Nabi mengibaratkan Islam sebagai sebuah bangunan yang saling terkait satu dengan yang lain. Karena itu, Islam menyerukan umatnya agar selalu bersatu. Dalam menjalankan sembahyang lima waktu, sangat dianjurkan untuk dilaksanaan secara berjamaah (bersama). Kalau tidak bisa sehari lima kali, maka diwajibkan seminggu sekali yaitu pada hari Jum’at. Ajaran ini tidak bisa ditawar, kecuali ada halangan besar. Bahkan kebersamaan itu juga dilaksanakan di level internasional dalam pelaksanaan ibadah haji. dengan demikian, kebersamaan itu pun bisa dilaksanakan setahun sekali, setidaknya saat hari raya idul fitri.
Atas dasar pentingnya kebersamaan itu maka Nahdlatul Ulama dan umat Islam pada umumnya berusaha menyatukan pelaksanaan Idul Fitri. Dengan argumen, kalau selama ini tidak bisa bersatu dalam bidang lain, seyogyanya bisa bersatu dalam merayakan hari lebaran. Karena itu, pemerintah berusaha memfasilitasi umat yang ingin bersatu tersebut untuk melakukan sidang isbat (penentuan lebaran ) secara bersama.
<>Kebersamaan itu tentu saja bukan kebersamaan yang dipaksakan, tetapi lebih pada penyamaan persepsi dan kemudian penyamaan metodologi hisab maupun rukyah, sehingga mereka bisa menetapkan lebaran secara bersamaan yakni 24 Oktober 2006. Hanya Muhammadiyah yang menolak kesepakatan itu karena memiliki prinsip hisab tersendiri.Karena itu, ketika Pengurus Wilayah NU Jawa Timur memutuskan untuk berlebaran hari Senin tanggal 23 Oktober 2006, maka PBNU merasa kerepotan harus menjawab pertanyaan dari umat dan terutama dari ormas Islam lain yang telah bersepakat sesuai hisab dan rukyah yang dilakukan bahwa tidak mungkin lebaran jatuh pada tanggal 23 November.
Sebenarnya dalam NU perbedaaan berlebaran itu hal yang sangat biasa terjadi. Tetapi biasanya dilakukan oleh pesantren atau jamaah tertentu yang ada dalam NU, tetapi tidak secara resmi dikeluarlan oleh pengurus NU baik tingkat cabang atau wilayah, sehingga tidak menyebar secara regional bahkan nasional.
Melihat kenyataan itu, maka PBNU melalui Lajnah Falakiyah tetap berusaha agar warga NU selanjutnya bisa melakukan lebaran bersama, agar umat di bawah tidak kisruh. Dengan alasan itulah PBNU mengajar musyawarah para ahli falak dari PWNU Jawa Timur untuk menyamakan persepsi, sebab Kalangan NU sebenarnya telah membuat kesepakatan dalam menetapkan hisab dan rukyah. Kalaupun kesepatan itu perlu disempurnakan, tetapi perlu ditaati bersama. Dan kalau butuh penyempurnaan atau perubahan perlu diubah secara bersama.
Dengan langkah itu kebersamaan antara umat Islam dan khususnya warga NU bisa terjaga. Saat ini, warga NU telah tercerai berai oleh adanya partai-partai dan dengan adanya pemilihan kepala daerah. Tak urung lagi, perbedaan lebaran itu walaupun hanya sedikit, ternyata membawa perpecahan juga. Menurut informasi yang datang dari berbagai daerah, terbukti bagaimana mereka bersitegang mengenai perbedaan itu. Itu tidak seberapa. Malah ada beberapa orang yang tidak konsisten dalam melakukan pilihan, bahkan cenderung meremehkan puasa dan lebaran.
Di suatu daerah di Sumatera misalnya ada seorang professor yang membuat kecewa para jamaahnya karena dia menjadi imam sembahyang Idul Fitri pada hari Selasa, padahal dia secara diam-diam telah berlebaran dan melakukan shalat ied pada hari Senin. Sebaliknya, di tempat lain terdapat seorang ustadz yang sedang berpuasa pada hari Senin, tetapi berani menjadi khatib dan imam saat melaksanakan sembahyang Idul Fitri. Ironi dan kontradiksi terjadi. Hal itu menyedihkan karena bagaimana orang kelihatan dengan mudah melakuakan tindakan yang sebenarnya tercela secara agama. Melakukan sesuatu tidak berdasarakan keyakinan, tetapi hanya berdasarkan order menjadi khotib atau imam, atau ada pula yang sekadar mencari popularitas.
Mengingat adanya kecenderungan semacam itu, maka Kiai Maimun Zubair memperingatkan agar penentuan hari lebaran didasarkana atas ketentuan syara’, jangan ditentukan atas dasar arogansi, dorongan hawa nafsu ataupun ketidaktahuan. Kalau dasar ini yang terjadi maka perbedaan akan sengaja dibuat dan dicari. Bahkan lebih jauh Ketua Jam’iyah Thariqah Muktabarah Annahdliyah KH Habib Luthfi mengatakan bahwa lebaran adalah soal iman, soal bathin karena itu tidak boleh ditetapkan berdasarkan nafsu.
Kesepakatan bisa dibuat tanpa harus melanggar ketentuan syariat, justeru atas dasar ketentuan syariat. Langkah itulah yang dikehendaki para ulama di PBNU, sebagaimana dikatakan oleh KH Ma’ruf Amien bahwa NU harus menetapkan awal Ramadhan dan awal Syawal berdasarkan hisab dan rukyah yang valid. Ini penting karena menyangkut soal ibadah, sehingga lembaga keagamaan seperti NU harus mempertanggungjawabkannya baik sejarah syariah maupun secara sosial di hadapan warga NU. Apalagi di masa mendatang, potensi perbedaan itu juga akan tinggi, maka perlu segera diantisipasi.
Berbagai langkah strategis direncanakan sehingga ke depan keinginan untuk bisa melakukan hisab dan rukyah yang valid benar-benar bisa dilaksanakan. Apalagi NU merupakan gudangnya ulama falak dan tidak sedikit
Terpopuler
1
Ketum PBNU dan Kepala BGN akan Tanda Tangani Nota Kesepahaman soal MBG pada 31 Januari 2025
2
Ansor University Jatim Gelar Bimbingan Beasiswa LPDP S2 dan S3, Ini Link Pendaftarannya
3
Paduan Suara Yayasan Pendidikan Almaarif Singosari Malang Meriahkan Kongres Pendidikan NU 2025
4
Kongres Pendidikan NU 2025 Akan Dihadiri 5 Menteri, Ada Anugerah Pendidikan NU
5
Pemerintah Keluarkan Surat Edaran Pembelajaran Siswa Selama Ramadhan 2025
6
Doa Istikharah agar Dapat Jodoh yang Terbaik
Terkini
Lihat Semua