Risalah Redaksi

Saatnya Para Kiai Siarkan Dakwahnya di Saluran TV-nya Sendiri

Jumat, 9 Juni 2017 | 15:04 WIB

Saatnya Para Kiai Siarkan Dakwahnya di Saluran TV-nya Sendiri

KH Said Aqil Siroj saat 'live straming' pengajian Tafsir Surat Yasin dari Pesantren al-Tsaqafah Ciganjur

Teknologi kini berkembang dengan sangat cepat. Sesuatu yang sebelumnya hanya mimpi kini bisa dilakukan dengan mudah oleh semua orang dengan cara yang murah dan mudah. Salah satu yang bisa dimanfaatkan bagi jalan dakwah adalah melakukan siaran langsung melalui media sosial atau aplikasi internet. Kiai dan para ustadz kini seolah-olah bisa memiliki stasiun siaran tv sendiri, yang dulu hanya dimonopoli oleh para pemilik modal dan memiliki akses untuk mendapatkan izin usaha di bidang penyiaran.

Kini sejumlah kiai sudah memanfaatkan Facebook atau Youtube untuk melakukan siaran langsung pada pengajian-pengajian khusus yang mereka selenggarakan selama bulan penuh berkah. Fenomena ini mulai marak pada Ramadhan tahun ini. Kiai Said dan Gus Mus merupakan contoh dari sebagian tokoh NU yang memanfaatkan teknologi internet untuk berdakwah. Gus Mus, dari dahulu secara rutin mengadakan pengajian Ramadhan selepas tarawih. NU Online pernah turut bersumbangsih dengan menyiarkannya melalui fasilitas chat, kemudian ditingkatkan pada jaringan radio internet. Yang disiarkan NU Online meliputi beberapa pengajian sejumlah kiai sepuh dari berbagai pesantren lainnya. Kini para santri di masing-masing pesantren sudah mampu menangani sendiri bagaimana mengelola siaran daring dari para kiainya.

Para kiai dan dai lain tampaknya harus menyadari perubahan situasi ini. Jika zaman dahulu pengajian-pengajian dihadiri secara langsung oleh puluhan ribu jamaah yang memenuhi halaman masjid atau pesantren, kini jamaah yang hadir secara langsung semakin berkurang tetapi jumlah jamaahnya secara total meningkat pesat. Tetapi masih ada yang belum rela jamaah pengajian yang datang secara langsung berkurang. Ada perdebatan di kalangan internal tokoh tertentu yang merasa kebesaran kiainya berkurang kalau jamaah yang hadir secara langsung sedikit jika pengajian disiarkan secara langsung karena masyarakat tidak lagi datang, cukup mendengarkan siaran sehingga ada yang memilih mempertahankan pendekatan konvensional dalam dakwahnya.

Keuntungan memanfaatkan teknologi untuk dakwah sangat banyak. Selain bisa menjangkau jamaah dari mana saja secara efektif dan efisien dalam waktu bersamaan, materi ceramah tersimpan secara daring sehingga bisa diunduh kapan saja dan di mana saja.  Sebagai contoh, ceramah-ceramah menarik dari Kiai Anwar Zahid merupakan materi yang populer yang terus diunduh dan dibagikan di media sosial oleh masyarakat. Jumlah pengunjung pada beberapa ceramahnya yang tersimpan di Youtube mencapai ratusan ribu. Keuntungan lainnya, dai dipaksa untuk kreatif dalam mencari dan menyampaikan materi ceramahnya. Bukan rahasia lagi, banyak dai hanya mengulang-ulang materi yang sama dari satu tempat ke tempat lainnya. Hal ini dikarenakan jamaah yang mendengarkan berbeda. Pengulangan materi di internet, akan dengan mudah diketahui sehingga sang dai dianggap tidak kreatif dalam berceramah.

Para kiai NU harus memanfaatkan panggung dunia maya ini dengan sebaik-baiknya mengingat ruang ini merupakan panggung bebas yang bisa dimanfaatkan oleh siapa saja, termasuk para dai dari kelompok radikal. Tokoh agama dari kelompok ini yang sebelumnya kurang mendapatkan akses ke publik kini mampu menjangkau siapa saja. Dengan ceramahnya yang dikemas secara menarik, mereka bisa mendapatkan simpati dari Muslim awam yang sedang bergairah dalam beragama. Ini mungkin yang menjadi salah satu alasan menguatnya konservatisme dalam beragama di Indonesia.

Para kiai NU yang rendah hati, enggan menonjolkan diri karena itu bukan kepribadian yang diajarkan dan mereka miliki. Tapi, dalam konteks mempertahankan Islam yang rahmatan lil alamiin, pola pikir ini sepertinya harus diubah, bahwa jika publik tidak disuguhi dengan materi dakwah Islam yang menyejukkan, orang lain atau kelompok lain yang akan mengisinya, dengan materi-materi yang bisa saja mendorong pada radikalisme atau berusaha meruntuhkan NKRI.

Agar menarik bagi publik, seorang kiai tidak cukup menguasai materi ilmu agama dengan baik, tapi juga harus bisa menyampaikannya dengan cara yang enak bagi pemirsa. Panggung yang berbeda, antara panggung di dunia nyata dan di dunia maya memiliki psikologi berbeda. Di dunia maya, jika materi dianggap tidak sesuai dengan harapannya, dalam satu klik, netizen (warganet) bisa berpindah ke kanal lain. Ini berbeda dengan panggung di dunia nyata di mana jamaah, mau tidak mau harus menunggu ceramahnya selesai. Karena itu, kemampuan mengemas materi ceramah di dunia maya secara menarik harus dilakukan. Ilmu komunkasi publik yang selama ini digunakan oleh dunia periklanan untuk menarik perhatian publik juga harus dimanfaatkan oleh para kiai dalam dunia dakwah.

Yang lebih penting lagi perlu ditumbuhkan kesadaran kepada publik bahwa belajar agama tidak cukup hanya dengan mendengarkan ceramah-ceramah di internet atau di televisi. Belajar secara mendalam melalui buku dan dialog dengan para kiai secara langsung tentang berbagai pendapat dalam satu persoalan akan memperluas cakrawala berpikir. Hanya mengandalkan internet untuk belajar agama, rawan menumbuhkan sikap keberagamaan yang kaku dan tekstual, apalagi kebanyakan ceramah agama hanya membahas persoalan secara sekilas dan terutama hanya membahas soal halal haram, sementara persoalan umat begitu kompleks, yang penyelesaiannya tidak bisa sekedar disampaikan melalui ceramah satu arah.

Era baru dalam cara berdakwah telah dimulai, Ramadhan tahun depan, akan lebih banyak lagi kiai atau ustadz yang menyampaikan ceramahnya melalui dunia maya. Tokoh baru yang sebelumnya tidak kenal bisa saja muncul. Semuanya harus siap dengan dunia baru ini. Jika mengabaikan, maka akan ditinggalkan oleh zaman, sebagaimana perubahan-perubahan sosial atau teknologi yang terjadi sebelumnya. (Ahmad Mukafi Niam)