Risalah Redaksi

Selamat Jalan, Kiai Hasyim...

Sabtu, 18 Maret 2017 | 04:27 WIB

Kamis pagi, grup-grup sosial media mengabarkan meninggalknya Ketua Umum PBNU 1999-2010 KH Hasyim Muzadi. Ucapan dukacita dan doa dalam beragam bentuk terucap dari umat yang merasa kehilangan. Ribuan orang menshalatkan janazahnya di Pesantren Al-Hikam Malang sebelum dibawa ke Depok seusai shalat Dhuhur. Hal yang sama terjadi saat masyarakat mengantarkan jenazahnya di peristirahatannya yang terakhir di kompleks Pesantren Al-Hikam II Depok, Jawa Barat sore harinya. Bagi yang tidak berkesempatan memberi penghormatan terakhir, shalat ghaib dan tahlil diselenggarakan di kantor-kantor NU, masjid, mushalla, dan pesantren di seluruh Indonesia.

Perhatian yang luas ini menunjukan besarnya kiprah yang telah ditorehkannya untuk umat dan untuk bangsa.  Selama menjadi ketua umum PBNU, ia sering sekali mengumpulkan tokoh-tokoh agama untuk menjaga bangunan kerukunan dan toleransi di Indonesia. Ia juga dikenal dekat dengan beragam kelompok dalam Islam dan menawarkan pendekatan yang lebih lembut atas tafsir-tafsir agama yang kaku menjadi lebih membumi. Semasa kepemimpinannya di NU, ia memulai pembentukan Pengurus Cabang Istimewa (PCINU) di luar negeri yang kini jumlahnya terus bertambah di berbagai negara.

Ada pelajaran penting yang bisa diambil dalam kiprahnya ber-NU, yaitu polanya dalam berkiprah di NU dari tingkat pengurus ranting sampai menjadi ketua umum PBNU. Ia memulai kiprahnya di NU dari tangga organisasi terbawah dengan menjadi ketua Ranting NU Bululawang Malang (1964). Ranting NU merupakan struktur organisasi NU setingkat desa. Langkahnya dilanjutkan menjadi Ketua Anak Cabang GP Ansor Bululawang Malang (1965). Anak cabang merupakan sebutan untuk kepengurusan organisasi setingkat kecamatan. Kemudian diteruskan menjadi Ketua Cabang GP Ansor Malang (1967-1973), melangkah menjadi Ketua PW GP Ansor Jatim (1983-1987), dan menjadi salah satu ketua PP GP Ansor (1987-1991).

Ia mulai aktif di kepengurusan NU Malang dalam posisi wakil ketua (1973-1977) dan mendapatkan amanah sebagai ketua PCNU Malang (1973-1977). Perannya meningkat di lingkungan PWNU Jawa Timur sebagai sekretaris (1987-1988), lalu menjadi wakil ketua (1988-1992) selanjutnya dipercaya menjadi Ketua PWNU Jatim (1992-1999). Konsentrasi warga NU yang besar di Jawa Timur menjadikan wilayah ini paling strategis. Keberhasilan memimpin di Jatim membuat dirinya memperolah kepercayaan untuk menggantikan Gus Dur sebagai ketua umum PBNU yang dijalaninya selama 10 tahun.  Dari mulai aktif di tingkat ranting NU pada 1964 sampai meninggalnya pada 2017, ia telah mengabdikan dirinya selama 53 tahun untuk NU.

Dengan pengalaman dan pengetahuannya yang luas karena memulai langkah dari tangga struktur organisasi paling bawah, ia mampu menyampaikan pesan-pesannya dengan bahasa sederhana dan penuh humor yang menyegarkan kepada warga NU di tingkat bawah. Di sisi lain ia juga akrab dengan kalangan intelektual tingkat dunia yang berbicara bahasa yang abstrak dan melangit. Tak banyak orang yang bisa membangun komunikasi dengan baik atas golongan dalam dua kutub yang ekstrim itu. Kini NU kaya dengan intelektual kampus, tetapi mereka tidak mampu membangun komunikasi yang baik dengan masyarakat. Di sisi lain, banyak kiai yang mengakar di masyarakat tetapi ketinggalan dalam isu-isu kekinian. Kiai Hasyim mampu menyederhanakan sesuatu yang rumit ala intelektual dalam bahasa sehari-hari yang mudah dipahami masyarakat. Dia juga tidak ketinggalan isu-isu terkini yang berkembang di kalangan intelektual. Kiai itu menyederhanakan yang rumit, intelektual membuat rumit yang sederhana, begitu katanya suatu ketika.

Pola berjenjang dari bawah sampai menjadi pemimpin tertinggi yang dijalani oleh Kiai Hasyim inilah yang seharusnya menjadi pola dalam rekrutmen pemimpin di lingkungan NU. Pemimpin yang berakar dari bawah akan mengetahui dengan baik masyarakatnya. Memahami dengan baik tanpa umat mengatakan apa kebutuhannya. Ketua MWCNU selayaknya merupakan ketua ranting NU terbaik. Ketua cabang NU seharusnya merupakan kader terbaik dari MWCNU. Ketua PWNU, pantasnya adalah ketua PCNU dengan prestasi terbaik. Dan Ketua umum PBNU berasal dari ketua PWNU yang paling mumpuni. Semuanya harus melewati proses yang panjang untuk menyerap pengetahuan-pengetahuan dan meraih pengalaman-pengalaman yang hanya bisa dilakoni, tetapi tidak bisa sekadar dibaca dari buku.

NU dengan jutaan pengikut dan ratusan ribu pengurus, mestinya tidak kekurangan orang-orang terbaik yang paling kompeten untuk menjadi pemimpin. Memimpin NU tidak cukup sekedar modal pintar, keturunan darah biru kiai, apalagi sekedar punya modal finansial. Ia harus teruji dan terekam dengan baik jejak-langkahnya dalam ber-NU. NU hasil “naturalisasi” tak akan bisa dengan tiba-tiba menjadi ketua. Mekanisme ini akan menyaring orang-orang dengan kapasitas, komitmen, dan integritas terbaik untuk menjadi pemimpin NU.

Selamat jalan, Kiai Hasyim, kini kamilah yang akan melanjutkan langkah-langkah yang telah engkau jejakkan, meneruskan bakti yang telah engkau mulai... (Mukafi Niam)