Risalah Redaksi

Rakyat Gugat

Senin, 2 Agustus 2004 | 13:39 WIB

Sebuah drama besar sedang digelar di Jenewa, ini bukan sekadar taeter yang bersifat simbolik tetapi melakonkan sebuah drama realis yang menyangkut nasib milyaran penduduk di dunia ketiga dan dunia pada umunya. Betapa tidak World Trade Organization (WTO) yang merupakan mesin ekonomi dan sekaligus sejata politik para kapitalis sedang merumuskan sepak terjangnya untuk memperluas jaringan koloninya dalam rangka memperbesar modal. Negara dunia ketiga yang selama ini menjadi korban system yang dipaksakan oleh para kapitalis tersebut mulai berani berteriak dan melakukan gugatan terhadap ketidakadilan yang mereka alami selama ini.

Bagaimana tidak kaum kapitalis memperkenalkan system ekonomi baru yang bersemangatkan persaingan bebas (free fight) yang mengharamkan semua negara anggota organisasi tersebut, termasuk negara dunia Ketiga yang rakyatnya miskin yang mengandalkan hidupnya untuk mendapatkan beras, listrik, air serta minyak dengan subsidi pemerintah dilarang untuk menyantuni rakyatnya. Sementara rakyat sama sekali tidak memiliki daya beli, lalu bagaimana bisa hidup. Bagi negara yang memiliki tanggung jawab social tentu tidak akan gila, mengikuti segala bujukan maut itu, dengan cara mengulur waktu dan melakukan liberalisasi secara betahap dan itupun telah menelan banyak korban di kalangan rakyat dan negara itu sendiri.

<>

Pengalaman semacam itu yang membangkitkan nyali negara Dunia ketika di hadapan para bos kapitalis dalam pertemuan Jenewa kali ini, apalagi setelah melihat ketidak jujuran di kalangan para kapitalis baik di Eropa, Jepang Australia dan Amerika itu ternmyata mensubsidi sector-sektor yang tidak kompetitif, sehingga mengakibatkan mereka bisa menguasasi pasar Dunia dan menghambat hasil usaha negara Dunia Ketiga masuk ke negara maju, sehingga mematikan perekonomian negara berkembang.

Sayangnya tuntutan negara negara berkembang yang dikabulkan hanya soal suibsidi di negara maju, bukan proteksi terbuka dan terselkubung yang berkedok standart kualitas dan sebagainya yang semuanya serba dibuat-buat. Hal itu juga akan menjadi bumerang bagi Dunia Ketiga sebab mereka juga akan dengan gigih melakukan pelarangan terhadap subsidi yang ada di negara berkembang, akibatnya kehidupan rakyat akan semakin berat. Padahal semestinya yang dituntut harusnya lebih mendasar yakni pembubaran organisasi perdagangan bebas itu, sebab lembaga itu hanya alat kapitalis menyedot kekayaan Dunia Ketiga.

Liberalisme dan liberalisasi apapun bentuknya baik di bidang ekonomi mapun politik serta yang berjalan sat ini, tidak lain adalah alat kapitalisme untuk melakukan kolonisasi dan imperialisasi yang berujung pada ekploitasi rakyat negara-negara berkembang oleh kekuatan kapital secara lebih cangggih. Apalagi saat ini liberalisme yang menyengsarakan rakyat tersebut telah dianggap sebagai mantra suci oleh kalangan aktivis. Celakanya tidak pernah ditelaah secara kritis liberalisasi untuk siapa. Untuk rakyat agar terbebas dari penindasan penguasa despotic atau dari kapital yang eksploitatif. Bukan. Liberalisasi yang terjadi saat ini merupakan kebebasan kekuatan kapitalis-imperialis melakuakan eksploitasi dan represi terhadap kebebasan rakyat.

Maka bisa dipastikan gerakan liberalisme dan liberalisasi yang terjadi di Indonesia belakangan ini yang didukung secara heroik dan fanatik oleh kalangan aktivis, adalah merupakan agenda kapitalis untuk menancapkan cakar-cakarnya guna mengoyak ketenangan rakyat. Akibatnya sangat jelas rakyat menjadi korban utama dari liberalisasi tersebut.

Maka gugatan rakyat yang diakili oleh para elitenya dalam sidang WTO di Jenewa adalah gugatan setengah hati. Gugatan sebenarnya adalah membubaran organisasi penghisap dan sekaligus pembelenggu itu dari dunia ketiga, biar itu terjadi di lingkungan para penjajah sendiri. Sebab pembatasan yang dilakuakan tidak hanya memangkas kebebasan rakyat, tetapi juga telah melanggar kedaulatan negara untuk mengatur rumah tangganya sendiri.Keberhasilan gugatan itu semestinya dijadikan memontum itu membubarkan organisasi yang dipaksakan itu. Dengan demikian bisa dibangun tata dunia baru yang lebih adil dan lebih beradab. (MDZ)***