Risalah Redaksi

Soal Kecenderungan Komersialisasi Sekolah Berlabel Islam

Sabtu, 12 Agustus 2017 | 18:00 WIB

Pendidikan sesungguhnya merupakan barang publik, yaitu layanan yang harus disediakan oleh pemerintah kepada seluruh masyarakat. Jika pendidikan diprivatisasi, maka hanya sebagian kecil masyarakat, khususnya mereka yang mampu membayar pendidikan saja yang bisa mengakses. Padahal, setiap anak negeri ini memiliki potensi untuk berkontribusi pada negeri ini. Kemajuan sebuah bangsa ditentukan oleh rata-rata tingkat pendidikan warganya, bukan hanya oleh sekelompok kecil elite yang memiliki akses pada modal dan kekuasaan. Pendidikan menjadi sarana akselerasi paling cepat dari kelompok masyarakat berpenghasilan rendah menjadi kelompok menengah.

Sekalipun pemerintah sudah berusaha menyediakan pendidikan dengan kurikulum standar, layanan tersebut belum bisa menjangkau semua masyarakat yang membutuhkan. Atau masyarakat menginginkan adanya kurikulum dengan penekanan khusus seperti penguatan agama, mengingat pelajaran agama yang diajarkan di sekolah negeri terasa kurang. Nahdlatul Ulama termasuk organisasi yang getol dalam menyediakan layanan pendidikan dengan pengajaran agama yang maksimal melalui madrasah dan pesantren dengan biaya yang sangat terjangkau.

Keinginan orang tua untuk menjaga moral dan karakter melalui pengajaran agama menjadikan sekolah berlabel Islam di daerah perkotaan laris manis. Kondisi perkotaan memang berbeda dari daerah pedesaan di mana anak-anak masuk sekolah umum pada pagi hari dan sore harinya mereka masuk madrasah diniyah. Di perkotaan, jika orang tua ingin mendidik anaknya dengan ajaran Islam yang memadai, maka opsi yang dipilih lazimnya adalah memasukkan anak ke sekolah Islam. Sayangnya, sekolah berbasis agama yang sebelumnya diniatkan sebagai lahan dakwah kini mulai dijangkiti penyakit komersialisasi.

Banyak sekolah berlabel Islam memungut bayaran mahal untuk uang masuk dan iuran bulanannya. Di daerah pinggiran Jakarta, sekolah berlabel Islam favorit setingkat SD memungut uang pangkal 10-15 juta rupiah dengan SPP antara 400-500 ribu rupiah per bulan atau setara dengan 2,4-3 juta rupiah per semester, belum termasuk biaya lain-lain yang membebani orang tua. Sekalipun mahal, peminat tetap membludak karena adanya nilai plus berupa pengajaran materi-materi keislaman.

Berapa sebenarnya biaya operasional, penyusutan, dan pengembangan sebuah sekolah? Hal ini masih perlu diteliti lebih lanjut. Universitas Islam Negeri (UIN) menetapkan uang kuliah tunggal (UKT) berkisar antara 1,2-2,3 juta per semester tergantung pada jurusannya untuk tingkat sarjana. Artinya jika dihitung bulanan mahasiswa hanya perlu membayar 100-200 ribu per bulan. Perguruan tinggi Islam swasta yang tidak mendapat subsidi pemerintah juga menetapkan SPP berkisar antara 1-1,5 juta per semester. Sejumlah universitas swasta yang membebankan biaya kuliah 200-300 ribu per bulan pun diserbu peminat. Merekalah yang sebenarnya telah mencerdaskan anak bangsa dengan pendidikan yang terjangkau tanpa membawa-bawa nama agama.

Ke mana ujungnya pemasukan dari uang sekolah yang mahal tersebut? Tidak ada yang tahu karena hal tersebut sudah menjadi kewenangan yayasan bersangkutan. Prinsip yang berlaku di sekolah swasta adalah jika bersedia masuk dengan ketentuan bayaran yang sudah disampaikan, silakan. Jika tidak, silakan cari sekolah lain karena masih banyak calon murid yang antre mendaftar. Jika banyak perguruan tinggi mampu beroperasi dengan SPP yang rendah dan tetap menjaga kualitas pengajarannya, kenapa banyak sekolah berlabel Islam tidak bisa? Apalagi jika dibandingkan dengan pesantren, sekolah berlabel Islam di perkotaan semakin tidak masuk akal biayanya. Banyak pesantren hanya mengenakan biaya sekitar 500 ribu per bulan untuk seluruh kebutuhan santri, makan dua kali, asrama, dan sudah termasuk biaya sekolah.

Tentu sangat disayangkan jika orientasi sejumlah pengelola pendidikan Islam sudah menjadikan sekolah sebagai sarana untuk memperkaya diri. Dalam jangka panjang, hal ini akan mempengaruhi corak keberagamaan di perkotaan. Dengan biaya yang mahal, pada akhirnya, hanya kelompok Muslim menengah-atas yang bisa mendidik anak-anaknya dengan pengajaran Islam. Kelompok masyarakat dengan penghasilan biasa-biasa saja, yang merupakan populasi mayoritas tak memiliki kesempatan untuk memberikan pengajaran Islam yang memadai kepada para putra-putrinya. Anak-anak yang lahir dan besar di perkotaan, akhirnya hanya memiliki pengetahuan agama yang minim sehingga lebih mudah terpengaruh pada hal-hal yang sifatnya negatif, baik gaya hidup hedonis yang memang dengan gampang diperoleh atau masuk kelompok radikal yang memandang segala sesuatu secara ekstrem.

Masih banyak ustadz-ustadzah yang dengan ikhlas membagikan ilmunya kepada para anak didik, asalkan pihak yayasan tidak mengeksploitasi tenaga dan pengetahuan mereka untuk kepentingan komersial yang mengatasnamakan agama. Dalam hal ini kepentingan besar dan jangka panjang untuk mendidik generasi muda dengan ajaran agama harus menjadi prioritas. Jika ingin berbisnis, sebaiknya tidak dalam sektor pendidikan dan mengatasnamakan agama. Banyak sektor usaha yang masih menjanjikan untuk menghasilkan koin-koin keuntungan. (Ahmad Mukafi Niam)