Risalah Redaksi

Pendalaman Agama Melalui Pengajian

Senin, 16 Oktober 2006 | 10:01 WIB

Pragmatisme kehidupan sangat mewarnai keseluruhan aspek kehidupan, tidak terkecuali di bidang agama. Bulan Ramadlan yang dianggap suci hanya diramaikan dengan berbagai tawa dan canda sepanjang hari semalam suntuk. Padahal semestinya menjadi bulan reniungan, refleksi dan keprihatinan. Tetapi begitulah umat Islam sekarang semakin pragmatais dan dangkal dalam memaknai bulan sucinya.<>

Kedangkalan pemahaman terhadap agama seringkali memunculkan sikap labil dan mudah emosi , sehingga dalam situasi tegang seringkali agama bukan dijadikan sarana untuk merintis ishlah atau perdamaian justeru dijadikan bahan bakar pemicu konflik. Apalagi di tengah perubahan yang serba cepat pendidikan dan pemahaman  nilai-nilai agama dilupakan. Kalaupun sempat diberikan biasaanya dlam waktu pendek dan singkat, sehingga yang diperoleh dari agama hanya kulitnya, tidak menyentuh hakekat atau substansinya.

Hal itu bisa dipahami karena mereka mempelajari agama di sela pekerja yang sangat padat. Terbatasnya pengetahuan agama itu membuat pandangan mereka tentang agama sangat sempit. Akibatnya mereka juga berpikir cetek dan bersikap eksklusif. Dengan sikap semacam itu, ketika menghadapi perbedaan pemahamaan telah diangap penyimpangan, sehingga harus dilawan,  itu pun buka dengan mauidhah hasanah (pitutur yang baik), melainkan dengan cara kekerasan, sehingga bisa memicu ketegangan.

Kita lihat banyak kerusuhan dan konflik yang mengtasnamakan agama, diakibatkan oleh adanya pemahaman agama yang sempit da fanatik semacam itu. Atas nama amar makruf nahi munkar mereka sering melakukan kekerasan terhadap kelompok atau tempat yang dianggap sarang maksiat atau dianggap sesat. Cara kekerasan itu tidak pernah menyelesaikan masalah, melainkan malah menambah masalah. Makanya tindakan seperti itu harus dihindarkan agar kehidupan sosial tetap harmoni dan sejahtera, sebagaimana  Allah telah mengajarkan : ”Ajaklah mereka ke ala yang benar dengan bijaksana dan pitutur yang baik.”  Ajaran ini sering diabaikan.

Seyogyanya dakwah yang berorientasi kuantitas itu diarahkan pada orientasi kualitas. Proses eksternalisasi (penyebaran) agama hendaklah disertai atau dilanjutkan dengan proses internalisasi (pendalaman) agama. Dengan cara itu dakwah akan mengutamakan pemahaman agama yang mendalam, sehingga umat  akan memperoleh  berpandangan luas, akan mempermatang seseorang dalam beragama, sehingga mereka akan arif dan bijaksana dalam menghadapi adanya berbagai perbedaan.

Produk pendidikan agama yang mendalam yang mereka hasilkan terbukti selain memiliki komitmen keagamaan yang kuat sebagi muslim yang saleh dan taat. Mereka juga memperlihatkaan skapa toleransi yang tinggi, tanpa harus kehilangan identitas dan komitmen keislamannya. Tradisi keagamaan seperti itu telah digali serta dikembangkan lam selama berabad-abad sehingga melahirkan berbagai kitab yang memujat berbagai disilpin keilmuan.

Pengalaman sejarah itu yang membuat mereka itu bisa beragama lebih historis, lebih kontektual dan apresiatif terhadap perbedaan dan nlai-nilai lokal. Memang dalam perjalanan sejarah perkembangannya Islam berjumpa denagn berbagai kebudayaan, adat dan tradisi, semuanya itu dijadikan sumber untuk memperkaya khazanah keislaman. Islam yang sampai ke kita bukan Islam yang kering, tetapi Islam yang kaya dengan pengalaman sejarah.

Kalangan Islam pesantren dalam mendalami agama mengunakan sumber kitab-kitab klasik dan kitab-kitab modern yang otoritatif itu akan mendorong lahirnya pemahaman agama yang mendalam dan pandangan yang luas. Karena itu di samping memberikan pengajian-pengajian kilat, yang sangat aktif belakangan ini sebagai tahap apresiasi, maka pengajian yang serius dan intensif dan berkelanjutan itu perlu terus dikembangkan sebagai pengajian tingkat lanjut.

Mengingat terjadinya perubahan sosial yang begitu cepat, mobilitas penduduk yang cepat serta ekanan demografis ang tinggi, maka tradisi tersebut mengalami pergeseran dan akhirnya pudar. Maka tidak aneh bila hanya pendidikan kilat  yang serba instan itu yang dikembankan, itupun diberikan hanya pada level kognitif, tidak sampai paa kesadana afektif, maka ini bisa berakibat pada pemahaman yang tidak hanya dangkal tetapi juga sempit.

Sebagai sebuah proses pengenalan langkah itu sangat bagus, tetapi harus dilanjutkan ke arah pendalaman. Di situlah tugas para ustad, cendekiawan dan ulama, sebuah tugas kenabian, untuk membimbing umat dari kegelapan menuju jalan yang terang. Pengkajian dan pemahaman agama yang serius dan mendalam itu nantinya tidak hanya akan melahirkan rukun dan tertib sosial sebagaimana yang kita harapkan. Tetapi juga akan melahirkan ulama-ulama yang mumpuni yang mampu berkarya besar baik secara sosial maupun secara intelektual. (Abdul Mun'im DZ)