Risalah Redaksi

Saatnya PMII Jadikan Masjid sebagai Pusat Gerakan

Jumat, 19 Mei 2017 | 08:30 WIB

Kongres XIX Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang berlangsung di Palu Sulawesi Tengah Mei 2017 ini perlu melakukan evaluasi perkembangan kekinian terkait banyaknya mahasiswa yang tertarik dengan ajaran radikal dan merongrong ideologi negara Pancasila. Keberadaan mahasiswa yang menjadi militan yang salah satunya terungkap dalam sebuah video yang viral di media sosial mengenai ajakan menegakkan khilafah di Indonesia yang diikuti oleh lebih dari 1000 mahasiswa di kampus Institute Pertanian Bogor (IPB) beberapa waktu lalu.

Kelompok Islam transnasional berusaha memanfaatkan masjid sebagai basis gerakannya. Salah satu strategi untuk ‘menduduki’ kampus adalah dengan menguasai masjidnya terlebih dahulu. Kemudian dari situ, dilakukan penguasaan terhadap kajian keislaman dan lembaga dakwah kampus. Dari masjid pula diatur strategi untuk menguasai badan eksekutif mahasiswa (BEM). Langkah selanjutnya adalah membuat jejaring antarkampus pada perguruan tinggi yang sudah dikuasainya. Dan sesudah itu tinggal mengader mahasiwa baru yang rata-rata lugu, tetapi memiliki semangat beragama tinggi. Dalam setiap tahun ajaran baru, selalu ada kader baru yang mereka tarik, dan beberapa di antaranya akan menjadi pengikut militan.

Kader PMII dengan latar belakang pendidikan pesantren seharusnya lebih mampu dalam menjalankan peran-peran dakwah di masjid. Rata-rata mereka bisa mengaji Qur’an dengan bacaan yang benar, tak sedikit diantaranya yang menguasai kitab kuning. Apalagi belakangan dengan adanya program beasiswa bagi lulusan pesantren, semakin banyak lulusan pesantren yang memasuki perguruan tinggi top Indonesia. Tapi dengan segala kelebihan yang dimiliki tersebut, PMII belum mampu menjadikan masjid sebagai pusat gerakannya.

Kader PMII memang dididik dan diarahkan untuk memiliki kepekaan sosial terhadap berbagai persoalan masyarakat. Mereka diajak membaca buku-buku yang memberi mereka pemahaman akan banyaknya ketidakadilan di masyarakat yang harus dibela. Dari situlah, mereka tanggap akan sejumlah persoalan masyarakat bawah. Pembelaan mereka pada kelompok masyarakat yang teraniaya ini telah dijalankan dengan baik dan harus terus dipertahankan. Namun, perkembangan kekinian berupa ancaman radikalisme yang tumbuh di kampus harus menjadi perhatian serius para kader PMII. Tak akan ada kedamaian jika radikalisme tumbuh, yang sebagian bersemi melalui kampus.

Hadirnya Presiden Jokowi yang membuka kongres tersebut menunjukkan harapan besar dari pemerintah agar PMII dapat menjadi motor pergerakan mahasiswa yang menjaga ideologi negara, Pancasila dan NKRI. Negara tidak bisa melakukan seluruh programnya sendirian. Kesamaan kepentingan antara NU dan pemerintah untuk menghadapi ancaman radikalisme menuntut PMII untuk turut ambil peran penting, khususnya dalam pencegahan penyebaran ideologi transnasional yang radikal di lingkungan kampus sebagai bidang garapannya.  

Bagaimana agar PMII dapat meletakkan masjid kampus sebagai pusat gerakan Islam moderat? Langkah pertama tentu adalah dengan menjadikan masjid sebagai pusat gerakan, yaitu mengisi masjid-masjid kampus dengan berbagai aktifitas PMII. Kasus klasik yang sering terjadi dalam peralihan amaliyah masjid terjadi karena adanya kekosongan pengelolaan. Pelan tapi pasti, kelompok-kelompok Islam transnasional menganbil alih pengelolaan, dari sekedar tukang bersih-bersih masjid, menjadi tukang adzan dan imam sampai akhirnya menguasai sepenuhnya pengelolaan masjid tersebut melalui ketakmiran.

Pentingnya pengelolaan masjid oleh kelompok Islam moderat ini juga bukan hanya untuk komunitas berlatar belakang NU. Daerah perkotaan di mana banyak kampus berada merupakan daerah daerah plural dalam hal etnis, golongan, termasuk dalam amaliyah keagamaan terkait dengan sesama Muslim. NU yang menghargai adanya perbedaan mazhab dan persoalan khilafiyah dalam beragama akan menghargai dan memberi ruang bagi kelompok Islam lain untuk sama-sama memanfaatkan masjid bagi kegiatan keislaman, sejauh hal tersebut tidak digunakan untuk merusak ideologi negara. Kelompok radikal yang selalu menganggap ajaran dirinya yang paling benar sejauh ini tidak memberi ruang masjid digunakan oleh kelompok lain yang tidak sepaham dengan mereka.

Untuk bisa merebut hati mahasiswa-mahasiwa baru agar mau terlibat dalam gerakan PMII, juga diperlukan strategi bagaimana memasarkan dan membangun citra PMII sebagai organisasi yang keren. Para aktivis PMII harus kreatif, pintar dan santun agar mahasiswa baru tertarik dan mendapat sesuatu, bahwa ikut PMII akan memberinya nilai tambah sebagai mahasiswa dan mendukung masa depannya. Bahwa ikut menjadi PMII tak harus diarahkan menjadi politisi, tetapi juga mengembangkan potensi dan minat lainnya. Dengan demikian, PMII bukan hanya menjadi ruang berorganisasi bagi mahasiswa dengan kultur NU, tetapi juga siapa saja, Muslim yang memiliki kesamaan nilai dengan NU dengan sikap toleran dan moderat. (Mukafi Niam)