Risalah Redaksi

Santri Berjuang Membangun Kesetaraan

Sabtu, 22 Oktober 2016 | 10:00 WIB

Pada 22 Oktober 2015, Presiden Joko Widodo mengesahkan tanggal tersebut sebagai Hari Santri. Kita patut bersyukur atas apresiasi dari pemerintah pada peran yang dijalankan oleh kelompok santri dalam berbagai bidang kehidupan. Santri merupakan kelompok masyarakat yang paling gigih dalam menentang penjajahan Belanda dengan melakukan berbagai perlawanan yang tersebar di berbagai daerah. Kini pun, santri mengawal perjalanan bangsa agar tetap pada jalurnya di tengah-tengah ancaman radikalisme.

Di tengah gencarnya upaya membangun dan memperbaiki pendidikan di Indonesia, yang ditunjukkan dengan alokasi anggaran sebesar 20 persen untuk sektor pendidikan dalam UUD 1945, dunia pesantren, khususnya pesantren salaf, luput dari perhatian. Alokasi dana untuk madrasah pun jauh lebih kecil dibandingkan dengan sekolah umum. Belajar di pesantren seolah tidak layak mendapat dukungan negara untuk perbaikan kualitas sebagaimana sistem pendidikan sekolah. Tidak ada dana biaya operasional pesantren seperti biaya operasional sekolah (BOS) yang diberikan kepada setiap murid di sekolah. Tidak ada alokasi beasiswa bagi santri yang sedang mondok. Tidak ada dana sertifikasi bagi para ustadz yang mengajar di pesantren, dan para santri harus tinggal di asrama ala kadarnya. Semuanya dilakukan secara swadaya dengan semangat tafaqquh fiddin.

Sesungguhnya santri juga pelajar, hanya fokusnya saja yang beda karena yang dipelajari adalah ilmu-ilmu agama. Bidang ini juga tak kalah pentingnya bagi kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Mereka membina masyarakat setelah pulang dari pesantren. Mereka dididik untuk memiliki karakter dan akan mendidik masyarakat agar berkarakter. Begitulah proses pendidikan berlangsung dari generasi ke generasi sampai akhirnya menjadi sebuah ciri Muslim Nusantara yang khas. Tak ada ceritanya tawuran di kalangan santri. Mereka sangat menghormati guru dan orang tua, serta menyayangi yang muda. Pendidikan karakter yang digember-gemborkan di sekolah belakangan ini, toh masih sangat jauh dari standar yang berlaku di lingkungan pesantren. Toh, dengan peran yang sedemikian besar, pesantren belum mendapatkan banyak perhatian.

Akibat minimnya dukungan bagi pesantren, proses belajar mengajar dilakukan secara sederhana, apa adanya. Tetapi hal ini tak mengurangi semangat untuk belajar. Jika ada dukungan fasilitas yang lebih memadai, tentu hasilnya akan luar biasa. Akhirnya, para pengasuh pesantren, harus mati-matian untuk mencari dana buat operasional pesantren. Tak mungkin pula menarik iuran yang memadai kepada santri karena rata-rata dari mereka berlatar belakang keluarga sederhana dengan pendapatan terbatas. Tak ada pula komersialisasi pesantren sebagaimana terjadi di sekolah yang kini menunjukkan gejala yang semakin memprihatinkan. Pendidikan di pesantren didasari niat luhur untuk mendidik manusia menjadi lebih beradab.

Peringatan hari santri yang kini sudah berlangsung untuk kedua kalinya, tak boleh sekadar upacara seremonial bahwa eksistensi santri sudah diakui negara. Tak boleh bangga hanya karena banyak yang ikut upacara atau karena para pejabat yang datang. Hal itu penting, tetapi ada yang lebih penting: peringatan Hari Santri adalah titik awal untuk memperjuangkan hak-hak santri sebagai pelajar sebagaimana yang diperoleh dalam sistem pendidikan sekolah. Kirab Hari Santri yang mengambil titik awal di Banyuwangi, Jawa Timur, yang kemudian menyinggahi puluhan kota sebelum akhirnya berakhir di Jakarta diharapkan tidak sekadar menunjukkan besarnya jumlah massa santri, tetapi harus mampu membangun kesadaran dari pemerintah daerah yang dilewati oleh rombongan kirab tersebut untuk lebih memperhatikan para santri dalam proses belajar mengajar di pesantren.

Salah satu kendala dalam pemberdayaan santri adalah belum adanya payung hukum yang memberi dukungan atau melegalkan alokasi anggaran untuk pesantren. Upaya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) untuk menginisiasi Rancangan Undang-Undang Pendidikan Pesantren dan Madrasah layak diapresiasi dan didukung. Dengan adanya payung hukum, maka hak-hak pelajar santri akan diakui secara formal dalam pembuatan kebijakan negara. Sungguh menyenangkan membayangkan para santri bisa belajar di pesantren dengan fasilitas yang memadai. Sungguh bahagia melihat  para ustadz mengajar tidak sekadar didasarkan untuk mengabdi dengan bayaran ala kadarnya. Jika mereka juga mendapatkan dana sertifikasi atas pengabdiannya dalam mengajar, mereka bisa hidup lebih layak, bisa membeli kitab-kitab terbaru sebagai bahan rujukan atau bisa meneruskan pendidikan yang lebih tinggi untuk peningkatan kapasitas intelektualnya.

Jika pemerintah ingin menjadikan Indonesia sebagai model Islam yang pas di era globalisasi atau menjadikan Indonesia sebagai rujukan Islam dunia sebagaimana yang belakangan didengung-dengungkan, tentu dukungan bagi pesantren yang merupakan inti dari Islam di Indonesia harus dilakukan secara penuh. Untuk melahirkan ahli-ahli agama kelas dunia, yang pandangannya diakui, dihormati dan menjadi rujukan dalam berperilaku sebagai Muslim yang baik tak cukup dengan pujian bahwa pesantren telah berbuat banyak bagi negeri ini. Perlu dukungan kitab dan buku-buku yang memadai untuk belajar dengan baik, perlu para ulama yang mumpuni agar potensi santri bisa terasah secara maksimal. Tanpa dukungan yang memadai, cita-cita itu hanya omong kosong belaka. (Mukafi Niam)