Risalah Redaksi

Pasal Keulamaan

Jumat, 16 Juni 2006 | 15:45 WIB

Bagi seorang ulama, ilmu merupakan salah satu sifat yang melekat padanya karena itu ulama juga digolongkan sebagai scholar (terpelajar), namun bukan satu-satunya, karena lebih jauh, seorang ulama lebih ditentukan oleh kedalaman rohaninya dan itupun masih harus diwujudkan secara nyata di lingkungannya dalam bentuk integritas moralnya. Adalah suatu kenyataan yang aneh ketika terjadi kelangkaan ulama, maka yang ditekankan bukan bagaimana memfasilitasi lahirnya ulama, tetapi definisi ulama itu yang digeser, ulama kemudian dikategorikan sebagai sejenis keahlian.

Dengan demikian yang disebut ulama adalah mereka yang ahli ekonomi, ahli matematika, ahli biologi dan sebagainya. Memang arti generik (lughawi) ulama adalah ilmuwan, tetapi makna ishtilahi bukan seperti itu, karena itu ulama berbeda dengan sarjana, barangkali bisa seorang ulama bergelar sarjana atau sebaliknya seorang sarjana memiliki kualitas keulamaan, tetapi tidak dengan sendirinya keduanya bisa serta-merta disamakan, sebab ulama memiliki bab dan pasal tersendiri.

<>

Ketidaksamaan ulama dengan sarjana itu jelas sejak bagaimana keduanya dibentuk, seorang ulama mencari ilmu sebagai sebuah bentuk ibadah, karena itu cara mencarinya bukan dengan sekadar belajar dan meneliti, tetapi disertai dengan berbagai bentuk riyadloh, dengan selalu ber-taqarrub dan mencari nur dari Allah. Maka seorang ulama tidak hanya memiliki ilmu tetapi memiliki ngelmu (kaweruh). Sehingga tidak hanya mengetahui dimensi lahir dari sebuah realitas, tetapi juga mengetahui dimensi batinnya. Selanjutnya ilmu dan kaweruh yang diperoleh dituntut untuk segera disampaikan pada masyarakat sebagai sebuah bentuk pengabdian.

Sementara sarjana mengembangkan ilmu berdasarkan semangat kritisisme, meragukan semua hal, baru menguji kebenaran tersebut secara nalar. Dengan demikian keilmuan bukan sebuah cahaya ketuhanan melainkan sebuah sistem penalaran. Penalaran yang dikembangkan berdasarkan realitas empirik yang fisik dan material. Yang kemudian disebut dengan empirisme dan positivisme. Sementara berkecendrungan menolak realitas metafisik. Maka pengetahuan seorang sarjana cenderung bersifat juziyat (disipliner) sementara pengetahuan seorang ulama lebih bersifat kulliyat (supra-disipliner), karena yang bertama bersifat analitik tetapi yang kedua bersifat reflektif.

Ketika politik etis kolonial yang memperkenalkan sekolahan pada pribumi, kemudian seluruh lembaga pendidikan nusantara yang selama ini melahirkan ulama, pujangga dan rohaniawan pada umumnya, oleh Belanda digolongkan sebagai sekolah liar, maka satu persatu jenis pendidikan adilihung itu dilenyapkan diganti dengan sistem sekolah yang amat ketat. Dari situlah keulamaan dan kepujanggaan yang menguasai ilmu dan kaweruh diganti dengan kesarjanaan yang hanya memiliki penguasaan keilmuan.

Karena seorang ulama mencari dan mengembangkan ilmu sebagai pengabdian, maka ia terus mengabdi, menguntungkan atau tidak, sementara seorang sarjana sebagaimana dididik belanda adalah seorang profesional, karena itu berpikir fungsional dan komersial, karena yang bisa membayar hanya sistem kolonial, maka mereka menjadi aparat kolonial yang disebut dengan ambtenar. Tidak hanya dulu sekarang juga sama saja, jarang sarjana yang benar-benar mau mengabdi pada masyarakat.

Sementara para ulama disingkirkan dari pergaulan politik karena tidak mau menyesuaikan dengan tradisi Belanda. Maka dikotomi antara ulama dan sarjana menjadi semakin lebar bahkan mengalamai ketegangan antara keduanya, karena elemen kolonialnya belum dieliminir. Ironisnya perguruan tinggi Islam juga belum bisa menjembatani kesenjangan itu, bahkan perguruan tinggi Islam masih merupakan kepanjangan tradisi sekolah yang hanya mengutamakan penalaran dengan mengabaikan perenungan dan penghayatan.

Walaupun sudah agak langka tetapi sampai saat ini pesantren masih merupakan sumber utama keulamaan. Hanya sayangnya dengan standar formal yang ada dengan gelar akademis yang sangat ketat dan berstrata itu sering kali keulamaan diabaikan, walaupun mereka memiliki kualitas kesarjanaan yang memadai bahkan di atas para sarjana. Karena itu dalam forum konferensi scholar internasional yang menampilkan beberapa ulama pesantren dan perguruan tinggi itu diharapkan bisa dijadikan sebagai forum untuk mengapresiasi keberadaan ulama.

Hingga saaat ini hanya kalangan NU yang memiliki banyak pesantren sebagai lembaga keulamaan, kalau NU sendiri meninggalkan mereka dalam forum seminar dan konferensi, maka siapa lagi yang mau mengapresiasi ulama. Kecenderungan untuk meninggalkan ulama itu sudah mulai terjadi, karena itu sejak dini perlu dihindari. Tanpa adanya kontribusi para ulama itu, maka pemikiran budaya, pemikiran sosial dan termasuk politik akan menjadi sangat pragmatis.

Hanya sayangnya saat ini muncul kriteria keagamaan yang begitu longgar, dan bahkan sangat permisif, sehingga bila seorang ulama berpikir dan bertindak sesuai tradisi dan prinsip keislaman dan keulamaan, mereka anggap sebagai koservatif bahkan fundamentalis. Bagaimanapun seora