SETIAP komunitas mesti memiliki etika tersendiri, sebab tidak ada sesuatu yang bisa berjalan tanpa landasan moral. Termasuk aktivitas akademik. Kualitas akademik tidak hanya ditentukan oleh validitas keilmuan yang dikembangkan, tetapi lebih penting lagi adalah integritas moral para akademisi. Berguna tidaknya, dan berpengaruh tidaknya sebuah karya ilmiah sangat ditentukan oleh yang satu ini. Bila sebuah pemikiran ilmiah telah meninggalkan landasan etik itu, maka hilanglah kewibawaannya sebagai sebuah pemikiran ilmiah yang bisa dipercaya validitasnya.
Hasil survai yang dilakukan oleh PPIM sebuah lembaga penelitian yang bernanung di bawah UIN Jakarta beberapa waktu lalu mengatakan bahwa kitab kuning yang digunakan dunia pesantren sebagai sumber kekerasan bahkan teorisme. Pandangan itu pertama menyalahi metodolgi survey itu sendiri, sebab pertama yang ditanyakan bukan persepsi orang tentang suatu gerakan, tetapi tiba-tiba meloncat pada kesimpulan bahwa mereka melakukan kekerasan karena merujuk pada kitab kuning pesantren.
<>Kesalahan pertama survei itu terletak pada konsep, yakni tentang kekerasan dan terorisme itu. Setiap upaya penerapan aturan agama terutama sebagaimana yang termaktub dalam kitab kuning, seperti pendisiplinan, apalagi adanya ganjaran dan hukuman, itu dianggap sebagai kekarasan. Di situlah awal mula kesesatan itu. Kesesatan terjadi karena mereka itu tidak mampu membaca kitab kuning.
Kalau hal hal dasar agama seperti adanya komitmen terhadap bimbingan dan tuntunan telah dianggap sebagai bentuk ekstremisme, maka beragama telah dianggap masuk dalam jaringan kekerasan, karena itu rasa dan komitmen keberagamaan harus dikikis. Demikian cara pandang modern dan liberal yang menjadi dasar asumsi para surveiyer di PPIM UIN Jakarta itu. Pandangan semacam itu telah menjadi lazim dalam lembaga penelitian perguran tinggi saat ini, sehingga dengan sendirinya beragama sesuai dengan dasar syariah merupakan bentuk fanatisisme dan dengan sendirinya kekerasan.
Cara pandang semacam itu akan sangat membahayakan bagi keberlanjutan kitab kuning di pesantren, sebab dengan kesimpulan seperti itu pihak yang selama ini berlagak menegakkan hak asasi manusia dan demokrasi, sebagai sarana pengembangan kapitalisme dan imperialisme pasti akan mengarahkan programnya ke pesantren dan akan berusaha keras menghapus kitab kuning. Bila kitab kuning disingkirkan dari pesantren dan sebagai rujukan umat, maka selesailah sudah cara beragama yang dalam dan santun serta damai. Yang terjadi malah akan pendangkalan, yang pada gilirannya justeru mudah tersulut kekerasan. Jutru cara itu yang dikehendaki oleh kapitalisme global, agar pesantren bisa disingkirkan.
Dengan cara pandang semacam itu, maka pemahaman agama, kalau perlu doktrin agama diubah disesuaikan dengan budaya masyarakat modern, sebagai masyarakat terbuka dan permisif, yang serba boleh melakukan berbagai tindakan tanpa batas. Dalam kondisi semacam ini tidak jarang agama sebagai bahan ledekan bahkan tertawaan dan mainan. Karena yang yang penting bagi mereka adalah bekerja dan mendapatkan bayaran, perusakan terhadap nilai agama dianggap hal biasa, malah mereka merasa berjasa pada kehudupan yang tanpa agama.
Jangankan komitmen keagamaan, komitmen akademis mereka juga sama sekali tidak memiliki. Mereka pemikir yang sangat pragmatis bahkan sangat oportunis, hanya mengikuti selera penyandang dana. Mereka bukan pemikir serius, karena itu tema yang diangkat serba remeh, karena itu hanya bisa menirukan cara orang lain berpikir, seolah mereka juga bisa berpikir secara akademik. Kemerosotan kualitas akjademik sebagian besar juga akibat dari rendahnaya moralitas akademik yang mereka miliki, karena itu yang mereka keluarkan hanya pemikiran dangkal yang sama sekali tidak memiliki kualifikasi akademis sebagaimana yang mereka duga.
Merosotnya kualitas akademik sejalan dengan merosotnya etika akademis, karena itu walaupun negeri ini menghasilkan ribuan kaum terpelajar secara akademik, tetapi tidak membawa kemajuan yang berarti. Akibatnya, bangsa ini tidak semakin mandiri, tidak semakin maju dan tidak semakin sejahtera. Sebab para ilmuwan hanya bisa meniru, tidak memiliki kreativitas dan kemandirian, sehingga bangsa Indonesia menjadi bangsa yang semakin miskin semakin terbelakang dan semakin tergantung pada bangsa lain. Semuanya itu sebagian besar akibat tidak adanya mental akademis dan mental akademis sirna karena runtunhya etika akademis dalam bangsa ini. (Abdul Mun’im DZ)
Terpopuler
1
Ketum PBNU dan Kepala BGN akan Tanda Tangani Nota Kesepahaman soal MBG pada 31 Januari 2025
2
Ansor University Jatim Gelar Bimbingan Beasiswa LPDP S2 dan S3, Ini Link Pendaftarannya
3
Paduan Suara Yayasan Pendidikan Almaarif Singosari Malang Meriahkan Kongres Pendidikan NU 2025
4
Kongres Pendidikan NU 2025 Akan Dihadiri 5 Menteri, Ada Anugerah Pendidikan NU
5
Khutbah Jumat: Jagalah Shalat, Maka Allah Akan Menjagamu
6
Pemerintah Keluarkan Surat Edaran Pembelajaran Siswa Selama Ramadhan 2025
Terkini
Lihat Semua