluasa. Maka gerakan pembuatan undang-undang kolonial dengan segala persekongkolannya itu harus ditolak, karena setiap pembentukan undang-undang tidak mengacu pada keadilan dan kebenaran, melainkan sebuah perdagangan kepentingan yang dilakukan oleh aparat kolonial dengan para pengkhianat bangsa ini. Resolusi jihat NU menolak semua bentuk kolonialisme yang menyengsarakan rakyat dan menghancurkan negara itu.

(Abdul Mun’im DZ)